Selimut Hati

854 212 20
                                    

(yes please listen to dewa 19's selimut hati as well!)




"Waktu itu gue kesini sama mantan gue."

Arsa memalingkan wajahnya, memutar kedua matanya malas. Tidak perlu mendengar informasi itu, sebenarnya.

"Baguslah."

"Liat pamerannya Andramatin waktu itu."

"Oooh,"

Tapi kan sekarang lo perginya sama gue! batin Arsa.

Mahesa menurunkan map pameran seni yang sedang mereka kunjungi. Arsa yang berdiri di sebelahnya masih memerhatikan salah satu instalasi, tetapi kedua matanya kosong.

"Arsyadia," mulai lagi dengan memanggil nama depan.

"Hmm?" sahutnya tanpa perlu melihat kearah Mahesa.

Pemuda itu beringsut mendekat, memegang kedua bahu Arsa dari depan, menghalangi pandangan gadis itu dari instalasi di depannya. "Look at me."

Kedua mata jernih itu kini menatap kearah manik milik Mahesa. Sungguh Mahesa tidak menyukai bagaimana ia tidak bisa membaca tatapan itu. Arsa selalu mudah terbaca maka ketika Mahesa tidak bisa menebak apa yang ada di pikiran gadis itu, ia membencinya.

"Lagi mikir apa?"

Manik gelap itu melembut, tetapi masih enggan menunjukkan emosi. "Nggak ada, gue lagi liat instalasi."

Bagaimana? Bagaimana caranya untuk memberitahu Mahesa kalau Arsa benar-benar merasa tersinggung saat pemuda itu kerap kali mengungkit-ungkit peristiwa yang telah lalu; terlebih bersama mantannya?

Demi Tuhan, Arsa tidak butuh informasi-informasi itu. Entah Mahesa sengaja atau tidak, Arsa sudah tidak peduli lagi. Ini bukan kali pertama Mahesa melakukan itu.

Mahesa tidak menjawab, tetapi sepasang netranya enggan lepas dari sepasang milik Arsa. 

Maka gadis itu memutuskan acara tatap-tatapan mereka, "Misi Sa, nggak keliatan." tangan pucatnya melepaskan pegangan Mahesa dari bahu kecilnya.

Kini pikiran Arsa kembali melayang ke beberapa waktu lalu, disaat Mahesa tiba-tiba meninggalkannya seorang diri diantara kerumunan penonton festival musik saat itu, atau saat Mahesa mendadak diam dan tidak mau diajak berbicara ketika mereka berjalan di trotoar Sudirman; membuat Arsa harus menebak-nebak sendiri apakah ia membuat suatu kesalahan dan berujung Mahesa berjalan sendiri di depannya, seperti lupa dengan Arsa yang ada di belakangnya.

"Mahesa kenapa?" dan selalu dibalas oleh gelengan singkat.

Dan sekarang, ketika gadis itu larut dalam pikirannya sendiri, baru Mahesa berlagak peduli?

Bukannya Arsa ingin balas dendam atau bagaimana, tetapi Arsa memang tidak bisa tidak memikirkan hal itu. Dia ini apa sih, sebenarnya? Mau tahu diri juga susah.

"Gue nggak suka."

Arsa mau tidak mau menoleh kearah Mahesa yang kini berdiri tidak jauh darinya. Suaranya pelan namun dalam, masih dapat terdengar dengan jelas di ruangan pameran yang pengunjungnya tidak terlalu banyak itu.

Si cantik menghela napas pelan, sebisa mungkin tidak terlihat irritated. Kenapa dia selalu harus dihadapkan dengan sifat Mahesa yang suka berubah-ubah itu?

"Gue juga nggak suka,"

Mahesa tidak mengira kalau Arsa akan menjawab seperti itu, dilihatnya gadis berbalut dress tanpa lengan hitam simpel yang panjangnya melebihi lutut pucat dan sneakers berwarna senada itu dengan tatapan bingung.

Ia pun kembali mendekat kearah Arsa, "Lo kenapa sih Sa?"

Kali ini Arsa benar-benar tidak habis pikir, ditatapnya Mahesa dengan senyum sarkas.  "Gue nggak suka kalau lo bawa-bawa mantan lo terus tiap kita pergi. Gue nggak disini buat nemenin lo berduka."

Dengan begitu gadis itu berjalan keluar gedung pameran setelah sebelumnya mengembalikan kartu visitor, enggan melihat ke belakang dan meninggalkan Mahesa yang sudah bingung akan perasaannya sendiri, kini ditambah perkataan Arsa yang juga ada benarnya.



--------------------

apakah boleh kalau aku kelarin glory dulu baru yang lain...?

GLORY.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang