Masa Lalu

7 0 0
                                    

2 tahun yang lalu

"Cleine...! kemarilah, aku menemukan sesuatu yang menarik!" panggil Riile dari seberang jalan. 

Aku dan bibi yang sedang dalam perjalanan pulang dari berbelanja menengok ke arah Riile. Aku hanya memandangnya sekilas, namun bibi nampaknya antusias. Melihat kami, Riile berjalan menghampiri.

"Ah, Riile. Bagaimana kabarmu?"

"Ah bibi, tentu saja aku selalu baik,"

"Baguslah, sering-seringlah berkunjung,"

"Baiklah jika bibi yang meminta, namun apa Cleine berkenan jika aku berkunjung?" sorot matanya sinis, ingin rasanya kupukul wajah menjengkelkan itu. 

"Terserah. Jika kau berniat berkunjung, bawalah banyak makanan, dan jangan lupa persiapkan dirimu untuk menggantikanku mengerjakan pekerjaan rumah." tukasku.

"Kenapa harus aku?"

"Karna kau kan kujadikan budakku," jawabku seraya tersenyum kejam.

"Ahahaha, kalian akrab sekali. Segeralah kalian berpacaran, kalian nampak serasi." Bibi menimpali. Riile tampak bersemu, dan aku hanya memiringkan kepala bingung.

"Apa itu pacaran?" tanyaku begitu saja tanpa memikirkan akibatnya. Bibi langsung tertawa lepas mendengarku. Riile berusaha menahan tawa, tapi wajahnya tak berkehendak demikian, entah kenapa aku merasa kini dia tengah meledek kebodohanku di dalam hatinya. Aku menyesal telah bertanya, sangat menyesal.

"AHAHAHA! Kau lucu sekali Cleine, coba tanyakan saja kepada Riile, dia mungkin tahu."

"Tapi aku ingin bibi yang menjawabnya, jadi aku tak perlu mendengarkan jawaban mahkluk di depanku ini."

"Ahahaha, lihatlah! bahkan Riile tersipu karenamu, kalian pasangan yang cocok sekali. Riile, jika kau sudah membulatkan niatmu, jangan segan-segan untuk mengutarakannya. Hihihi, aku akan menunggunya."

"Apa maksud bibi? Apa yang harus diutarakan? Apa yang bibi tunggu?"

"Ah, kau polos sekali. Sudahlah, segeralah kalian pergi. Cleine, pulanglah sebelum matahari tenggelam, dan kau Riile tolong jaga Cleine, dia anak yang ceroboh." 

"Ah, baiklah," jawab Riile sambil menahan luapan emosinya. Dia mulai mengkondisikan raut wajahnya yang jelas sekali terlihat menahan tawa serta rasa malu (mungkin sedikit tersipu, mungkin).  

"Berhati-hatilah di jalan...!" ucap bibi seraya meninggalkan kami berdua. Kami saling berpandangan,

Canggung 

.

.

.

Sangat canggung

Hingga akhirnya aku yang bersuara, 

"Apa yang ingin kau tunjukkan?"

"Ah itu, aku menemukan tempat menarik di hutan Utara. Apa kau mau ikut?"

"Tentu saja, tidakkah kau dengar perkataan bibi. Aku adalah tanggung jawabmu untuk hari ini."

"Kalimatmu terlalu berlebihan. Tanpa disuruhpun aku akan selalu menjagamu."

"Terserah, ayo pergi." aku memalingkan wajahku, sepertinya pipiku memerah. Lalu kami melangkah beriringan.

***

Kini aku dan Riile berteman, Bibi senang mendengarnya. Umur kami terpaut 2 tahun, tentu saja dia yang lebih tua. Di umurku yang ke-14 ini (kata bibi) akhirnya aku menemukan seorang teman. Jika kau bertanya kapan aku akan berulang tahun, dan kapan hari bernama Happy Sweet Seventeen milikku tiba, aku akan menjawab 'Tidak tahu'. Aku bahkan tidak ingat wajah orang tua kandungku. Sejak umur 4 tahun aku tinggal bersama Bibi Elen. Hanya dia satu-satunya keluarga yang kumiliki.

Setiap kubertanya tentang keberadaan orang tuaku, bibi hanya tersenyum dan berkata

'Jika waktunya tiba, kau akan bertemu dengannya. Janganlah bersedih, bibi akan menjagamu hingga saat itu tiba. Tapi syaratnya kau harus tersenyum, mengerti? Anak pintar' lalu ia membelai rambut perakku. 

Bukannya aku tidak bersyukur, justru aku sangat bersyukur karena bibi menyayangiku. Aku mungkin dikucilkan di tempat terpencil ini, tapi bibi selalu merawatku seperti putri kandungnya sendiri. Ahh... aku sayang bibi. Setidaknya tidak ada yang membenciku, semoga.

Hanya itu yang kukhawatirkan, namun sekarang telah berbeda, karena aku memiliki seorang teman.  

***

Aku dan Riile berjalan memasuki hutan, sudah setengah jam kami berjalan, dan masih sama saja, canggung. Aku hanya melihat sekitar, di sampingku Riile hanya bersiul-siul acuh. Hanya ada beragam pohon yang menjulang di sekeliling kami, mungkin tingginya rata-rata 20 meter. 

Tanaman rambat tak mau kalah, menjalar lebat dengan sulur-sulurnya yang bergelantungan. Cahaya matahari masih memiliki celah untuk masuk, memberikan kehidupan bagi organisme-organisme tanah.

Di depan sana, mentari nampaknya berkuasa, bersinar dengan perkasa di atas singgasananya. Kupayungi mataku dengan sebelah tangan. Kami mendapati hamparan rumput luas yang berbatasan dengan lembaran atmosfer. Semacam tebing bebatuan luas berselimut hijaunya rerumputan dan sekumpulan bunga ilalang yang bermekaran. Aku memandang takjub, kuedarkan pandang dengan girang. 

"Menakjubkan bukan..." Riile mulai menyombongkan diri, namun tak ku hiraukan. Aku berlari ke bibir tebing meninggalkan mahkluk sombong itu. "Hei Cleine... tunggu!!"

Angin berhembus lebut membelai rambutku, aku berlarian menyetujui ajakan angin untuk bermain. Di bibir tebing aku berhenti, terpaku takjub oleh karya seni Tuhan di hadapanku. Awan tipis mengambang ringan, bergerak perlahan ditarik angin. Berserakan menciptakan kolase tak beraturan di atas permadani hijau. Di bawahnya terhampar kehidupan kota yang tak pernah kulihat sebelumnya. 

"Tempat apa itu? Terlihat ramai sekali," tanyaku.

"Itu Kota Clucksurgh, salah satu kota besar di wilayah ini,"

"Aku belum pernah melihat tempat seramai itu, ayo kita kesana." dengan semangat aku melangkah tanpa memperhatikan jalan.

"Hati-hati bodoh! Di depanmu itu jurang, jika kau ingin mati jangan libatkan aku."

"Aku tak akan mati konyol, tenang saja."

"Perhatikan langkahmu!"

Aku yang berada di ujung tebing akan terperosok jatuh jika saja Riile tidak menggapai tanganku. Kaki kiriku berusaha bertumpu sekuat tenaga, tanganku erat menggenggam tangan Riile.

"DASAR BODOH!! lihatlah akibatnya, apa kau mau mengakhiri hidupmu disini?!"

"Umm, pertama-tama bisakah kau menarikku, kumohon... kakiku tak sanggup lagi bertahan." pintaku.

Dengan emosi yang tertahan Riile menarikku. Akhirnya kedua kakiku menapak tanah. Belum ada separuhnya aku menghirup udara, emosi Riile meledak. 

"Kau gila?!! Bagaimana jika aku tidak bisa meraihmu?!! Lalu kau jatuh dan mati begitu saja! Apa kau tak memikirkan perasaan orang di sekitarmu?!! Tidaklah lucu jika harus mendengar kabar kematianmu!!"

"Aku minta maaf,"

"Selalu saja, selalu saja kau minta maaf setelah kebodohan yang kau buat! Tidak bisakah kau berhenti bertindak ceroboh!" 

"Maaf! Maafkan aku! Aku minta maaf!" aku tak bisa mengendalikan emosiku.

Riile menarikku dalam pelukannya, napasku tertahan. Aku tak mengira jika Riile akan menjadi semarah ini, "Ma-afkan aku..." lalu waktu terasa berhenti.

________________________________

Cieee yang digantung~
AWOKAWOKAWOK
Sampai jumpa minggu depan :)
Selamat menyambut Bulan Ramadhan UWU

A PIECE OF THE DARKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang