Kembali lagi ke kisah di atas tebing
"Maaf! Maafkan aku! Aku minta maaf!" aku tak bisa mengendalikan emosiku. Riile menarikku dalam pelukannya, napasku tertahan. Aku tak mengira jika Riile akan menjadi semarah ini, "Ma-afkan aku..." lalu waktu terasa berhenti.
Riile memelukku erat, aku bahkan dapat mendengar detak jantungnya yang gelisah. Maaf Riile, maafkan aku.
Kini ritme jantungnya mulai teratur, Riile akhirnya melepaskan pelukannya. Wajahnya masih merah padam. Lalu ia membuang muka dan menghela napas dengan kasar.
"Hahhh, sudahlah. Maaf, aku mungkin terlalu berlebihan. Ayo pulang."
"Baiklah." jawabku singkat.
***
Jalan berdebu yang sudah sering kali kulalui, masih pemandangan yang sama. Kakiku tetap melangkah, 10 meter berjalan lalu berbalik arah, kembali ke tempat yang sama. Sudah ke 3 kalinya aku menengok ke arah rumah Riile. Sudah 20 jam 6 menit 29 detik sejak kejadian ditebing kemarin. Dan sekarang sudah detik ke-32.
Hei tunggu, mungkin sudah detik ke-35. Arghhh, ada apa dengan diriku?? Hahhhh menyebalkan. Bagaimana nasib mahkluk itu? Apakah dia masih marah padaku? Dia terus saja membuatku memikirkannya. Sial.
"Ah, belanjaan bibi." Aku bergegas pergi. Setibanya di rumah, aku segera menaruh barang belanjaan dan menghampiri bibi di halaman belakang.
"Kau lama sekali." Omel bibi sambil mengusap peluh di dahinya.
"Hehee, ada yang bisa kubantu?"
"Apa yang harus kita lakukan pada mereka?"
"Ummmm," Aku memperhatikan segerobak penuh sayuran hasil kebun. "Entahlah, ah biar aku saja yang urus." Aku mengambil beberapa wortel sawi dan kubis dipelukanku. "Akan kuberikan ini kepada Wawan."
"Wawan??"
"Ya, aku pergi dulu."
"Hei tunggu, siapa itu Wawan?"
"Akan kutunjukkan nanti, sampai jumpa!"
"Baiklah, hati-hati!" Bibi melambaikan tangan, "Tunggu, apa mungkin... oh tidak," Bibi menutup mulutnya dengan tangannya. "Apa mungkin Cleine berpacaran dengan Wawan? Oh tidak, bagaimana dengan Riile. Apakah ini cinta segitiga? Ohh tak mungkin... (Dan pemikiran tak masuk akal lainnya)."
Di sisi lain aku melangkah ringan menuju rumah Riile. Kupandangi sayuran yang kubawa, sepertinya ini cukup. Wawan pasti akan senang, dan Riile... aku sedikit ragu dengannya. Aku gugup, apa aku harus menemuinya? Bagaimana jika dia masih marah? Langkahku terhenti sejenak, lalu kembali melangkah dengan penuh keraguan.Kakiku berhenti di depan Rumah Riile.
Tekadku telah bulat, kuseret paksa keraguan ini untuk menemui Riile. Tanganku mulai mengetuk pintu, hening. Kuulangi lagi tindakan yang sama, tak ada perubahan. Aku menghela napas pelan, sebagian diriku melasa lega, dan sebagian yang lain masih gelisah. Hahhh sudahlah...
Aku berbalik dan menemukan seekor kelinci putih didepanku,
"Ah Wawann, kau sudah semakin besar dan gendutannnnn..."
Wawan be like: Suruh siapa kau selalu memberiku banyak makanan bodoh. Kenapa kedua pria aneh itu meninggalkanku dengan gadis kampung iniiii? Berhentilah memanggilku Wawan gadis bodoh. Lebih baik aku dipanggil Sylvia saja T_T
What's Cleine see: Wawan terlihat menggerutu, mungkin karena lapar. Pipi tembamnya nampak menggemaskan digerakkan oleh rahangnya yang terus menggumam. Ahh lucunyaaa...
"Kau pasti lapar," Aku berjongkok dan menyodorkan sebuah wortel padanya. "Ini, makanlah." ucapku sembari tersenyum.
Wawan tampak senang dan antusias menerima pemberianku. Riile sepertinya tidak ada dirumah, bahkan keluarganya tak ada satupun yang menampakkan batang hidungnya sejak pagi tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
A PIECE OF THE DARK
FantasySakit, dendam, penderitaan, semua itu sungguh memuakkan. Keadaan dimana dirimu tertekan, tersudut, dan tercekik oleh kebencian. Apa kau tahu apa yang kurasakan? "Hei Cleine, sadarlah..." Riile membangunkanku, "Bangun bodoh." "Hmm?" jawabku seraya me...