Biarkan Luka Berbicara

37 8 0
                                    

Senja mulai menyapa ketika Fara selesai menyiram rumpun mawar di halaman depan rumahnya. Mega jingga di ufuk barat menyemburat indah. Mencipta ketenangan dan kesejukan tersendiri di hati Fara. Baginya senja adalah teman yang mampu membuatnya melupakan segala luka, termasuk kenangan silamnya yang menyiksa. Ia begitu mencintai senja meski hadirnya hanya sesaat saja, dan ia rela menunggu sampai senja itu kembali tiba. Senja adalah obat ketika hatinya tak mampu menahan perih dalam kesepian dan kehampaan. Senja satu-satunya teman yang mampu membuatnya mengingat Sang pencipta semesta. Senja pula yang menjadikannya perempuan tangguh di tengah kemelut hidup yang sedang menerpa.

Sebelum senja usai mempermainkan siluet indahnya, Fara tak ‘kan beranjak dari tempatnya. Di teras rumah di atas kursi roda ia menikmati senja dengan tak bosan menggoreskan untaian kalimat demi kalimat pada catatan hariannya. Ia selalu menulis apa saja yang terlintas dari benak dan pikirannya, dan entah berapa puluh lembar yang telah ia tulis.

Tiba-tiba. Angin datang mengusik ketenangannya dan menerbangkannya menuju Negeri masa lalu yang tak ingin ia jengguk sedetik pun.
“Fara,” panggil Lana. Saat itu suasana halte Bus tampak sepi hanya ada Fara dan Lana yang tengah menunggu kedatangan Bus jurusan Situbondo.
“Iya,” jawab Fara tanpa menoleh sedikit pun pada Lana. Ia memandang lurus ke depan.
“Maafkan aku. Aku tak bermaksud menyakiti hatimu. Aku tahu kau sangat mencintai dan menginginkanku. Namun kenyataan ini harus kita terima dengan ikhlas. Kita tidak ditakdirkan untuk hidup bersama. Kita harus berpisah.”
Fara hanya diam. Air matanya tumpah berinai. Ia tak kuasa menahan sesak di dadanya.

“Bukan aku tak mencintaimu atau telah melupakanmu. Hanya saja aku tak mampu dan tak sanggup menentang kehendak dari kedua orang tuaku. Bagiku bakti kepada kedua orang tua adalah satu-satunya jalan meraih surga-Nya. Maafkan aku Fara, cinta kita harus berakhir sampai di sini. Aku tak ingin ada penyesalan jika kita harus melanjutkan hubungan yang tanpa restu ini.”
“Penyesalan?. Berarti mas Lana tidak ini memperjuangkan cinta kita?. Mas Lana ingin hubungan kita berakhir begitu saja lantaran kita tak memiliki restu dari kedua orang tua mas Lana. Lantas bagaimana dengan janji mas Lana yang ingin menjadikan aku sebagai cinta pertama dan terakhir dalam kehidupan mas, apakah itu hanya segelintir ucapan yang manisnya hanya di bibir saja. Atau mas Lana memang sengaja menciptakan amunisi luka karena sudah bosan denganku, iya ‘kan.”
Lana trenyuh mendengar ucapan Fara. Jauh di palung hatinya ia tak ingin melukai hati Fara sedikit pun. Namun kenyataan yang membentang sulit baginya untuk membangun kembali puing-puing cinta yang ia sendiri buat retak.

“Aku tak bermaksud seperti itu, Fara. Cintaku padamu benar-benar tulus. Aku mencintaimu dari lubuk hatiku terdalam. Ini bukan tentang bosan atau tidak, bagiku kau satu-satunya yang membuat hari-hariku menjadi indah. Cinta memang butuh perjuangan, tapi di balik perjuangan itu kita mesti di hadapkan pada gelombang dahsyat, hingga pada satu titik kita harus merasa kehilangan. Besarkanlah hatimu Fara, kita belum bisa di persatukan oleh takdir-Nya. Kita sama-sama terluka.”
“Aku mengerti apa yang mas Lana katakan. Dan aku tak percaya, atas dasar cinta seperti apa hingga secepat ini mas Lana memutuskan hubungan kita kalau tidak karena orang lain. Jangan kaget atau bagaimana dengan firasatku. Sebab, di lihat dari tingkah mas Lana aku cukup menyadari kalau ada orang lain selain diriku.” Fara menatap tajam wajah Lana di sampingnya, ia merasa ada gurat-gurat lain yang lebih dari sekedar restu dari kedua orang tua Lana yang tak menginginkannya untuk melanjutkan hubungan. Dari sorot mata Lana entah mengapa Fara merasa ada sesuatu yang tersembunyi.

Sementara Lana hanya tertunduk bisu. ia tak mampu berkata apa-apa. rupanya ucapan Fara benar-benar menusuk hatinya. Jalan di depan masih saja sepi hanya dua, tiga motor dan mobil pribadi melintas. Bus yang mereka tunggu masih belum tiba padahal mereka sudah menunggu hampir dua jam.
“Jujur saja mas jika kau memang sudah ada pengganti selain diriku di hatimu. Aku ingin sebelum kita berpisah, kita saling jujur satu sama lain agar aku tenang melepaskanmu, Mas.”

Mengenggam TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang