To get over something is one thing, harus menyesuaikan diri dengan apa atau siapa yang biasanya ada, namun kini tidak ada.
Begitu pula dengan keadaan Mahesa sekarang. Harus menyesuaikan dengan seseorang yang baru, dan keadaan yang baru pula.
Hampir dua tahun ia menghabiskannya dengan seseorang yang hidupnya sama tertatanya dengan miliknya. Setiap tujuan dan rencana sudah dipikirkan matang-matang. Pokoknya rapi dan terorganisir. Hampir seluruhnya.
Mantan pacar Mahesa... benar-benar berbeda 180 derajat dengan Arsa, namun aura substilnya sama. Maka dari itu Mahesa hanya terbiasa dengan presensi Arsa, bukan sifat atau sikapnya.
"Sa makannya jangan berantakan kenapa sih..." keluh Mahesa seraya menarik sehelai tisu untuk mengambil butiran nasi yang berjatuhan di pinggir piring Arsa.
"Sakit perut lagi? Udah gue bilang cabe di seblaknya dikurangin." tetapi tangan kurus namun kuatnya tetap terulur dengan obat pelancar buang air besar yang ia cari khusus untuk Arsa.
"Hah... lo jalan kaki dari Benhil sampai Dukuh Atas? Ngapain..." ujar Mahesa sambil mengusap wajahnya kasar, tapi tetap muncul untuk menjemput Arsa di depan halte Dukuh Atas dengan mobilnya.
"Jangan kebiasaan tidur diatas jam 1 malem bisa kan? Ini gue nggak bisa bedain yang mana panda yang mana lo." tetapi terus menyeduh cokelat panas supaya Arsa bisa melanjutkan tugasnya dengan tenang.
Mahesa tidak terbiasa mengurusi hidup orang lain, tetapi entah kenapa ia tidak keberatan.
Bisa dibilang menjalin hubungan yang agak lama sudah merubah pola hidup Mahesa yang tadinya sudah mandiri menjadi semakin mandiri. Didukung dengan mantannya yang juga hidupnya lurus-lurus saja, Mahesa sama sekali tidak merasa kesulitan.
Mahesa juga sudah terbiasa melihat mantan pacarnya berdandan cantik dan feminin. Maka dari itu ketika ia melihat Arsa yang terlalu supel dan banyak bergerak, Mahesa langsung gatal.
"Saaaaaaa! Ke Petak Sembilan yuuuk!" ajak Arsa tiba-tiba di suatu siang yang mendung.
Ini dia, Mahesa juga tidak terbiasa dengan keinginan Arsa yang selalu mendadak dan seperti tidak dipikirkan terlebih dahulu itu. Sesudah Arsa bilang begitu, petir langsung menggelegar dan hujan turun dengan deras.
"Naik grab wheels dari Sarinah sampai Cipete yuk Sa..." dan yang diterima Arsa hanya delikan tajam dari Mahesa, lalu tawa renyah Arsa yang tidak merasa sama sekali bersalah dengan perkataannya.
"Sa, kalau song itu lagu, songong berarti?" tanya Arsa out of nowhere, ketika mereka sedang menunggu pesanan dimsum mereka datang.
Mahesa membalikkan ponselnya di meja, kedua tangannya dilipat di depan dada, kedua matanya tidak terlihat tertarik, "Apa?"
Entah Mahesa harus merasa bersyukur atau justru merasa tidak enak ketika yang didapatinya setelah itu adalah senyum matahari Arsa.
"Belagu." kemudian tawa.
Mau tak mau sudut bibir Mahesa terangkat sedikit, namun hatinya berdesir. Perasaan aneh itu datang lagi, tapi ia yakin kalau yang lama belum sepenuhnya hilang.
Bisa dia begini terus? Menyesuaikan apa yang sebenarnya sudah sesuai, dan meninggalkan apa yang sudah tidak sesuai dengan harapannya lagi?