4. When I Was Your Man

458 81 2
                                    

Tersadar dari tidurnya—karena suara berisik Jeje—Rey segera menuju kamar mandi, membasuh wajahnya. Selanjutnya adalah pelajaran Bu Santi yang tidak akan membiarkannya tidur dengan mudah. Rey sudah cukup kapok diskors, digeret ke BK, dan diomeli panjang lebar oleh beliau. Rasanya bisa-bisa kuping Rey akan pecah jika mendengarkan ceramah beliau terus-terusan.

Kakinya melangkah malas kearah kamar mandi yang mana ia harus menyebrang lapangan. Jauh banget, parah. Entah efek masih ngantuk atau bagaimana, pemuda itu tidak sengaja menabrak seorang laki-laki yang tengah membawa peralatan olahraga.

"Eh, sorry. Gua masih oleng," ujar Rey ikut membantu menyelesaikan kekacauan yang ia buat.

"Hahaha, santai aja," ujar pemuda itu ramah. Rey kenal suara ini, Jefrian Panduga, teman sekelas Nadia yang kabarnya pernah dekat dengan gadis itu. Ah, Nadia lagi.

"Sorry banget, baru bangun gua nih," ujar Rey, kemudian menjauh. Jefri tahu betul siapa pemuda itu, bagaimana tidak? Dia adalah pemuda yang mengambil alih semua atensi gadis yang disukainya.

Rey membasuh wajahnya kasar, masih kepikiran sama Jefri. Bagaimana jika nanti Jefri mendekati Nadia setelah berakhirnya mereka?  Apa Rey rela? Tidak, tentu saja ia tidak rela.

"Duh, ribet amat, anjing," keluhnya mengacak rambut frustasi. Padahal kalau dipikir-pikir ini semua adalah salahnya yang tidak memperjelas hubungan dengan Nadia, kenapa sekarang malah ia yang frustasi sendiri?

Rey berjalan menjauhi kelasnya, bergerak menuju UKS. Mau tiduran aja disana, bodo amat dah mau diomelin Bu Santi. Diteleponnya Jeje agar menginfokan kepada Bu Santi ia berada di UKS, bahkan sebelum bu Santi, ia malah menerima omelan Jeje. Makin pusing kepala Rey.

"Dah, berisik lu!" ujar Rey kemudian mematikan ponsel. Tampak penjaga UKS mereka, Bu Kemala atau yang akrab disapa Bu Kem disana.

"Kenapa Rey?"

"Mau tiduran, Bu. Pusing banget," kilah Rey.  Tapi ia memang pusing, sih. Bu Kem ngangguk-ngangguk aja, antara percaya sama enggak. Rey segera menidurkan dirinya dikasur.

Kepalanya hanya berisi Nadia, kenapa bisa ia melepas gadis sekuat dan setegar itu? Rey merasa menjadi orang paling bodoh didunia. Belum lagi ingatan tentang Jefri muncul, pasti saat ini banyak pria yang mengincar gadis itu. Bagaimana jika Nadia mulai berpindah hati? Bagaimana jika Rey ditinggal sendirian? Rey masih tak siap terluka jika seandainya harus mengetahui hal itu. Rey masih amat menyayangi Nadia.

Kepala Rey benar-benar hampir meledak sekarang, pusing sekali rasanya. Dipejamkan matanya, mencoba untuk tertidur barang sejenak. Tak sampai tiga puluh menit, suara-suara berisik muncul, membuat Rey sedikit tersadar.

"Aww, sakit banget!" ujar sebuah suara, Rey tahu pemilik suara itu. Rey hapal sekali. Suara kesayangannya, siapa lagi lalau bukan Nadia?

Dikumpulkannya sedikit kesadarannya yang menghilang, mengintip dari balik tirai pembatas. Tepat seperti pemikiran Rey, itu adalah Nadia. Didepannya ada Jefri yang sedang melepaskan sepatu gadis itu. Rey ingin bangun, menanyakan ada apa? Nadia kenapa? Apa ia terluka? Tapi, kakinya terlalu kaku untuk sekedar bergerak, lidahanya terlalu kelu untuk bertanya mengapa? Lalu, yang ia lakukan hanyalah melihat.

Melihat Jefri menenangkan Nadia, melihat Jefri mengobati gadisnya. Otaknya memaksa untuk bangkit dan bertanya, tapi tubuhnya tak bereaksi sama. Jujur, Rey bingung sekali. Ia ingin marah Jefri menyentuh gadisnya, tapi ia bukan siapa-siapa Nadia. Fakta yang paling menyakitkan Rey.

"Coba lurusin dulu, biar gue kasih koyo," ujar Jefri, Rey ingin protes karena tahu Nadia tak suka dipakaikan koyo, tapi lagi, ia hanya diam, mengintip dibalik tirai yang menghalangi.

Rey semakin kesal karena Nadia menurut, tapi ia hanya diam. Percaya saja, jika Jeje dan Haris disini maka kepala Rey sudah habis dipukul oleh dua orang itu. Mengingat betapa bodohnya Rey.

Jefri memasangkan koyo pada pergelangan kaki Nadia untuk mengurangi nyeri pada kakinya, "disini aja dulu, istirahat. Nanti gue izinin ke Bu Riri," ujar Jefri, Nadia hanya mengangguk tanda mengiyakan.

Jefri pamit keluar dari UKS, Nadia mencoba memejamkan matanya untuk mengusir ingatan bahwa ad koyo yang menempel ditubuhnya. Kali ini, kaki Rey bangkit, tangannya menyibak tirai yang menghalangi. Nadia kaget, kirain siapa itu. Gak tahunya malah Rey.

"Rey?" tidak menjawab perkataan Nadia, pemuda itu segera mencabut koyo yang tertempel pada gadis itu.

"Maaf, Nad. Seharusnya pas Jefri nempelin ini koyo, gua halangin. Tahunya gua masih tetap jadi pengecut yang cuma diam," ujar Rey sendu. Nadia rasanya mau nangis dengernya, karena percayalah, Nadia masih sesayang itu sama Rey.

"Gak pa-pa, makasih ya," ujar Nadia dengan senyum hangatnya.

"Mau saat menjadi orang yang paling penting bagi lo, ataupun udah gak penting lagi, tetap aja gua menjadi pengecut yang gak bisa apa-apa," ujar Rey menunduk.

Boleh tidak jika sekarang Nadia peluk pemuda didepannya ini?














Meskipun menyakitkan, aku kan jadi yang pertama mengaku salah.
Aku tahu mungkin aku sangat terlambat tuk mencoba dan meminta maaf atas salahku.
Tapi, aku hanya ingin kau tahu.

-When I Was Your Man by Bruno Mars-



---




selamat hari selasa 🌸🌸❤


After HTS ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang