BAB 13

84.3K 5.1K 561
                                    

Balik lagi, nih. Kemarin nggak update, kangen nggak?

***

"Barapa lama kamu di sana?"

"Nggak tahu," jawabku tanpa melihat Mas Bara.

"Seminggu?"

"Nggak tahu."

"Dua minggu?"

"Nggak tahu juga."

Mas Bara mengerang frutrasi. Mengusap kasar wajahnya. "Berapa lama sih, Ya, kamu mau ninggalin rumah ini?"

"Mungkin selamanya." Aku menutup koper setelah memasukkan pakaian terakhir. "Aku udah nggak tahan sama kamu lagi, Mas. Kamu nggak kasih aku kepastian dan malah coba-coba buat mencintaiku."

Seminggu setelah aku pulang dari rumah sakit dan keadaannku benar-benar sehat. Aku memilih untuk pergi dari rumah yang menjadi tempat tinggalku dengan Mas Bara. Lebih tepatnya pulang ke rumah sendiri. Nggak tahu sampai kapan aku bisa balik lagi ke Mas Bara atau nggak. Tapi untuk sekarang, aku nggak mau pulang dan kembali ke Mas Bara.

Mas Bara bilang dia akan melepaskan Sarah meski masih cinta. Namun, aku nggak peduli. Yang jelas, aku sudah nggak bisa percaya lagi sama Mas Bara.

"Kalau kamu mikir aku bakal diem aja begitu kamu keluar dari rumah ini, kamu salah, Ya. Aku nggak akan pernah diem. Kamu masih istriku dan aku nggak bisa biarin kamu kayak gini."

Aku menggeram kesal mendengarnya. "Mas, sebenernya kamu itu mau apa sih dariku?"

"Ya... aku mau hidup sama kamu, Ya. Nggak ada lain."

"Kamu cuma mau hidup sama aku, Mas. Bukan menjalin cinta. Dan itu beda," jawabku tegas. "Kalau kita hidup tanpa adanya cinta, kita nggak bisa bertahan. Kamu pasti akan datang padaku di saat kamu membutuhkanku. Aku nggak mau cuma jadi kebutuhan kamu."

Mas Bara bergeming.

Karena berdebat dengan Mas Bara hanya buang-buang tenaga, aku mengembuskan napas panjang seraya berkata, "Aryan bisa terus ketemu sama aku. Kamu bisa antar dia ke kedai."

"Aryan pasti akan tanya-tanya kenapa kamu nggak ada di rumah, Ya," ujar Mas Bara.

"Masalah itu, biar aku yang ngomong sama dia," cetusku. "Kamu juga nggak usah khawatir, aku nggak akan bilang ke Mama sama Papa soal pernikahan kita yang nggak baik-baik aja. Aku nggak akan ngerusak citra baik kamu di mata mereka."

"Raya," lirih Mas Bara pilu. Dia meraih tanganku ketika aku melewatinya. "Bisa nggak sih, kamu nggak pergi?"

Aku menengok ke arahnya. Menangkis pelan tangannya. "Nggak bisa. Ini udah keputusanku untuk pergi dari sini. Sampai semua rasa sakit yang pernah kamu kasih hilang."

"Raya, aku janji nggak akan—"

Aku menggeleng-geleng. "Aku udah nggak percaya kamu lagi, Mas."

Kalau sekarang dia akan menangis lagi, aku nggak peduli. Toh, Mas Bara juga sudah membuatku menangis karenanya. Jadi, impas dong seandainya aku buat dia menangis. Waktu pertama kali aku melihatnya menangis di ruang tengah saja, aku membiarkannya dan malah sengaja nggak mau tidur di kamar yang sama dengan Mas Bara.

Melihatku yang selalu keluar dari kamar yang berbeda, Aryan selalu bertanya, "Bunda, kenapa nggak tidur di kamar Ayah?"

Yang kujawab, "Bunda kan lagi sakit, jadi harus pisah kamar. Takut penyakitnya nular."

"Darah rendah nggak bisa nular," sambar Mas Bara waktu itu yang membuatku melirik tajam kepadanya. "Kamu cuma darah rendah, bukan sakit parah yang bisa nular."

My Hottest Duda [Hottest Series#1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang