Sedari tadi yang terlihat hanyalah Rey yang sibuk mengatur senar gitarnya, membuat Jeje dan Haris hanya memutar mata malas. Padahal Rey yang mengajak mereka latihan band hari ini, namun ia pula yang terlihat tak bersemangat.
"Jevan masih lama?" tanya Jeje sambil melirik Haris yang sibuk mengunyah astor didalam toples yang sengaja dibawanya dari rumah.
"Masih dijalan, nganter Salsa latihan saman dulu," jawab Haris, Jeje hanya mengangguk kemudian menatap jam tangan cartier yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Pintu studio terbuka, membuat Haris dan Jeje menoleh. Hanya Rey yang tak bergeming, sibuk mengatur gitarnya. Seorang gadis cantik berdiri di ambang pintu, Jeje segera menghampiri gadisnya yang menenteng bento.
"Beneran dibikinin?" tanya Jeje tak percaya, Haya—pacarnya Jeje—mengangguk saja sebagai jawaban.
"Aduh, apa dikehidupan sebelumnya gua pernah menjadi buronan, ya? Sehingga sekarang tidak dapat merasakan keuwuan ini?" ujar Haris sambil memandang langit-langit, Haya terkekeh pelan, sementara Jeje mendelik kesal.
"Lu mah jadi buronan dikehidupan sekarang," balas Jeje.
"Amit-amit Ya Tuhan, jangan sampai," Haris segera berdoa agar terhindar dari hal seperti itu karena gimana seandainya omongan ngasal Jeje dijabah Tuhan? Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Haris berdiri.
"Ngasal banget! Nanti kalau dijabah sama Tuhan gimana?" kesal Haris, Jeje ketawa aja dengernya.
"Nanti bentonya dimakan bareng, ya?" ujar Haya, bukan Jeje malah Haris yang kesenangan.
"Siap, Hay! Hehehe," cengir Haris.
"Kamu sama siapa kesini? Mau kemana abis ini?" tanya Jeje pada pelita hatinya, asik.
"Sama Nadia, ini kita mau nyari kado buat ulang tahun Sisil," jawab Haya. Mendengar nama Nadia membuat Rey mengalihkan pandangannya kearah Haris dan Jeje.
"Mantan gue ultah, kasih kado apaan, ya? Balikan aja kali, ya? Kado terindah," ujar Haris random banget. Sekarang rasanya Jeje bener-bener mau mukul kepalanya Haris. Nyambung mulu dari tadi, heran.
"Udah ah, aku balik, ya? Dadah," ujar Haya, Jeje sempat-sempatnya mencuri sebuah kecupan singkat pada pipi Haya, membuat gadis itu memerah.
"Zina, omo!" beneran sekarang Jeje mau mukul palanya Haris.
Rey masih asik nyetel-nyetel gitarnya sambil mikir kenapa Nadia enggak singgah kaya biasanya? Kenapa dia menunggu diluar? Apa Nadia gak mau ketemu sama Rey? Jujur banget, kepala Rey mau pecah rasanya.
Jeje yang melihat itu berinisiatif buat nanya, mumpung latihan juga belum mulai, "Rey, lo mikirin apa, sih? Cerita lah."
"Masalah Nadia?" tanya Haris. Rey segera menyenderkan badannya pada sandaran sofa, matanya jauh menerawang kearah langit-langit.
"Cerita aja, meskipun kita gak bisa ngasih saran yang baik, tapi kita pasti bisa jadi pendengar yang baik," ujar Jeje, kasian juga dia liat sahabatnya ini menung mulu.
"Lo inget gak sama cerita cinta pertama gua?" tanya Rey sambil menautkan jari-jemarinya.
"Oh, si Ningsih?" tanya Haris heboh tapi tetep makanin bento buatan Haya tadi bareng Jeje.
"Ningtyas, bodoh," sekarang Jeje beneran mukul kepalanya Haris. Udah mencapai ubun-ubun kekesalannya.
"Iya, si Ningning," jeda Rey, "dia cinta pertama gue, kita pacaran pas kelas sembilan. Janji bakal masuk sma yang sama dan gak bakal pisah. Ternyata dia malah ngingkarin janjinya, dia ninggalin gua."
Kedua sahabat Rey terperanjat, mereka sekedar tau soal cinta pertama Rey ini, tapi gak pernah tahu persis bagaimana kisahnya, "dia kemana? Pisah sekolah? Apa dia dijodohkan?"
"Enggak," tampak Rey menghela napas lelah.
"Trus?"
"Selama ini gua gak tahu kalau Ningning punya paru-paru yang lemah, dia selalu ceria dan galak kalau didepan gua. Tepat hari gua keterima di Neo Culture dan dia juga, gua dapet kabar kalau Ningning harus dilarikan ke Singapur, Ningning dirawat dan akhirnya meninggal disana. Tanpa gue disamping dia," ujar Rey lagi, semakin terperanjat kedua sahabatnya dibuat Rey.
"Gua turut berduka."
" Gua ikhlas sama kepergian dia, mungkin Tuhan emang lebih sayang sama dia. Tapi gue gak tahu kalau itu ninggalin bekas trauma buat gua. Semenjak kehilangan Ningning gua gak pernah percaya yang namanya pacaran, sampai akhirnya gue ketemu sama Nadia.
"Nadia beda dari Ningning, Nadia lebih pendiem tapi dia bisa menenangkan gua. Senyum Nadia semakin menawan dan gua sadar bahwa gua jatuh cinta sama dia. Tapi gua juga takut, gimana seandainya gua kehilangan dia kaya Ningning? Sebisa mungkin gua pertahanankan Nadia di sisi gua.
"Tapi gue salah, itu cuma maunya gua. Gua gak tahu kalau itu menyiksa Nadia, cewek yang gua sayang. Gua gak tahu kalau keputusan gua itu membuat Nadia terluka, tapi gua masih jadi pengecut yang takut. Yang tenggelam dari trauma gua," Rey mendongak keatas, menyembunyikan bulir bening yang ingin jatuh. Haris yang duduk tepat didekat pemuda itu, segera menepuk pundak Rey.
"Jadi, lo masih bingung soalnya Nadia minta status yang jelas?" tanya Jeje, Rey mengangguk sebagai jawaban. Jeje tahu ini sulit, tapi sampai kapan Rey mau begini?Baru saja mulut Jeje terbuka ingin menasihati Rey, ia malah keduluan sama Haris.
"Rey, gua tahu ini berat banget buat lu. Tapi sampai kapan lu mau tenggelam? Semesta punya banyak cara buat anak-anaknya bahagia. Belum tentu apa yang lu takutin bakal terjadi, lu cuma harus percaya bahwa hal kaya gitu gak mungkin terjadi. Gua tahu betapa sayangnya lu sama Nadia, tapi tanpa kejelasan gini juga dia gak bisa Rey, lu harus tegas sama diri lu sendiri," ujar Haris menasehati Rey, asli ini buku kuduk Jeje merinding. Ia berpikir bahwa Haris sedang kerasukan sehingga bisa sebegitu bijaknya.
Aku bahkan tak menemukan diriku.
Dimana akhir dari trauma ini?
Aku bahkan tak tahu, aku butuh tanganmu untuk berpegangan.-Trauma by SEVENTEEN [Hiphop Team]-
---
selamat siangggg 🌸🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
After HTS ✓
Teen Fiction#10ChaptersProject seri #2 Tentang Rey yang berjuang kembali untuk mendapatkan Nadia. ©winniedepuh, 2020