Pilihan Sulit

828 199 19
                                    

Mahesa tidak bisa berhenti bersyukur ketika hampir sebulan kemudian Arsa tiba-tiba membalas ratusan chat yang terkirim dan puluhan misscall yang ditujukkan kepadanya.

Walaupun hanya kata tanya berbunyi 'Ketemu boleh?', Mahesa tidak dapat menyembunyikan rasa bahagianya.

Sebelumnya mereka tidak pernah tidak bertemu selama ini, setiap minggunya minimal mereka akan bertemu setidaknya sekali. Maka dari itu ketika Mahesa akhirnya melihat sosok kecil Arsa dengan balutan hitamnya seperti biasa, pemuda itu tidak bisa menahan dirinya untuk tidak memeluk si cantik.

Yang dipeluk tidak membalas pelukan Mahesa sama sekali, walaupun dalam hatinya mati-matian untuk tidak membenamkan wajahnya di lekukan leher Mahesa. Dan Mahesa tidak masalah. Asal dia dapat merasakan hangatnya tubuh Arsa lagi, asal dia bisa mencium wangi khas Arsa lagi.

Butuh beberapa detik sampai akhirnya Mahesa melepas pelukannya dan menyadari bahwa surai hitam Arsa kini memendek; hanya sampai diatas bahu. Raut wajahnya jelas terkejut, mengetahui bahwa sebelumnya Arsa pernah bilang kalau ia tidak pernah mau memotong rambutnya sampai sependek itu.

But nevertheless, Mahesa tetap menyukainya.

Tunggu, apa?

"Arsa..." panggil Mahesa pelan seraya mengelus rambut hitam pendek gadis itu.

Arsa tidak menjawab, "Duduk dulu, Mahesa." suruhnya sambil menunjuk kursi di depannya.

Mahesa pun langsung duduk, tak lama kemudian pesanan minumannya datang.

"Rambut lo⏤"

Gadis itu tersenyum simpul, "Iya, gue potong. Aneh ya? Padahal gue pernah bilang kalo gue paling nggak mau motong rambut segini pendek."

Pemuda itu menggeleng, masih terpana dengan Arsa dan rambut pendeknya yang ternyata membuat gadis itu jauh lebih kelihatan segar dan dewasa daripada biasanya. "Nggak kok." Mahesa mengatakannya dengan tulus. "Bagus,"

Arsa tersenyum lagi, telapak tangannya mengusap lengan pucatnya sendiri. "Maaf... baru balas chat dan telfon lo kemarin,"

Mahesa mengangguk mengerti, dirinya sungguh paham kalau Arsa pasti butuh waktu untuk mencerna semuanya sampai akhirnya ia berani mengambil sebuah keputusan. Mahesa tahu betul Arsa sebenarnya bukan tipe orang yang suka berlama-lama berkontemplasi, tetapi untuk yang satu ini⏤Mahesa bersyukur Arsa memikirkannya terlebih dahulu.

"A-apa kabar?" Sial, kenapa Mahesa jadi gagap begitu.

"Nggak begitu baik... tapi udah lewat kok." sahut Arsa seraya menyesap minumannya sendiri, kedua matanya masih memandang Mahesa dengan sorot jenakanya. "Lo gimana?"

Si tampan memejamkan kedua matanya sebentar sebelum menjawab, "Gue nungguin lo bales chat, telfon, sms gue, Sa."

"Kan udah gue bales?"

Mahesa juga seharusnya tahu kalau Arsa mungkin akan menjadi lebih sulit daripada biasanya. Memang benar adanya frasa itu, waktu merubah orang. Tetapi Arsa berlaku seperti itu untuk melindungi dirinya sendiri.

"Dan kalau boleh tahu, kenapa lebih milih untuk akhirnya bertemu sama gue?" tanya Mahesa, menjadi dirinya sendiri yang tetap kritis, dan kembali berusaha membaca intensi Arsa. Seperti biasa.

Tetapi frustasi adalah kata yang tepat untuk menggambarkan pikiran Mahesa kala ia seperti sudah kehilangan kemampuannya membaca Arsa lagi. Gadis di depannya ini benar-benar sudah tidak dapat ditebak.

Maka dari itu menyerah adalah jawabannya.

"Biar semuanya clear aja." jawab Arsa.

Keduanya kemudian terdiam cukup lama.

"Kalau boleh jujur... gue memang manfaatin lo, Sa. Walaupun gue nggak bermaksud demikian, tapi kenyataannya itu yang gue lakukan."

Mahesa kembali memulai dengan detak jantung yang tidak karuan.

Gadis itu langsung menegang, "Gue tau kok," Arsa menggigit bagian dalam pipinya, "Dan sebenarnya gue nggak begitu masalah akan itu, tapi entah kenapa begitu denger langsung dari mulut lo, gue masih aja kaget."

"Karena gue pikir, lo bisa sembuh, Mahesa." si cantik mengepalkan tangannya.

"Tapi gue sadar kalau itu bukan tanggung jawab gue. Gue nggak harus berkontribusi apa-apa buat kebahagiaan lo, Sa. Percuma, kalau lo sendiri tetep ngeliat ke belakang."

Mahesa benar-benar terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulut Arsa. Ia baru sadar kalau sekarang gadis di depannya ini sudah tidak bisa lagi diraih

"Arsa..." Bagaimana caranya Mahesa memberitahu Arsa kalau gadis itu boleh berkontribusi banyak untuk kebahagiaannya? Bagaimana caranya Mahesa memberitahu gadis itu kalau ia mau Arsa untuk jadi salah satu bahagianya?

Arsa menunduk, sebisa mungkin menahan air matanya sendiri. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri kalau ia tidak akan menangis di depan Mahesa. Tidak boleh terlihat menyedihkan, tidak boleh terlihat memohon-mohon, tidak boleh menyodorkan diri sendiri.

DI satu sisi Arsa juga tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Mahesa kalau selama ini ia selalu mencatat setiap kencan-kencan mereka; bahkan se-sepele Mahesa yang membelikannya kopi susu, atau sesimpel mereka berjalan mengitari GBK di malam hari. Arsa tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Mahesa kalau dirinya benar-benar menikmati setiap detik yang dihabiskan berdua, bagaimana tiap pertemuan memberikan Arsa harapan sedikit demi sedikit.

Tetapi Arsa juga sadar, ia tidak bisa terus-terusan berusaha untuk membahagiakan Mahesa, ia tidak bisa terus-terusan berusaha sendirian.

Tidak ketika Mahesa juga tidak berusaha untuk membantu dirinya sendiri.

"Maafin gue, Sa. Maaf kalau mungkin gue nggak bersikap seperti yang lo harapkan, maaf kalau gue nggak seperti ekspektasi lo, maaf juga kadang gue selalu pingin ketemu sama lo, selalu pingin ngelakuin banyak hal sama lo. Maaf kalau lo mungkin pernah merasa terpaksa ngelakuin sesuatu sama gue. Maaf kalau mungkin ada beberapa waktu lo nggak pingin ketemu gue, tapi lo terpaksa harus. Gue minta maaf..."

Kini setiap senti tubuh Mahesa diliputi oleh rasa bersalah, ia tidak pernah menyangka kalau selama ini ia se-egois itu. Mahesa merutukki dirinya sendiri karena selama ini ia memang hampir tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan gadis di depannya. Baru-baru ini menyadari bahwa selama itu Mahesa benar-benar denial.

Mahesa ingin sekali mengatakan kalau ini semua bukan salah Arsa. Tidak ada dari seluruh percakapan ini yang menjadi salah Arsa. Arsa tidak sama sekali melewati porsinya, dan Mahesa dengan bodohnya memanfaatkan itu semua.

"Arsa, bukan salah lo."

"Enggak, Mahesa. Mungkin disini gue aja yang terlalu maksain kehendak gue sendiri. You deserve to heal, you deserve to be happy, but with your own way."

"Arsyadia⏤"

Arsa menggeleng, memotong kalimat Mahesa, "Let's just figure everything out in our own way too. Give both of us some times to think,"

Dan hari itu kira-kira menjadi penutup dari banyaknya hari dan waktu yang sebelumnya dihabiskan bersama. Dengan perasaan yang terus-terusan hanya menjadi asumsi.

GLORY.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang