Menghitung Bintang

15 3 2
                                    

Ini sudah malam keempat puluh, Ana menjadi gadis penghitung bintang. Ia tampak duduk seorang diri di sebuah lapangan hijau tak jauh dari rumahnya. Jauh dari lubuk hatinya, ia tak pernah berhenti merindukan sebuah pertemuan. Ya, sebuah pertemuan dengan kakak laki-lakinya yang terpisah selama tujuh tahun di sebuah perlintasan kereta api.
Malam ini kebetulan cerah dan bintang-bintang bertebaran di langit. Sambil menunjukkan jari telunjuknya, Ana menghitung penuh gairah bintang-bintang meski ia sendiri tahu tak kan pernah mampu menghitungnya. Baginya menghitung bintang adalah bentuk kerinduan yang dalam terhadap kakak dan kampung halamannya. Ia berharap saat itu juga kakaknya melakukan seperti apa yang dilakukannya.

Berpisah jauh di usia yang masih belia dan kini ia menginjak usia dua puluh tahun rasanya benar-benar membuatnya terejam kerinduan. Andai dulu ia tak turun hanya karena tertarik pada bunga kamboja di pinggiran rawa, tentu ia tak kan berpisah dengan kakaknya. Andai ia tetap berdiam diri di samping kakaknya yang tertidur, tentu kereta yang ditumpanginya tak kan meninggalkannya. Ingin rasanya ia pulang ke kampung halamannya, namun sayang ia lupa alamatnya. Ia hanya bisa menunggu di tempat di mana ia berpisah dengan kakaknya.
“Nak, Tak bosankah kau menghitung bintang.” Terdengar suara lembut menegurnya. Ia menoleh dan mendapati seorang perempuan paruh baya tengah menghampiri dan duduk di sampingnya.

“Ibu,”

Perempuan itu adalah Ibunya. Ibu yang bersedia mengangkatnya sebagai anaknya sendiri ketika ia tertinggal di perlintasan kereta api. Ibu yang membawa ia sedikit melupakan masa-masa dalam kepahitan. Ibu yang menjadikannya tabah dalam penantian, antara harapan dan ketidakpastian.

“Tentu saja tidak,Ibu. Ana menghitung bintang karena Ana sangat rindu, Bu.”

“Setidaknya jangan sampai setiap malam, Nak. Perhatikan juga kondisi kesehatanmu, berlama-lama di sini tidak baik.”

“Tahukah kau Ibu,” Ana menatap wajah Ibunya dengan tatapan sendu. “Perlintasan itu sungguh membuat Ana selalu ingin melihatnya. Ibu tahu kenapa? Ana merasa sewaktu-waktu di sana ada seseorang yang mencari Ana.”
Ana meneteskan air matanya.

“Ibu tahu, Nak. Ibu paham akan kondisi hatimu,” Ibu Ana mengelus kepala Ana yang berbalut jilbab syar’i.

“Berpisah dengan seseorang yang sangat disayangi sungguh sangat menyakitkan. Terlebih dalam kurun waktu yang sangat lama. Allah akan menyediakan waktu kepada setiap hamba-hambanya untuk kembali bertemu dengan seseorang yang disayanginya di dunia, jika memang takdirNya adalah bertemu. Tapi jika tidak. Kelak di akhirat Allah tidak menutup kemungkinan untuk memberi suatu pertemuan. Maka besarkanlah hatimu, Nak. Allah selalu ada untukmu.”

“Terima kasih Ibu?” Ana memeluk Ibunya di tengah tangisnya yang pecah.

“Sama-sama, sayang.” Jawab Ibunya sambil membalas pelukannya.

“Pulang yuk, sayang.” Kata Ibunya beberapa menit kemudian.
Ana menggeleng. Ia mengalihkan pandangannya dan menatap jauh ke arah bintang-bintang.

“Ana masih belum puas menghitung bintang, Bu.”

“Ana,” Ibunya mengiba. “Ini kan sudah malam, sayang. Lagi pula tempat ini sepi.”

“Ibu. Ibu nggak usah khawatir. Ana bisa menjaga diri, kok. Ibu pulang duluan, ngih.”

Tak ada kata bagi sang Ibu selain mengalah. Ia tak ingin menganggu ketenangan anaknya meski ia sendiri tak tega meninggalkannya sendirian. Di tempat sepi pula.

“Baiklah, jangan lama-lama ya sayang.”

Ana mengangguk dan tersenyum.

Sepeninggal Ibunya, kembali ia menghanyutkan diri dalam lamunan. Menghitung bintang yang semakin terang dan sesekali melihat ke arah datangnya kereta api yang siapa tahu berhenti sejenak seperti yang dialaminya tujuh tahun lalu. Ia berharap ada seorang laki-laki yang turun dan mencarinya.

Mengenggam TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang