Hujan bulan Oktober kembali menyingkap cerita. Angin dan tanah basah mencipta simponi rindu dari telisik ranting-ranting pepohonan. Ada gurat-gurat perih melukis dari celoteh burung yang berteduh di rindang pohon mangga. Anak-anak Desa yang bermain hujan-hujanan dan tertawa lepas tak ubahnya segerombolan penyihir yang siap menciptakan amunisi luka. Suara kecipak air yang jatuh dari genting-genting rumah bagai mantra yang menusuk segenap jiwa.
Praakk...
Dengan geram Akmal menutup daun jendela. Keras. Ia sangat kesal. Hatinya berkecamuk antara rasa rindu dan luka. Emosinya yang memuncak tak mampu ia kendalikan. Barang-barang dibantingnya, tak peduli itu barang-barang berharga atau pun tidak. Ruangan yang semula bersih dan rapi, kini berantakan bak tempat sampah.
Dulu. Dua tahun lalu. Ia bersama istri tercinta menghabiskan musim hujan bulan oktober dengan penuh kebahagiaan. Hujan dan segala yang menjadi simponinya termasuk riang anak-anak desa menjadi pelengkap kisah antara ia dan istrinya. Namun di sisi lain hujan itu pula yang menjadikan semua kisahnya harus berakhir. Sebuah prahara yang tak pernah ia inginkan datang menerpa. Istri tercinta entah dirasuki setan apa sehingga memutuskan untuk menceraikan dirinya.
“Bang Akmal...”
“Iya, Adek.” Jawab Akmal. Saat itu mereka tengah menikmati kebersamaan di sebuah gubuk di pinggir pematang sawah. Hujan dan celoteh riang anak-anak desa turut menemaninya.
“Abang tidak capek kerja terus. Saban hari harus berhadapan dengan terik panas matahari dan hujan.”
“Tidak, Adekku Shafiya yang jelita. Abang kerja demi membahagiakan Adek. Panas dan hujan itu sudah biasa. Sudah termasuk makanan sehari-hari yang mesti Abang lahap.”
“Serius, Abang?”
“Iya, Adek.”
“Berarti Adek nggak perlu lagi mengantar makanan untuk Abang.”
“Idiih kejamnya.”
“Hahaa...” Shafiya tertawa lepas.
“Katanya panas dan hujan sudah menjadi makanan sehari-hari Abang.”
“Ya dalam dimensi beda-lah. Kalau Abang nggak makan nasi, ya mati Abang, dek. Terus siapa yang akan menemani, Adek.’
“Adek pulang saja ke rumah orang tua terus cari yang baru. Heee.”
“Teganya Adek.” Akmal menggeserkan tubuhnya agak jauh dari Shafiya. Ia memalingkan wajahnya. Memandang lurus ke depan.
Shafiya yang melihat tingkah Akmal merasa bersalah. Ia mendekat ke sisi Akmal.
“Abang...” panggil Shafiya. Tak ada sahutan.
Hujan semakin deras mengguyur. Anak-anak desa pun bertambah riang.
“Abang...” panggilnya lagi
“Abang jangan marah, Adek bercanda kok.” Masih tak ada sahutan. Akmal hanya diam saja. Wajah Shafiya pun jadi memerah. Bulir-bulir air mata mulai membasahi kedua pipinya.
“Abang, Adek bercanda Bang.”
“Hahaa...iya iya sayang. Cup, cup jangan nangis ngih.” Akmal mengusap air mata di pipi Shafiya.
“Habis Abang ngambek. Adek kan bercanda.” Kilah Shafiya sambil memonyongkan bibirnya.
“Makanya jangan suka ngerjain Abang. Ntar Abang balik ngerjain si Adek malah nangis kek anak Paud kehilangan sepatunya. Hee.”
“Ih Abang.” Shafiya mencubit perut Akmal.
“Udah, udah Dek. Sakit tau.” Akmal berusaha menghindar dari cubitan Shafiya.
Hujan masih saja deras. Sementara anak-anak desa sudah tidak kelihatan batang hidungnya.
“Dek...”
“Iya Bang.”
“Sini.” Akmal menepuk bahu kanannya. Memberi kode untuk Shafiya bersandar. Shafiya pun menggeser tubuhnya lebih rapat dan membenamkan kepalanya di bahu Akmal.Kenangan itu benar-benar menyiksa terlebih di musim hujan yang kini menyapa. Rasanya seperti baru kemaren terjadi. Namun apalah daya jika Tuhan telah berkehendak. Kisah itu hanya tinggal kenangan saja. Rindu menghimpit menyesak dada. Akmal sepertinya belum siap untuk kehilangan.
Dengan pikiran berselaput kabut, dipenuhi bayang-bayang tentang perjalanan rumah tangganya yang kandas. Akmal menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Tatapannya kosong menerawang ke langit-langit rumahnya. Matanya sembab oleh air mata.Lalu. Kejadian itu terekam kembali, memenuhi ruang-ruang hati dan pikiran Akmal.
“Ceraikan aku sekarang.” Kata Shafiya dengan wajah berang. Akmal yang baru saja datang dari sawah sangat terkejut mendengarnya. Ia tak habis pikir mengapa Shafiya bisa melontarkan kata-kata yang ia sendiri tak ingin mendengarnya dan terlebih hubungannya dengan istrinya baik-baik saja.
“Astagfirullah, ada apa Dek.”
“Pokoknya aku minta cerai sekarang.”
“Adek.” Akmal menyentuh kedua bahu Shafiya namun Shafiya menampiknya.
“Jangan sentuh aku. Aku sekarang bukan milikmu, Akmal.”
Sungguh sangat teriris hati Akmal mendengar ucapan Istrinya yang kini sengaja menanggalkan kata sayangnya “Abang” dan memanggilnya dengan sebutan namanya.
“Istighfar Dek, Istighfar.” Akmal berusaha menenangkan Shafiya. Namun lagi-lagi Shafiya mengabaikannya. Ia ngotot dengan pilihannya untuk minta cerai.
“Emang Abang salah apa, Dek? Apa ada perkataan Abang yang melukai hati Adek.”
“Pokoknya aku minta cerai. Titik.”
Dengan ketus Shafiya masuk ke kamarnya meninggalkan Akmal yang berdiri penuh kebingungan. Selang beberapa menit ia pun keluar sembari menenteng sebuah koper.
“Adek mau kemana?” cegah Akmal. “Tolong jangan bikin Abang merasa bersalah. Jika Abang ada salah mohon katakanlah, Dek.”
“Aku hanya ingin minta cerai itu saja.”
“Bisakah Adek jujur pada Abang, mengapa harus itu Dek. Abang tidak mau. Hubungan kita baik-baik saja, Abang tidak mau berakhir seperti ini, Dek.”
Shafiya terdiam. Sorot matanya menatap Akmal tajam.
“Abang mencintaimu. Sangat mencintaimu, Dek.” Akmal meraih kedua tangan Shafiya dan menempelkannya di dadanya. “Dalam hati Abang hanya ada Adek seorang. Jika ada masalah dalam hubungan kita, mari kita bicarakan baik-baik saja.”
“Tak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Aku ingin bercerai denganmu.” Shafiya melepas genggaman Akmal dan melangkah ke luar rumah.
“Adek...” panggil Akmal dengan suara serak. Hatinya tersayat.
Di luar rumah hujan turun begitu derasnya. Dengan langkah cepat Akmal mengikuti Shafiya. Ia tidak tega membiarkan Shafiya pergi.
“Abang mohon tetaplah di sini, Dek.” Kembali Akmal meraih tangan Shafiya.
“Tak ada cerita yang perlu kita lanjutkan. Aku tak lagi mencintaimu. Jadi menyingkirlah dari hadapanku.” Shafiya mengibaskan tangan Akmal kasar.Akmal yang tak menyadari akan perkataan dan tingkah Shafiya, menjadi sangat sakit hati. Kelopak matanya mulai berkabut dan tanpa permisi butiran kristal bening meluncur ke pipinya. Ingin sekali ia mencegah lagi langkah Shafiya, namun sebuah mobil sedan yang berhenti tepat di halaman rumahnya membuatnya harus mundur beberapa langkah.
Akmal terkejut melihat pemandangan di hadapannya. Istri tercinta pergi dengan lelaki lain.
*** ***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengenggam Takdir
Short StoryKetika takdir mempertemukan kita Maka, tak ada cara lain selain menggenggamnya dengan cinta