▪ TSG #02

979 170 41
                                    


Seulgi tidak tahu ke mana dia harus pergi. Dia hanya menyusuri jalan tanpa tujuan sehabis mengunjungi ayahnya di rumah sakit. Desiran angin terasa menyengat kulit Seulgi, tapi perempuan itu tak peduli karena tubuhnya sudah kebal dengan rasa sakit.

"Apa aku harus pergi ke Cafe dan menemui orang asing itu?" Batinnya sambil melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 10 kurang 15 menit.

Seulgi hanya mengenakan celana jeans, mantel beruang, dan sepatu boots yang hampir membeku karena melewati tumpukan salju. Pagi ini, entah kenapa sangat dingin dari biasanya.

Meraih ponsel yang ada di tas selempangannya, Seulgi menekan nomor Wendy. Entah perempuan itu sedang sibuk atau tidak, tapi Seulgi rasa dia harus menelepon sahabatnya itu karena bosan yang melanda.

Belum sampai dering ke-5, suara Wendy sudah menyambutnya dari seberang telepon.

"Seulgi, ada apa?"

Seulgi terkekeh, "Apa kau sedang sibuk sekarang? Maaf menganggu."

"Tidak sedang sibuk. Ada apa?" Wendy menjeda sejenak saat mendengar helaan napas Seulgi dari seberang telepon.

"Tentang Louis Cafe, kapan kita bisa bertemu di sana?"

"Jam 12 siang. Apa kau bisa? Sekalian aku mau makan siang."

"Tentu saja aku bisa." Seulgi tersenyum lirih. Pengangguran mana ada yang sibuk.

"Apa kau ada masalah? Cerita padaku," ujar Wendy merasa bahwa sahabatnya ini sedang tidak bersemangat hidup.

"Tidak ada. Hanya saja--ada yang aneh. Ada orang asing yang tiba-tiba datang ke flatku ketika Bibi Hyori menagih uang sewa bulanan."

"Lalu?"

"Orang itu membayar uang sewa bulananku sebanyak 10 kali lipat, dan meminta kepada Bibi Hyori untuk memindahkanku ke flat tipe A," jelas Seulgi pelan-pelan.

Wendy hampir berteriak dari seberang sana kalau saja dia tak mengingat bahwa dia sedang berada di rumah sakit sekarang. "Bagaimana bisa!? Dia datang tiba-tiba dan membayar uang bulanan sewamu? Astaga. Beri tahu aku, apa dia tampan?"

"Aku bahkan belum memberitahumu apakah dia laki-laki atau perempuan." Seulgi terkekeh.

"Baiklah, jadi apa yang kau lakukan?"

"Aku marah. Tentu saja aku tak mengenalnya. Aku takut dia macam-macam, Wen. Mana ada orang yang membayar secara cuma-cuma sekarang ini. Aku takut dia meminta sesuatu yang aneh-aneh padaku. Apalagi dia memberitahu bahwa dia hany mengikuti perintah dari Bosnya."

"Wow! Aku langsung terbayang. Seperti film saja," balasan Wendy membuat Seulgi berdecak.

"Dia memberitahuku nomor bosnya, dan bosnya itu mengajakku bertemu di Louis Cafe. Kebetulan sekali dengan Cafe yang akan kita kunjungi hari ini, bukan?"

"Itu namanya sudah takdir. Temui saja orang itu, siapa tahu itu jodohmu. Kapan kalian akan bertemu?"

Seulgi ingin rasanya menjambak rambut Wendy. "Hari ini, jam 10 pagi. Aku ragu ingin bertemu dengannya. Hm--entahlah, feeling-ku tidak enak."

"Kau harus bertemu dengannya. Cepat temui dia segara."

"A-aku tidak tahu." Seulgi terus berjalan di tumpukan salju sambil sesekali memperhatikan jalanan.

"Pokoknya kau harus temui dia! Tidak mau tahu harus kau temui! Bye!" Wendy langsung menutup telepon.

Seulgi kembali melirik jam tangannya, sudah hampir jam 10 pagi. Sepertinya dia harus menemui orang asing itu. Bagaimana pun juga Seulgi harus tahu apa alasan orang asing itu membayar uang bulanan sewa flatnya tanpa persetujuannya.

THE STRUGGLESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang