11. Apa gue masih disana?

31 2 0
                                    

Januari 2018

Aku terbangun dari tidurku dan kuraba HPku dengan setengah mata tertutup.

„ohhh ternyata masih jam 1 subuh...."

Hari itu tak ada angin, tak ada hujan apalagi badai...

„HANS"

Nama itu yang muncul di layar tepat sekali setelah aku melihat jam.

„HAH?! Dia salah sambung kali ya? Atau mungkin kepencet? Atau jangan-jangan dia mabuk?

               Aku cergap mengangkat teleponnya, aku pikir dia tidak akan membalas kata "halo?" dariku. Ehhhh si kampret itu ternyata malah langsung nyalain videocall !!

OMAIGAT HELOWWW.....!!! KACA MANA KACAAAA??!

               SHIT! Aku langsung loncat dari tempat tidur dan buru-buru menyisir rambutku. Kalau diingat kembali reaksiku sangat lucu saat itu. Panik, bahagia, gugup, bingung semua bercampur aduk seperti nasi padang hahahaha.....

"hey Clara, apa kabar?"

"baik" jawabku dengan muka canggung.

               Malam itu malam pertama kalinya aku melihat dia lagi setelah sekian lama. Kini aku sudah sebulan di Jerman. Mungkin karena itu dia meneleponku. Apa mungkin dia rindu? Hmmm... aku tak tahu, tapi dia bilang dia lagi kesepian. Kalau boleh jujur aku sungguh terpana lagi dan lagi ketika melihatnya, ditambah dia turun berat badan sebanyak belasan kilo. Yang sebelumnya chubby, sekarang mirip Mario Maurer. Astaga luar biasa sekali ciptaanMu yang satu ini Tuhannnnn......!!

               Aku tidak ingat secara keseluruhan percakapan kami, kami menghabiskan 4 jam untuk berbincang-bincang mengenai perbedaan hidup di Jerman dan di Indonesia, teman-teman lama, pengalaman lama dan lainnya. Ada juga saat kami kehabisan topik pembicaraan, disaat itu aku masih ingat dia menatapku dengan senyuman manis. Aku menatapnya balik dan tentu saja dengan senyum. Aku tidak tahu perasaan apa yang sesungguhnya aku rasakan ketika dia menatapku seperti itu. Dia tidak pernah menatapku dengan tatapan itu sebelumnya .Aku tidak ingat apa spesifiknya pembicaraan kami berdua, tapi satu kalimat yang aku ingat keluar dari mulutnya setelah kami saling bertatapan.

„Clara..." panggilnya.

„iya Hans?" kujawab.

„Apa gue masih ada? Di hati lo.... " tanyanya.

Butuh waktu cukup lama untukku berpikir tapi akhirnya kujawab

" gue ga tau Hans, ada Alan sekarang dihati gue. Gue ga tau apa lo masih ada atau ga, tapi yang gue tau gue masih pengen perjuangin hubungan gue sama Alan.."

Dia hanya membalasku dengan senyuman dan tidak lama kemudian kami mengakhiri teleponnya.

               Setelah malam itu, secara tidak sadar aku selalu menunggunya tiap malam karena aku tahu dia akan menelponku kembali suatu saat nanti dan benar saja. Kami jadi sering videocall sampai lupa waktu, terkadang bisa sampai 5 jam sampai aku tidak tidur karena aku harus bekerja pagi harinya. Terkadang juga aku berbohong pada Hans kalau aku harus bekerja, jujur aku tidak ingin mematikan teleponnya. Sama seperti Hans, aku juga sudah merasa kesepian sejak lama. Alan tidak pernah punya waktu untukku dan begitu sebaliknya, aku tidak punya waktu untuk Alan karena perbedaan waktu yang cukup jauh. Alan hanya mempunyai waktu disaat aku harus bekerja, aku punya waktu disaat Alan kuliah. Waktu yang kami punya tidak pernah cocok dan aku sudah lama juga aku merasa tidak cocok dengan Alan.

               Beberapa waktu terakhir yang kuhabiskan dengan Alan sebelum aku pergi, hanyalah pertengkaran. Kulihat Alan juga tidak bahagia lagi jika berkunjung ke rumahku dan hanya sibuk dengan HP nya dibandingkan menghabiskan waktu denganku. Iya, aku tahu aku bodoh tidak melepas Alan dari lama, tapi aku punya alasan.

               Ini rahasia terdalamku yang tidak pernah kubicarakan dengan siapa-siapa selain Alan dan orang tuaku. Aku mempunyai trauma masa kecil dengan masalah sexual. Pamanku pernah melecehkanku dan hampir memperkosaku. Aku menceritakannya pada Alan, mengharapkannya untuk tidak bertindak seperti itu juga dan menghargai tubuhku. Tapi ternyata aku salah. Suatu hari dia juga melecehkanku dan memaksaku dengan fisiknya yang kasar sehingga aku tidak bisa melawan tenaganya lagi, aku juga tidak bisa berteriak karena bibirku yang sudah bengkak dan biru karenanya.

               Dari saat itu timbul rasa takut yang besar, aku tidak berani menjauh dari Alan. Sekarang aku tahu persis aku bodoh, tapi saat itu aku takut jika aku putuskan Alan, dia akan membongkar semuanya pada teman-temannya dan aku akan dikucilkan di sekolah. Selama ini aku memilih untuk diam. Aku juga tidak bisa melukai perasaan ayahku kalau aku menceritakannya. Aku tidak sanggup.

                Ada juga saat aku punya waktu untuk telepon Alan ketika aku sudah berada di Jerman. Itu pertama kalinya waktu kami cocok. Aku pikir dia akan menanyakan kabarku terlebih dahulu, tapi aku salah. Dia memintaku untuk melepas bajuku dan memperlihatkannya. Dia memaksaku. Aku langsung menutup telepon darinya, tapi kemudian dia meneleponku lagi dan terus memaksaku. Aku sangat marah dan mematikan teleponku. Saat itu aku hanya bisa menangis dan tidak bisa cerita pada siapapun. Aku juga memutuskan untuk menjauhinya sebisaku. Aku tidak lagi merasa Alan sayang denganku dan menginginiku. Mungkin dia hanya ingin tubuhku selama ini. Aku tidak tahu.

WALL OF MEMORIESWhere stories live. Discover now