2. Jangan pernah membuat janji, jika kau tidak yakin mampu menepatinya ....

38 10 2
                                    


Jangan pernah membuat janji, jika kau tidak yakin mampu menepatinya.'

_Ziad Syahdan_

*

Azan Ashar berkumandang, menggema hingga ke setiap penjuru rumah sakit, Azra yang saat itu baru selesai memeriksa pasien segera bersiap-siap untuk melaksanakan sholat di Musholla.

"Mau sholat ya Dok?" tanya salah-satu Suster, yang tidak sengaja berpapasan dengan Azra, dan langsung dibalas dengan anggukan kecil.

"Iyya sus."

"Boleh bareng?" Suster itu nampak ragu-ragu dengan pertanyaannya, Azra kemudian tersenyum sambil menggerakkan kepalanya ke atas dan kebawah sebanyak dua kali, tanda
setuju.

"Kenapa tidak, ayo!"

Suster itu tersenyum. Kemudian segera memposisikan diri di samping Azra yang sudah melangkah lebih dulu.

"Dokter Ziad pasti begitu manis memperlakukan Dokter 'kan?"

Azra sejenak terdiam, menimbang-nimbang jawaban apa yang akan ia berikan. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa pernikahannya dengan Ziad, hanya sebatas kontrak di atas kertas bermatrai yang ketika masanya telah habis, maka hubungan keduanya 'pun juga akan berakhir.
Ah, itu sama saja dengan mengumbar aib sendiri di depan orang yang bahkan bukan siapa-siapanya.

Akhirnya Azra memilih diam dengan seulas senyum yang terkesan dipaksakan. Rasanya terlalu menyakitkan, mengingat kenyataan apa yang tengah ia jalani saat ini.

*

Azra menyandarkan kepala di kursi kerjanya, dengan kedua tangan yang memijat pelipis. Akhir-akhir ini ia sering merasakan pusing, seolah ada beton dengan massa besar yang menindih kepalanya.

Dengan sedikit bergetar Azra mencoba meraih obat untuk meredam sakit kepalanya yang mulai menggila. Kemudian tanpa menunggu aba-aba, ia langsung menelan beberapa pil dengan ukuran dan warna berbeda yang kini sudah berpeindah ketelapak tangannya.

Kening Azra sedikit mengkerut merasakan sensasi pahit yang kini menjalari indra pengecapnya. Ia segera meminum air banyak-banyak, untuk menetralisir rasa pahit dari obat yang baru saja ia telan.

Tok... tok ... tok ....

Azra mendongak menatap pintu putih yang terdengar mengeluarkan suara. Tepatnya memang ada seseorang yang sengaja mengetuk pintu itu dengan brutal.

Sedikit terhuyung ia mencoba bangkit dari kursi, berjalan dengan salah-satu tangan yang masih setia memijit kepala yang terasa berdenyut, rupanya obat yang baru saja diminumnya belum bereaksi.

Klek ....

Pintu terbuka menampakkan seorang suster tengah berdiri sambil tersenyum tulus kepada Azra.

"Assalamualaikum Dok."

"Waalaikum salam."

Azra membalas salam sang suster, namun tidak dengan senyumnya. Wanita itu terlalu pusing untuk hanya sekedar mengangkat bibir.

"Dokter dapat surat," ujar suster sambil mengulurkan tangan yang terdapat lipatan kertas di sana, memancing dahi Azra untuk berkerut dalam.

"Dari siapa?"

"Dokter Ziad."

Setelah menuntaskan tugasnya, suster itu lantas segera pergi dengan senyum yang bahkan masih setia melekat di bibirnya. Dia sepertinya tersipu.
Tunggu, bukankah surat ini untuk Azra, lalu kenapa suster tadi yang tersipu? Sepertinya ada yang tidak beres.

Wanita perindu surga (Slow Update)    Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang