Mungkin kebanyakan orang akan berpikir jika aku tidak tahu diri. Mendapat perhatian dari Daren bukanlah hal yang mudah. Ada saja orang yang tidak menyukai kedekatanku dengan Daren sejak dulu. Entah itu berdasarkan iri atau mereka menganggap aku tidak pantas bersanding dengan Daren.
Setelah putus dari Daren, banyak siswi merasa gembira akan hal itu. Tapi tidak denganku yang menangis seharian hari itu, ditemani Occa aku menghabiskan hampir satu wadah tisu ukuran besar.
Lalu sekarang, semuanya seakan diulangi dari awal. Pendekatan, nyaman, kemudian jadian, selalu seperti itu siklusnya. Jika memang aku diberi kesempatan kedua untuk menjalani hubungan dengan orang yang sama, aku berharap kali ini akan berakhir berbeda.
"Hei, ngelamun aja, kantin yuk!"
Aku tersadar dari lamunan saat Occa menepuk pundakku.
"Udah istirahat?" tanyaku, Occa menunjuk pada jam dinding yang terpasang di belakang kelas.
"Makanya jangan kebanyakan ngelamun, kemasukan bagus lo, ntar joget-joget."
"Yee gue gak ngelamun, lagi mikir aja, ya udah yuk!"
Aku dan Occa pergi menuju kantin namun saat tiba di sana, kantin tampak sepi. Tumben, iya tumben saja, ini jam istirahat pertama jadi pasti ramai tapi kenapa sepi?
"Kantinnya tutup?" tanya Occa padaku. Aku mengendikkan bahu, "gak tahu."
"Mau ke kopsis aja?"
"Ya udah deh daripada kelaperan."
Tapi saat aku berbalik, Adimas dan Marsel sudah berdiri di sana.
"Kalian berdua ngapain?"
"Mau jemput Sonya."
Aku mengernyitkan dahi bingung, "gue?"
"Iya lo, siapa lagi yang namanya Sonya."
"Mau ngapain?"
"Ikut kita bentar yuk!" ujar Adimas padaku sementara Marsel membisikkan sesuatu pada Occa hingga gadis itu tersenyum tidak jelas.
"Kalau gitu gue ke kopsis dulu ya."
"Loh, Ca!"
"Kita gak mau nyulik lo, cuma mau ngajak lo pergi karena ada yang nunggu lo sekarang."
"Hah siapa?"
"Dari dulu lo sama aja ya, suka ngeong."
"Hah maksudnya?"
Tiba-tiba ponselku berbunyi yang menandakan ada sebuah panggilan masuk, tertera dengan jelas nama manusia berambut indomie itu di layar ponselku.
"Kayaknya tugas kita udah selesai, kita pergi dulu ya, have a nice day, Sonya," pamit Marsel kemudian berlalu pergi dengan Adimas.
"Mereka kenapa sih?"
Aku menggeser gambar telepon berwarna hijau di layar ponselku.
"Halo, ada apa?"
"Coba lo ke kantin gih."
"Kantinnya tutup."
"Udah turutin aja."
"Lo mulai mencurigakan, Ren."
"Nethink mulu lo, ke sini aja dulu."
"Awas lo ngerjain gue."
"Iya cantik."
Aku memutuskan sambungan telepon lalu pergi menuju kantin. Ternyata pintunya tidak dikunci. Kantin buka seperri biasanya, tapi kenapa sepi? Sampai aku melihat Daren yang duduk di meja yang ada di tengah kantin. Aku segera menghampirinya.
"Lo ngapain?"
"Nungguin lo."
"Idih, tapi kenapa kantinnya sepi banget?"
"Gue lockdown."
"Lah ngapain?"
"Biar gue bisa makan berdua sama lo."
"Kalau teman-teman ada yang laper mau makan gimana kalau kantinnya lo booking gini?"
"Mereka udah makan tadi, sekarang lo duduk dulu."
"Lo aneh sumpah, suka banget nutup kantin," ujarku seraya mengambil tempat duduk di depan Daren.
"Inget gak gue pernah nutup kantin buat lo dulu?" aku mengangguk, "inget."
"Gue mau mengulangi kejadian yang sama."
Kebodohanku adalah membiarkan semua sinyal yang sangat jelas dari Daren itu menguap sia-sia karena nyatanya dia benar-benar serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peace, Fight, Repeat [END]
Short Story"Menurut gue mantan adalah pacar yang udah kadaluwarsa. Dan rasa mantanan lebih menantang daripada rasa pacaran." - Daren Copyright2020 by Renata Sayidatul