Mawaddah yang Tertunda

20 3 1
                                    


Lebih dari empat kali Izzam berganti baju dan mondar-mandir di depan cermin. Ia memastikan baju yang dikenakannya sudah pas atau tidak. Sesekali ia tersenyum melihat gambar dirinya yang terpantul di depan cermin. Wajah yang cakep dengan brewok yang tertata rapi. Kumis tipis, hidung mancung dan mata lebar. Sungguh karunia Allah yang tiada duanya. Ia terlihat sangat tampan sekali. Ketampanannya tidak kalah saing dengan aktor Tellywood sekelas Sakti Arora atau pelantun sholawat Mohammad Tareq asal Mesir itu.
Sekali lagi ia bercermin.

“Sudah pas.” Katanya pada dirinya sendiri.
“Hadeh cuma ganti baju pake lama banget, kayak cewek saja.” Irham sahabatnya sudah berdiri di ambang pintu kamarnya.
“Ayo cepatlah, ntar telat lho.”
Izzam menoleh ke arah Irham. Ia tertawa kecil melihat tingkah sahabatnya yang tidak sabaran itu. Irham sudah tampak rapi lengkap dengan kopyah hitam di kepalanya.
“Bentar dikitlah,” Izzam melirik jam tangannya. “Masih ada waktu, kok.”
“Ini bukan perjalanan satu kilometer, tau.” Ketus Irham.

Irham mendekat ke arah Izzam dan berbisik di telinga kanannya
“Calon pengantin pria tidak boleh telat. Kasihan calon pengantin wanitanya pasti sudah menunggu untuk...”
“Dihalalkan, hehe.” Jawab Izzam dengan enteng.
“Lebih dari itu pasti sudah nggak sabar nunggu malam pertama, iya kan. Heee”
“Mana ada pengantin yang tidak mau dengan malam pertama. Pastilah. Haha..”
“Wah, alamat pengen banyak anak ini.”
“Banyak anak, banyak rezeki. Sudahlah jangan banyak cincong. Ayo berangkat.”
“Siap Raja. Haha..”

Mereka pun keluar dari kamar menuju halaman rumah. Di halaman rumah sudah bertengger sebuah mobil sedan dengan riasan ala mobil pengantin. Irham yang bertindak sebagai sopir mempersilakan Izzam masuk dan duduk di jok depan.
Sepanjang perjalanan tak banyak yang dilakukan Irham selain berlabuh dalam dunia khayalan. Ia membayangkan tentang semua yang telah dilewatinya sepanjang mengenal Fariza, calon istri yang kini siap untuk dinikahinya.

Sungguh kenikmatan yang sangat luar biasa sehingga ia bisa menikmati secercah cahaya yang lebih indah dari hangatnya mentari dhuha. Ia tak menyadari perjalanan cintanya yang dipupuk selama dua tahun sebentar lagi akan berakhir di pelaminan.
Ia dipertemukan dengan Fariza kala itu ia sedang mengikuti seminar gender di salah satu Universitas, di Surabaya. Sebuah pertemuan singkat yang hingga kini masih melekat dalam ingatan Izzam. Ia merasa seperti ada lucu-lucunya.
“Hadeh, senyum-senyum sendiri. Mikir malam pertama, ya.” Goda Irham.
“Sok tau, saja. Sana fokus tuh jalan.”
“Haha... siap-siap tak bawa terjun ke jurang, ya. Biar ambyar malam pertama itu. hehe..” Irham melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
“Eh, mau mati lho.” Panik Izzam.
“Haha... panik juga ternyata. Makanya jangan melamun terus.”

Irham memperlambat laju mobilnya. Ia kembali menyetir dengan santai. Jarak yang harus ditempuh masih tiga kilometer lebih jauhnya. Sementara Izzam memilih bergeming. Ia terlalu asyik dalam khayalannya dan sepertinya tidak bisa diganggu. Dan sesekali ia tersenyum sendiri.
***

Mengenggam TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang