Arsa suka ketika Mahesa selalu meladeni kalimat-kalimat anehnya. Saat senyum Mahesa pelan-pelan melebar begitu Arsa selesai bercerita konyol atau menuturkan tebak-tebakan aneh.
Selalu suka ketika ibu jari pemuda itu terulur untuk melap sisa es krim, sambal terasi, atau bumbu kacang yang pasti selalu belepotan di ujung bibir Arsa.
Terlalu suka saat pemuda itu menariknya mendekat dan mengelus pipinya, atau sekadar memainkan helaian-helaian halus rambutnya. Atau saat Mahesa membiarkan gadis itu berpegangan di lengannya yang kuat ketika naik MRT, dan menopang dagunya di lipatan lengan pemuda itu.
Paling suka saat-saat mereka berdua menjadi rapuh dan Mahesa akan menceritakan seluruh masalahnya kepada Arsa; seolah-olah Arsa itu orang penting dan terpercaya. Paling senang ketika Mahesa mengulurkan tangannya untuk menggandeng Arsa cari makan malam di Jalan Sabang.
Tetapi Arsa tidak suka.
Ketika kedua mata Mahesa menjadi kosong, dan pemuda itu lebih memilih untuk menunduk daripada melihat kearah Arsa yang ada di depannya.
Atau saat Mahesa tiba-tiba melepaskan pegangan tangannya, dan membiarkan tangan pucat Arsa kehilangan hangat yang selalu disukainya.
"Tangan?" tanya Arsa dengan suara pelan, membuka telapak tangannya dan berekspektasi Mahesa akan menerimanya dan menyelipkan jari-jarinya diantara jari-jari Arsa; menggenggamnya seperti biasa ketika mereka berjalan berdua di jalanan SCBD yang selalu ramai namun tetap tenang.
Namun Mahesa hanya menghela napas dan meninju pelan telapak tangan Arsa yang lebih kecil darinya itu dan memasukkan tangannya kembali ke saku jaketnya. Si cantik hanya memperhatikan telapak tangannya yang masih kosong kemudian mencibir, lalu mengepalkan tangannya.
Dan paling benci saat,
"Everything was crystal clear back then. Gue sama dia udah punya rencana masing-masing untuk kedepannya."
Di depan Arsa sendiri yang tengah kesulitan menyelesaikan tugas akhirnya karena dosen pembimbing yang tidak jelas, dan pekerjaannya sebagai desainer agensi lokal yang dirasa sudah membuatnya sakit kepala.
Arsa bahkan belum tahu ia akan makan apa untuk malam nanti, apalagi di lima menit yang akan datang. Arsa tidak punya rencana apa-apa, ia lebih suka mengikuti kemana ombak akan membawanya. Dan menurutnya hidup jauh lebih seru seperti itu; banyak kejutan.
"Terlalu banyak hal yang gue sesalin, terlalu banyak yang disayangkan. Harusnya nggak seperti itu."
"Gue paham, Sa. Tapi sekarang gimana? Udah hampir setahun lo putus, dan dia udah punya cowok baru lagi kan?"
Mahesa menggaruk kepalanya gusar, "Gue nggak suka cowok barunya."
Si cantik tidak sengaja tertawa kecil, "Kayanya semua orang begitu, nggak ada yang suka sama pacar barunya si mantan." Sama seperti sebaliknya, tidak ada pacar baru yang suka dengan mantan terakhir si pacarnya itu.
Kemudian keduanya terdiam, saat itu jam 2 pagi. Di dalam mobil yang dingin, depan pekarangan publik komplek perumahan Arsa. Dua-duanya belum ada yang menunjukkan tanda-tanda ingin pulang.
"Mahesa,"
Arsa paling benci ketika harus dihadapkan dengan Mahesa yang merenung, dan terlihat ada apa-apa. Karena walaupun gadis itu mau membantu pemuda di sampingnya untuk sembuh, ia tidak tahu apakah Mahesa mau berobat atau tidak.
"I hope you'll be fine soon,"
Dan dalam perspektif Mahesa, ia sudah merasa menjadi pemuda paling egois di dunia.
