1. Saat ini kau mungkin belum mencintaiku. Tapi, aku yakin suatu saat nant ....

54 14 2
                                    

'Saat ini kau mungkin belum mencintaiku. Tapi, aku yakin suatu saat nanti kau akan mencintaiku tanpa kau sadari. Dan anggap saja ini adalah janjiku padamu, karena Allah.'

_Aisyana Azra_

*

Ziad nampak gagah dengan pakaian hijau yang dikenakannya, kepalanya dipakaikan penutup yang biasa digunakan di Ruang operasi, serta sesekali ia menarik nafas sambil berdoa agar kegiatan operasi dapat berjalan dengan lancar.

Pasien sudah 'tak sadarkan diri dari beberapa menit lalu akibat pengaruh obat bius.
Setelah berdoa, Ziad memberi intruksi untuk segera memulai kegiatan operasi, dan diangguki oleh para suster yang ikut membantu.

Kini ruangan bercat putih itu, dipenuhi dengan kesibukan dari para dokter bedah.

*

Azra berjalan di Lorong Rumah sakit sambil menenteng rantang yang berisi masakan buatannya, sesekali ia tersenyum menyapa orang-orang yang tidak sengaja berpapasan dengannya.

Di Rumah sakit Azra memang dikenal cukup rama, ia biasanya akan tersenyum pada orang-orang yang tidak dikenalnya sekalipun.
Setidaknya, dengan cara ini ia dapat bersedekah.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW

تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ صَدَقَةٌ

"Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu" (HR. Tirmidzi).

Selagi Allah memberi kesempatan untuk berbuat baik, kenapa tidak?

sebuah kisah dalam Hadis yang diriwayatkan oleh At-Tabrani, kisah yang menceritakan keluhuran Baginda Nabi.

Dulu ketika Rasulullah sedang berjalan-jalan dengan para sahabatnya, yang ketika itu, Beliau memakai selimut dari daerah Najrah yang ujungnya agak kasar. Tiba-tiba baginda bertemu dengan Badwi (Arab pedusunan), tanpa disangka lelaki Badwi itu langsung menarik selimut Rasulullah SAW dengan kuat. sehingga, terlihat kesan merah di bahu baginda.
Lelaki Badwi itu dengan kasar berkata, "suruh orangmu memberi harta Allah kepadaku yang engkau simpan sekarang juga!."

Perlakuan kasar dan sombong si Badwi tersebut membuat para sahabat sangat marah dan ingin mengajarnya. Namun, Rasulullah melayani sikap kasar lelaki Badwi itu dengan senyuman dan berkata dengan senyum manis pula, "berilah lelaki ini makanan apa sahaja yang dia mahu. Para sahabat lantas memberi si Badwi makanan yang dia pinta. Dan mereka tidak jadi mengajar si Badwi kerana senyuman Rasulullah s.a.w. ( HR at-Tabrani no. 7695 )

Sungguh mulia sikap Baginda, bahkan beliau masih bisa tersenyum kepada orang yang jelas-jelas telah menyakitinya, dan 'tak ada satu manusiapun yang bisa menyamai perangai mulia Beliau.

.

Kini Azra sudah berada tepat di depan ruangan Ziad. Namun, ia memilih tidak langsung masuk melainkan terlebih dahulu memantapkan diri, sekaligus memasang kuda-kuda karena tidak ada yang menjamin bahwa Ziad 'tak akan mengusirnya, atau buruknya lagi, Ziad akan melemparkan kata-kata kasar karena dirinya datang tanpa memberitahu siapapun terlebih dahulu.
Oh ayolah, bukankah Azra juga bekerja disini, dan lagi pula sejak kapan seorang istri harus melapor ketika hendak bertemu dengan suaminya sendiri. Konyol.

Bismillah ....

Perlahan tangan kanan Azra memutar knop pintu, dan detik berikutnya pintu itupun terbuka menampilkan sebuah ruangan minimalis bercat putih, yang dihias sedemikian rupa agar terlihat menarik.

Azra benar-benar dibuat kagum, lihat saja tatanan ruangan yang begitu rapi, dibagian sudut ruangan diletakkan sebuah sofa super empuk nan mewah, dindingnya digantung sebuah lukisan wanita yang kepalanya berputar 180 derajat, alih-alih menyeramkan malah lukisan itu seakan menambah nilai plus pada ruangan ini. Di bawahnya terdapat sebuah rak penuh buku seputar dunia kedokteran, serta meja persegi panjang yang di atasnya terdapat tumpukan berkas-berkas yang dapat dipastikan itu adalah meja kerja seorang Dokter Ziad Syahdan.

Tak menyangka ada ruangan seperti ini, di rumah sakit yang selalu nampak menyeramkan, lagi menakutkan.

Azra melangkah perlahan memasuki ruangan yang beberapa detik lalu dipujinya. Namun sepertinya ada yang kurang, kemana pemiliknya pergi?

Wanita berjas putih itu, mengedarkan pandangan keseluruh ruangan yang memang sudah dilakukannya semenjak pintu bercat putih itu terbuka. Namun, orang yang dicarinya memang benar-benar tidak ada diruangan ini.

Tapi ada baiknya juga, karena Azra setidaknya tidak perlu mengeluarkan sumpah serapah ketika menghadapi Ziad dengan sikap dinginnya.

Tak ingin berlama-lama, ia segera meletakkan rantang bawaannya diatas meja yang memang satu-satunya diruangan ini. Sebelum ia terciduk memasuki ruangan tanpa sepengetahuan pemiliknya.

*

Usai kegiatan operasi berakhir, Ziad memilih untuk segera ke ruangannya mendinginkan kepala yang serasa akan meledak jika tidak segera ditangani.

"ZIAD!!!"

Oh nasib, belum sempat Ziad menginjakkan kaki kedalam ruangan, terdengar seseorang memanggil namanya dengan begitu lantang, dan ia tau persis siapa yang sering melakukan ini terhadapanya, yang pasti bukan pekerja di Rumah sakit ini, apalagi pasien.

Ziad membalikkan tubuhnya dengan malas, dan mendapati seorang lelaki dengan postur tubuh jangkung yang tengah tersenyum lebar kearahnya.

Oh ayolah, lihatlah senyum itu, kenapa terlalu lebar? Apakah dia tidak bisa tersenyum biasa saja? dan sejak kapan seorang Ziad Syahdan mulai menjalin hubungan pertemanan dengan lelaki absurd nan gila seperti itu?

Ziad menatap datar kearah lelaki yang masih mempertahankan senyum lebarnya.

"Ikbal, ngapain kamu kesini?" Tanya Ziad to the poin tanpa disertai basa basi.
Yang membuat senyum lelaki yang diketahui bernama Ikbal itu seketika mengendur.

"Tujuh lautan ku seberangi, gunung-gunung kudaki dengan keringat, hanya untuk bertemu dengan engkau. Namun, nyatanya semua usaha yang ku lakukan, 'tak berarti dimatamu, sungguh Kejam dirimu wahai Jubaedah."

"PRET ...."

Ziad memutar bola matanya malas, mendengar ocehan 'tak bermutu dari sahabat karibnya itu.
Terkadang Ziad bingung, katanya Ikbal adalah seorang CEO terkenal. Tapi kelakuannya lebih mirip dengan pasien rumah sakit jiwa yang berhasil melarikan diri.

*

"Siapa yang meletakkan rantang disini?" ujar Ziad sambil menunjuk rantang yang berada tepat diatas meja kerjanya.

"Ya ... oranglah masa genderewo, 'kan serem."

"Ya ... kalo itu aku juga tau kali Zaunuddin."

"Terus ngapain nanya lagi, dasar Markonah."

"Maksud aku orangnya siapa, Maumunah."

"Ya mana aku tau Hayati, emang kamu kira aku CCTV apa?"

Ziad memutar bola matanya, jengah menghadapi manusia sejenis Ikbal bramasta. Jika ini adalah sebuah pertandingan, mungkin sudah sedari tadi Ziad mengibarkan bendera putih, tanda kekalahan.

Ziad memilih mengabaikan Ikbal yang sibuk mengoceh, karena jika tidak, bisa-bisa ia akan tertular Virus gilanya Ikbal.
Mata Ziad kini tertuju pada rantang yang menjadi sebab musabab perdebatan antara dirinya dengan Ikbal.
Ia membuka plastik yang membungkus rantang tersebut, dan mendapati sebuah origami berbentuk kupu-kupu yang diletakkan tepat diatas rantang.

Perlahan ia meraih origami tersebut lalu membukanya, dan sebuah tulisan tangan yang bisa terbilang cukup rapi tertera disana.


'Saat ini kau mungkin belum mencintaiku. Tapi, aku yakin suatu saat nanti kau akan mencintaiku tanpa kau sadari. Dan anggap saja ini adalah janjiku padamu, karena Allah.'

Tertanda _Aisyana Azra_

Ziad terdiam beberpa saat, mencoba mencerna kalimat dalam surat tersebut.
Entah kenapa, otak cemerlangnya tidak bisa memahami kalimat sederhana yang tertera diatas sehelai kertas murah.

"Woe!"

Ziad tersentak, ketika merasakan ada sebuah tumpukan buku yang mendarat dipunggungnya.

"Ngelamun aja, kerasukan genderewo baru tau rasa."

"Yang ada genderewonya itu kamu," balas Ziad, sambil menoyor kepala sahabatnya itu.

Bersambung ....

Wanita perindu surga (Slow Update)    Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang