Terima Kasih

1.2K 222 31
                                    

"Eh, gua ngidam dimsum kampus A deh."

Jantung Mahesa berdetak keras untuk sekali ketika mendengar nama kampus tersebut. Ia dan satu senior di tempat kerjanya sekarang baru saja selesai meeting di salah satu menara perkantoran di daerah Blok M, dan waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Memang jam-jam butuh cemilan, sih.

"Duh Mas nggak ada tempat lain apa dimsumnya?" keluh Mahesa seraya memasukkan laptopnya kembali ke ransel hitamnya. Tak lupa ia menyampirkan jaket bomber hijaunya di bahunya sendiri.

Si senior malah menggeleng, "Nggak ada, Sa. Lu cobain dulu dah baru boleh ngomel sama gue."

Sering kali, pikir Mahesa.

Mahesa hanya diam, walaupun nantinya kemungkinan ia akan bertemu Arsa akan sangat kecil, tetap saja ia tidak bisa melupakan beberapa memori yang mereka lewati bersama disitu. Bagaimana Mahesa menjemput gadis itu setelah sidang proposal, bagaimana Mahesa mengantar dan menunggu Arsa bimbingan skripsi, ataupun hanya sekedar makan siang di depan kampus Arsa yang sudah pasti banyak makanan.

Tetapi pemuda itu seakan tidak punya kekuatan untuk menolak begitu melihat si senior dengan santainya memesan taksi online dengan tujuan kampus A. Terus-terusan ia berdoa dalam hati supaya Arsa tidak sedang ada jadwal bimbingan di kampusnya.

Sudah 3 bulan sejak hari itu. Seharusnya sudah tidak apa-apa.

Sesampainya di depan kampus A, si tampan menghela napas lega karena suasana kampus hari itu tidak begitu ramai. Tetapi semuanya seketika berubah beberapa menit setelah Mahesa mendudukan bokongnya di lapak penjual dimsum.

Jantung Mahesa berdegup kencang; lagi. Tidak, tidak, tidak. Ia benar-benar tidak menyangka akan bertemu Arsa seperti ini. Gadis itu menenteng beberapa buket bunga besar dan tubuh rampingnya berbalut kemeja putih yang lengannya hampir sleeveless dan celana hitam yang pas. Dibandingkan dengan orang-orang lain yang habis sidang akhir, Arsa benar-benar terlihat seperti sangat santai. Tak lupa dengan selempang yang tertuliskan namanya dan gelar sarjananya.

"AKU LULUS TEMAN-TEMAAAN," pekik Arsa kepada beberapa teman seangkatannya yang sedang nongkrong di warkop persis sebelah gerobak dimsum langganan senior Mahesa berjualan. Kemudian Mahesa bisa melihat gadis itu menari-nari kecil sementara teman-temannya bersorak dan memeluk abang warkop tersebut, tak lupa mengucapkan beberapa kata terima kasih yang tidak bisa Mahesa dengar sepenuhnya.

Hati Mahesa sedikit mencelos begitu menyadari kalau Arsa pasti kehilangan berat badan yang tidak cukup drastis, tetapi tetap noticeable. Lengan yang biasa Mahesa bercandakan dengan mencubit-cubit kulitnya yang sintal sekarang mengurus. Tetapi kedua pipi gadis itu masih sama. Dan rambutnya sudah sedikit lebih panjang dari yang terakhir kali Mahesa lihat. Arsa jarang memakai baju berwarna terang selain hitam atau abu-abu gelap, sekarang kulit pucatnya hampir bersaing dengan kemeja putihnya sendiri.

Sampai akhirnya gadis itu melihatnya. Sungguh Mahesa dapat melihat jelas senyuman Arsa langsung luntur. Mungkin lebih kearah terkejut? Tapi gadis itu sama sekali tidak memalingkan wajahnya sesentipun dari Mahesa.

Sementara itu Arsa sendiri tidak pernah menduga kalau pemuda itu akan muncul tepat hari ini. Dari seluruh doa-doa yang Arsa pernah ucapkan dalam hati, tidak disangka akan dikabulkan di hari ia sidang skripsi.

Hari yang sebenarnya sudah Arsa harapkan; Mahesa akan datang. Tetapi keadaan berubah terlalu cepat.

Entah bagaimana, bukannya menghindar seperti yang dikira oleh Mahesa, gadis itu malah berjalan pelan mendekat dan berdiri tepat di sisinya. Kedua mata Arsa menatap sepasang milik Mahesa dalam-dalam, namun apa artinya Mahesa pun tidak tahu.

GLORY.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang