"Cahayaaaaaaaaaa! Buruuuu!"
"Bentar dongggg"
Laki-laki berbalut koko putih berdiri di depan pintu bertulis 'Istana Cahaya'. Kedua tangannya diposisikan di kedua sisi pinggangnya. Raut wajahnya kesal, baru saja hari puasa akan dimulai, penunggu 'Istana Cahaya' itu sudah membuatnya kesal.
"Cahayaaaaaaaaaa"
"Iyaaaaaaaaa. Dikit lagi"
"Kamu mau kondangan apa taraweh? Lama banget. Tinggal kamu doang nii"
Pintu terbuka, munculkan sosok perempuan dengan balutan mukena putih, lengkap dengan sarung dan sajadah di genggamannya.
"Berisik banget. Cahaya masih bisa denger ya abang bisik-bisik juga. Telepati aja masih kedengaran" Cahaya memutar matanya kesal "Yang lain mana?"
"Ditinggal. Rasain"
Namanya Cahaya Regita, dipanggil Cahaya, biar terdengar seperti sesuatu yang diharapkan dan dibutuhkan orang-orang, cahaya. Dia bungsu dari tiga bersaudara.
Pertama, Mas Arian, sosok kakak laki-laki kebanggaan Cahaya -yang tentunya tidak bangga dengannya- Mas Arian sosok 'laki-laki idaman' di novel-novel yang dia baca. Tampan, kharismatik, cerdas, dokter muda, dan tentu saja tidak pernah tertinggal shalat dhuha dan tahajjud, dari apa yang Cahaya amati. Hanya saja minus laki-laki itu adalah dia dingin dan sedikit atau bahkan banyak dan sangat membenci kelakukan Cahaya.Kedua, Bang Fadil, manusia yang berdiri dan berteriak di depan kamarnya sejak tadi. Kakak laki-laki yang tidak Cahaya banggakan, tapi orang yang selalu ada mendengar semua ceritanya. Yah, meskipun tidak ada satupun yang Cahaya dapati kecuali, cacian makian bahkan masalah tambahan. Bang Fadhil merupakan mahasiswa tingkat akhir jurusan Arsitektur. Kelebihan kakak laki-lakinya yang satu ini adalah tidak dingin seperti Mas Arian dan orang yang mau menunggunya meskipun akan berisik dan tidak berhenti mengomel.
Juga, catat! Kedua kakaknya belum menikah a.k.a singlelillah a.k.a jomblo. Hihi
Lainnya, ada ibu dan Ayah, yang tentu saja orang yang bangga memilikinya, meskipun Cahaya sendiri tidak yakin apakah bangga akan dirinya atau tidak. Yang jelas, keluarganya normal, tidak aneh-aneh. Dia bukan putri konglomerat, bukan pula orang tak punya. Seluruh yang dialami hidupnya, sedang-sedang saja.
"Naik motor apa jalan kaki?"
"Jalan kaki lah, deket gini. Buru mau dikunci!"
"Abang gak mau beli sate padang dulu pulang teraweh? Cuma ada malem kamis kan?"
"Besok sahur, ayo buru! Udah mau adzan isya"
Cahaya mengerucutkan bibirnya kesal. Bisa-bisanya Bang Fadhil merusak rencana malam pertama bulan ramadhannya.
Sabar, Cahaya. Besok puasa.
Masjid kompleks tampak ramai. Aura hari pertama teraweh begitu terasa. Cahaya menengok ke kanan dan ke kiri, mencari orang yang dia kenal terlebih dahulu. Ini semua salah Mas Arian, pasti kakak tertuanya itu yang memaksa ayah dan ibu untuk pergi dulu. Bang Fadil, mana pernah bisa tinggalkannya begitu saja. Secara, sejak Cahaya baru lahir, dia sudah menjadi adik perempuan favoritnya, lagipula mau tak mau hanya dia kan adiknya. Dia akui, dia tak cukup cepat seperti Mas Arian, wajar kan dia perempuan, butuh banyak persiapan. Selalu saja kakak tertuanya itu akan mengatakannya kalau lomba dengan siput pun, dia akan kalah. Memangnya selambat itu Cahaya?
"Nur!" Hanya satu orang yang memanggilnya seperti itu, kak Syifa aka kak Ifa, teman masa kecil bang Fadil.
"Kak demi apapun deh. Bahasa Indonesia lebih baik dibanding bahasa Arab kalau buat nama"
