Bahagiamu, Bahagiaku, Dukamu, Dukaku

21 3 0
                                    

Aku tak tahu harus dengan cara apa lagi untuk menghadapi kerasnya kehidupan. Sebagai anak yang ditinggal pergi kedua orang tua cukup berat hari-hari kujalani. Kerja di sebuah perkebunan kopi dan terpaksa tidak melanjutkan sekolah menengah atas, ditambah harus menghidupi seorang adik yang mengidap penyakit kusta benar-benar membuat hidupku berada di ujung tanduk.

Aku tak ingin menyerah begitu saja. Hidup yang menuntut untuk menghasilkan uang mau tidak mau harus kujalani. Dikehidupan ini memang serba uang. Uang berada di atas segalanya. Jika uang tak ada maka satu atau dalam dua hari kami tidak makan nasi dan terpaksa mengganjal perut dengan makan sayuran saja. Meminjam uang kepada tetangga rasanya aku tak sanggup karena khawatir tak bisa mengembalikannya. Upah sebagai buruh di perkebunan kopi tak menjamin dalam sehari aku berada di zona nyaman, terlebih aku harus membawa adikku, Arga untuk berobat.

Jika bukan karena adikku tidak mungkin aku semangat untuk bekerja. Dia satu-satunya anugerah Tuhan untuk menemani kehidupan sehari-hariku. Dia satu-satunya sumber semangatku. Dan dia pula yang membuat malam-malamku terasa sangat berharga lebih dari siang yang selalu hadirkan terang. Aku tak dapat membayangkan hidupku tanpanya.

“Sudahlah, Kak. Kakak tak perlu memikirkan untuk membawaku berobat. Lebih baik uang hasil jerih payah kakak ditabung saja.”

“Tapi adikku, kau ‘kan ingin sembuh.”

“Untuk sementara ini biarkan aku menggunakan ramuan alami saja. Percuma kita periksa dari dokter satu ke dokter lainnya jika hasilnya tetap tak ada perkembangan, sementara kita kesulitan dalam hal keuangan.”

Memang sudah lebih dari sepuluh kali aku memeriksakan adikku pada setiap dokter yang ada di kecamatan. Tapi hingga kini tak ada hasil yang didapat. Penyakit adikku tetap saja tak kunjung sembuh. Pernah terbersit dalam hatiku untuk membawa adikku periksa ke rumah sakit besar di kota, namun lagi dan lagi uang menjadi kendala. Aku tak tega melihat sekujur tubuh adikku yang dihinggapi penyakit kusta, terlebih jari jemarinya yang mulai hilang satu. Aku sangat berharap ia cepat sembuh seperti sediakala. Dan hal yang membuatku sangat bangga padanya adalah kesabarannya. Ia sama sekali tak pernah mengeluh dan menjalani hidup layaknya mereka-mereka yang tak mengidap penyakit sedikit pun.

“Kok malah bengong, Kak.”

“Eh iya. Ada apa adikku?”

“Kakak tabung saja hasil dari kerja keras, Kakak. Jangan terlalu memikirkan keadaanku. Aku baik-baik saja, kok.”

Rasanya berat jika dalam sepekan sekali aku tak membawa adikku periksa. Aku khawatir penyakitnya tambah parah.

“Adik yakin tidak mau periksa.”

“Insya Allah, Kak. Kakak tak usah khawatir, percaya saja kepada Allah. Hanya Dialah  sebaik-baik pemberi kesembuhan.”

Mendengar kata-kata adikku, hatiku menjadi terenyuh. Mudah-mudahan ada keajaiban menimpa dirinya.

Di malam yang cerah ini kami habiskan mengobrol di halaman depan rumah, di atas bale-bale bambu peninggalan orang tua kami. Masa depan dan sebuah harapan menjadi topik paling sering kami bahas. Kami ingin membuktikan pada dunia bahwa kami tak akan pernah goyah oleh gelombang badai penderitaan yang kapan pun datang menerjang. Kami akan senantiasa tegar menghadapi kenyataan yang walau tak sesuai dengan harapan.

“Kak Adnan?”

“Iya, adikku.”

“Bolehkah aku meminta sesuatu pada Kakak.”

“Apa itu?”

“Aku ingin ke kota. Aku ingin melihat suasana kota Bondowoso. Bisakah Kakak memenuhi keinginanku.”

Sejenak aku terdiam. Menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Kutatap bening bola mata adikku, ada rasa iba bersarang dari sana.

“Tentu adikku, Kakak pasti akan memenuhi permintaanmu. Tapi tunggulah dalam seminggu, ya.”

“Kakak janji.”

“Janji.” Kataku mantap sambil mengaitkan jari kelingkingku dengan jari kelingking adikku. Seketika aura bahagia terpancar dari wajah adikku. Ia terlihat sangat bahagia.

“Kakak baik sekali,” ia memeluk tubuhku erat.

“Bahagiamu bahagiaku, dukamu dukaku, Dik.” Aku membalas pelukan adikku. Tak terasa air mataku meleleh.

Hal paling penting dalam hidupku saat ini adalah adikku. Aku rela berkorban demi melihatnya bahagia. Aku tak ingin ia terluka. Cukup rasanya kami kehilangan kedua orang tua.

Keinginannya yang sederhana untuk melihat kota Bondowoso dengan segala ikonnya harus aku penuhi. Dalam satu minggu mengumpulkan uang dari kerja sebagai buruh perkebunan kopi kurasa cukup untuk ongkos dan keperluan selama dalam perjalanan. Aku rasa ide adikku itu sangat bagus. Aku sendiri dari sejak kecil hingga diusia yang ke-25 tahun ini dan adikku yang ke-15 tahun, sama sekali tak pernah melihat lekuk kota kelahiran kami sendiri. Masjid besar Agung At-Taqwa, museum kereta api, monumen gerbong maut dan alun-alun Raden Bagus Asra hanya bisa kami lihat lewat koran bekas pembungkus nasi yang kebetulan kami baca. Tempat tinggal kami yang berada di bawah kaki gunung mungkin butuh dua atau tiga jam untuk sampai ke kota
*** ***

“Kak Adnan... Kak Adnan...” terdengar teriakan adikku dari ruang tengah. Aku yang sedang asyik mencuci baju di kamar mandi belakang rumah sangat terkejut,  ada apa gerangan ia berteriak sepagi ini dan cepat-cepat aku pun menemui adikku.

“Ada apa Dik, apa ada masalah.” Kataku penuh kecemasan.

“Lihatlah, Kak.” Ia memperlihatkan kedua tangannya padaku. “Bintil-bintil merah sudah hilang dan benjolan luka mulai kering, Kak.”

Aku setengah tak percaya mendengar ucapan adikku, Arga. Kupegang dan kubolak-balikkan kedua tangannya. Benar. Bintil-bintil kemerahan yang biasanya menyebar pada kulitnya tak lagi terlihat dan benjolan luka mulai tampak mengelupas. Apakah ini tanda-tanda kesembuhan mulai menghampirinya?.

“Subhanallah,” kupeluk tubuh adikku. Adikku tampak bahagia sekali. Wajahnya lebih cerah dari biasanya.

“Alhamdulillah Aku sembuh, Kak. Aku sembuh.” Ucapnya dengan membalas pelukanku erat. Kudengar tangisnya pun pecah.

“Semoga ini kesembuhan selamanya untukmu, Dik.”
“Amin.”

Aku sangat bersyukur melihat adikku bahagia. Dua tahun terakhir ini ia digerogoti kusta dan hari ini ia merasakan kesembuhan, sungguh kemaha kuasan Allah yang tiada tandingnya. Aku berharap setelah hari ini hidup adikku berubah. Tak ada celaan dan hinaan yang mesti ia dengar dari teman-temannya, yang walau aku sendiri tahu adikku tak pernah menghiraukan hal itu. Aku ingin ia kembali bergabung bersama teman-temannya, paling tidak ia harus kembali melanjutkan studynya yang sempat tertunda.

Setelah dipastikan benar-benar sembuh, setengah berlari adikku langsung menuju ke dapur menghidupkan kompor dan mendidihkan air. Ia ingin keramas menggunakan air hangat. Aku sendiri langsung meneruskan pekerjaanku mencuci baju dan setelah itu aku harus pergi nguli di kebun kopi. Dalam satu hari lagi aku harus memenuhi janjiku untuk membawa adikku keliling kota.
*** ***

Mengenggam TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang