Emosi

865 189 17
                                    

Arsa mudah marah karena hal-hal kecil. Dan itu sedikit membuat Mahesa bingung.

"Sa asli gue pukul lo ya?!" ancam Arsa setelah Mahesa dengan isengnya memasukkan lada ke kopi susu milik gadis itu. Arsa dengan polosnya meminumnya karena mengira itu adalah serbuk cokelat.

"Duh Sa gue emosi banget sama dospem gue. Di whatsapp nggak bales-bales padahal online mulu??? Chat gue incognito apa gimana sampe nggak keliatan," misuh si cantik sambil menghentak-hentakkan kakinya ke lantai dengan kesal. Tangannya mengepal sebal tapi pemuda di sampingnya hanya tertawa kecil melihat Arsa emosi.

"Sumpah ya ini orang kalau aja bukan senior gue di tempat kerja udah gue keplak dari kapan tau. Gue perhatiin ngelunjak nih orang lama-lama." tutur Arsa seraya menunjuk-nunjuk layar laptopnya. Bibirnya mengerucut kesal dan tatapannya galak. Kala itu ia dan Mahesa sedang janjian untuk remote working di salah satu kedai kopi di daerah Dharmawangsa. Mahesa hanya menyumpal mulut gadis di sebelahnya dengan kentang goreng agar tidak marah-marah.

"Arsa, coba deh tahan emosinya sedikit."

"GUE NGGAK EMOSI SA TAPI NIH ORANG YA-"

"Nah, itu apa kalau bukan emosi?" tambah Mahesa, membuat yang lebih kecil mencibir. Api yang sedaritadi seperti berkobar-kobar di dada Arsa kini melembut, si cantik malah beringsut mendekat kearah Mahesa, dan menaruh dagunya sendiri di bahu pemuda itu.

"Maaf ya gue marah-marah mulu," ujar Arsa dengan volume pelan, membuat Mahesa secara tidak sadar tersenyum dan mengusap wajah Arsa dengan tangannya yang bebas, sementara pandangannya tidak lepas dari laptopnya.

Tapi toh Mahesa selalu berhasil meredam emosi si cantik. Jadi Mahesa tidak masalah.

"Gimana nyokap?" tanya Mahesa kepada Arsa yang baru saja sampai di tempat kerja pemuda itu. Sudah menjadi kebiasaan mereka untuk pulang bersama dengan salah satu dari keduanya yang menyusul ke tempat kerja masing-masing.

Arsa terlihat lelah dan nyaris tidak berbentuk. Kedua tangannya penuh oleh revisian tugas akhir yang bertumpuk-tumpuk dan beberapa contoh mockup desain. Sambil menggeleng pelan, "Nggak sempet ngobrolin. Nanti aja,"

"Sa..."

"Sa," potong Arsa lebih cepat, "Gue capek. Banget. Please jangan paksa gue buat ngomong ke nyokap dulu."

Mahesa mengerutkan keningnya, dimana Arsa yang biasanya akan mencak-mencak dan ribut ngomel? Kenapa giliran masalah seberat ini gadis itu tidak bereaksi dengan seharusnya? Pemuda itu tidak hanya ingin Arsa segera menemukan solusi untuk masalahnya sendiri, tetapi juga agar gadis itu bisa lebih terbuka kepada ibunya sendiri. Dua hal yang kini sama-sama penting untuk Arsa; pekerjaan dan skripsi; kali ini sedang berbentrokkan. Dan si kecil kewalahan.

Arsa tidak marah, atau kesal. Walaupun Mahesa tahu pasti, gadis itu pasti merasakan gemuruhnya di dadanya sendiri. Itu berat. Mau tak mau Arsa harus memilih.

Tetapi masih, Mahesa tidak mengerti dengan porsi emosinya Arsa.

Apalagi ketika hari itu,

Pelukan terlepas, wajah kekanakan Arsa dan kedua matanya yang gelap menatap Mahesa dalam-dalam. Melihat Mahesa yang masih saja menunduk maka dari itu Arsa kembali memeluk pemuda di depannya itu.

Tangan kecil dan pucatnya mengelus punggung Mahesa dengan lembut, dan si tampan langsung merasa tenang, tetapi jantungnya masih saja berdegup keras; mengalahkan ketenangan hatinya sendiri.

"It's okay... it's okay..." kata Arsa setengah berbisik, pelukannya mengerat, dan Mahesa semakin membenamkan wajahnya di bahu kecil si cantik. Dan setelah beberapa lama, pelukan mereka terlepas lagi, kali ini dengan Mahesa yang sudah lebih tenang dari sebelumnya.

Diam sejenak, jelas Arsa menunggu waktu yang tepat untuk akhirnya bertanya kenapa.

"Ya dengan bapak Mahesa di Jakarta, sudah siap bercerita ada apa?" tanya Arsa kemudian tertawa kecil melihat senyum Mahesa yang mulai mengembang walaupun sedikit. Gadis itu mengerti ketika Mahesa tidak langsung menjawabnya, karena setelah itu yang ia dapatkan hanyalah raut wajah Mahesa yang sedang berpikir; seperti sedang menyusun kata-kata.

Terdengar suara helaan napas dari mulut Mahesa, dan Arsa masih menunggu.

"Gue merasa egois sama lo, Sa."

Kali ini Arsa mengerutkan keningnya, tetapi wajahnya masih tetap tersenyum simpul. Kedua alisnya terangkat seperti meminta alasan.

"Gue..." Berat. Benar-benar berat untuk kata-kata tersebut keluar dari tenggorokan Mahesa. Pemuda itu merutukki dirinya sendiri karena belum berpikir sejauh itu. Bagaimana nanti?

Arsa menunggu. Sampai kapanpun akan ditunggu.

"Gue belum sepenuhnya move-on dari mantan gue," Mahesa mengangkat wajahnya, kedua netranya kini beradu dengan milik Arsa yang masih tidak berekspresi apa-apa; hanya wajah kekanakannya yang kosong. "Dan gue udah disini... sama lo."

Tangan Arsa yang sedari tadi menggenggam erat milik Mahesa kini genggamannya mengendur, perlahan gadis itu menarik tangannya sendiri. Dan Mahesa langsung kelabakan, tangannya hendak mengambil tangan kecil hangat itu kembali tapi si empunya menolak.

"Terusin..." bisik Arsa, parau, serak.

Mahesa menunduk lagi, "Sometimes it's just so sudden. The memories. It hits me like a damn truck. Dan gue nggak bisa nahan pikiran gue sendiri."

"Believe me, Sa. I tried so hard not to think about it. But it's not that easy."

Sayang sama lo juga nggak mudah, dungu.

Arsa sudah mengepalkan tangannya sendiri, tetapi raut wajahnya masih sama. Di dalam otaknya kewalahan, terlalu banyak informasi yang ia dapatkan saat itu. Hatinya juga tiba-tiba seperti berhenti berfungsi. Ia sudah tidak tahu harus bagaimana lagi.

"Sa," panggil Mahesa, "Please say something,"

Harus ngomong apa.

"Lo boleh marah, lo boleh nangis, lo boleh mukul gue sekarang juga. Lo berhak ngelakuin itu semua,"

"Maafin gue, Sa."

"Tolong,"

"Jangan kemana-mana."

Gadis di depannya ini tiba-tiba menarik napas dalam-dalam dengan cepat. Kedua matanya berkedip untuk menahan air yang siap membasahi pipinya.

Nggak bisa, kenapa gue nggak bisa bereaksi apa-apa?

"Arsa... ayo ngomong..." Mahesa tidak tahan dengan diamnya Arsa.

Lalu tiba-tiba yang terdengar hanya tarikan napas lagi.

"Gue... harus ngapain juga Mahesa..." gumam Arsa, lebih seperti orang yang berbisik. "Gue bisa apa kalau emang lo belum move-on?"

Lagi-lagi tenangnya Arsa dalam menghadapi masalah serius benar-benar membuat Mahesa gatal.




GLORY.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang