Dengan hati yang diliputi perasaan senang, aku menaiki tangga demi tangga menuju aula kampus yang berada di lantai tiga. Hari ini berdasarkan sebuah pengumuman yang di edarkan oleh pengurus BEM akan diadakan seminar kepenulisan. Sebuah seminar yang menurutku sangat menarik dan tentunya tidak boleh aku lewatkan.
Mengikuti seminar adalah sebuah kebanggan tersendiri bagiku, meskipun aku bukan salah satu anggota organisasi atau aktivis. Aku hanya mahasiswa yang sekadar kuliah saja tanpa disibukkan dengan kegiatan lain semacam pergerakan, himpunan dan lain sebagainya. Aku sangat menyukai dunia kepenulisan dan berharap bisa menjadi seorang penulis. Dan tujuan utama aku mengikuti seminar ini adalah mendapatkan tambahan ilmu sekaligus tambahan pengalaman.
Tiba di lantai dua langkahku terhenti. Aku merasa aneh dengan bisikan-bisikan dari teman-teman kampusku. Sepertinya mereka tengah membully-ku. Aku menatap wajah mereka satu persatu. Mereka tampak tidak suka dengan kehadiranku.
Aku mendekat ke arah mereka dan berusaha tersenyum.
“Assalamu’alaikum,” Ucapku. Mereka hanya menanggapi salamku dengan sikap acuh tak acuh saja. Di antaranya ada yang langsung memalingkan wajah.
“Boleh tahu tempat seminar di mana, ya?”
“Neng Geulis, belum dapat brosurnya kah?” kata salah satu temanku yang bernama Dito dengan gaya bak seorang waria. Hatiku langsung memanas. Apa hubungan nama itu dengan namaku yang jelas adalah
“Imran”.“Makanya Neng, baca dulu atau dapatkan brosurnya sebelum mengikuti acara. Siapa tahu Neng salah tempat.” Tambah Amru ketus. Hatiku tambah panas tapi aku menahan. Sabar.
“Ntar kampus dikira salon kecantikan. Hahaa...” tambah Harun disambut tawa teman-teman yang lain.
Hatiku semakin marah dengan tingkah teman-temanku itu. Wajahku rasanya memerah dan ingin sekali aku menghajarnya. Tapi hatiku menolak. Aku lebih memilih untuk tak menghiraukan dan menghindar dari mereka.
Mereka sengaja menyebut namaku sebagai “Neng Geulis” mungkin karena keseharianku selain ngampus, dihabiskan di sebuah salon kecantikan. Tapi apa salahnya aku berada di sana? Apakah aku salah mengenal dan menjadi bagian dari salon kecantikan? Apakah seorang laki-laki tak seharusnya bekerja di sana? Apakah salon kecantikan itu identik dengan waria? Ah, aku tak tahu pemikiran mereka seperti apa, yang jelas mereka sangat merendahkanku.
Aku sengaja bekerja di salon kecantikan tidak lain hanya ingin membantu Bude, terlebih salon itu miliknya. Dan aku sebagai keponakan yang memang dari kecil hidup dan dibesarkan olehnya sudah sepantasnyalah untuk membantu. Dan kurasa aku tak salah melakukannya meski setiap hari harus dihadapkan pada yang namanya make-up atau segala yang berhubungan dengan tata rias wanita _aku hanya sekadar membantu mengambilkan peralatan tidak untuk merias_. Aku tak peduli dengan omongan orang lain termasuk teman-teman kampusku. Toh, selama aku tak menyusahkan mereka dan hasil yang kudapatkan itu halal. Aku akan tetap melakukannya dengan senang hati.
Aku kembali melangkah menuju lantai tiga.
Tiba di sebuah pintu, di mana acara seminar itu digelar aku dicegat salah satu panitia. Sebut saja Tio.
Tio mendekat ke arahku dan tersenyum. Sayup-sayup dari dalam aula terdengar keramaian. Aku jadi penasaran.“Assalamu’alaikum, selamat pagi Imran.”
“Wa’alaikum Salam. Pagi juga Tio.” Jawabku.
“Anda hadir untuk acara seminar, kan.”
“Tentu. Apakah acaranya sudah dimulai.”
Tio berdahem. Dahemannya membuatku tak nyaman. Seolah ada sesuatu tersembunyi dari sana. Ingin rasanya aku segera masuk dan duduk saja di dalam aula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengenggam Takdir
Short StoryKetika takdir mempertemukan kita Maka, tak ada cara lain selain menggenggamnya dengan cinta