Ada sesuatu yang benar-benar tak dapat kusangka di hari ulang tahunku. Keluarga Andi merayakan ulang tahunku dengan penuh kehangatan. Andi memberiku sebuah handphone baru, tante Fira memberiku baju yang indah, Neva boneka, dan om Rio sendiri memberiku cake ulang tahun. Hari yang jarang sekali terjadi padaku. Namun tetap saja, pikiranku tak bisa lepas dari bayang-bayang Farish. Sejak pertengkaran itu, aku sudah mulai jarang melihat wajah Farish memainkan film seperti biasanya lagi. Sekarang kami benar-benar diantara ada dan tiada. Belum ada kata putus tapi kami juga nggak lagi berhubungan. Mungkin dia sekarang benar-benar nggak ingat denganku lagi. Mungkin hari itu dia benar-benar menganggap kami putus.
Aku melangkahkan kakiku ke ruang TV, dan kutemukan Andi disana. Sudah sebulan aku tinggal disini dan aku hampir lupa kalau ini bukan rumahku. Aku menengok ke kanan ke kiri saat kusadari rumah ini terlihat sepi.
"Lho? Tante Fira sama Neva kok nggak ada?"
"Mereka ke mall," jawab Andi sambil tersenyum. Aku berjalan ke arahnya dan duduk di sampingnya. "Makasih ya hadiahnya? Keluarga kalian memang baik ya sama aku! Padahal aku juga cuma numpang disini," kataku memulai percakapan. Andi menatapku lekat.
"Ada yang kamu pikirkan?"
"Hah?" Aku tersenyum simpul "Nggak kok! Nggak ada apa-apa!"
"Kamu mikirin Farish?"
Aku tersentak sesaat, tapi segera kutenangkan kembali diriku dan mengangguk kecil "Hmm. Tapi sekarang kita udah nggak berhubungan lagi!"
"Berarti kamu masih sayang sama Farish dong!"
"Iya!"
"Jujur banget!" kata Andi sambil tersenyum "Berarti aku memang nggak ada kesempatan ya?"
Sekarang aku yang menatapnya "Maksudmu?"
"Selama ini aku selalu iri pada Farish yang bisa mendapatkan cewek sepertimu. Aku iri melihat kalian begitu serasi. Dan waktu Farish udah nggak lagi di sampingmu, aku ingin mencoba mendapatkanmu!"
Aku terpaku "Jadi... kamu...."
"Jadi kamu emang nggak sadar ya? Berarti Farish itu memang hebat ya? Aku udah lama suka sama kamu, dan baru belakangan ini aku bisa membantumu. Aku rasa ini bisa cukup menarik hatimu!"
Hening. Aku tak dapat menjawab kata-katanya. Jadi... selama ini Andi selalu menyukaiku? Kenapa aku nggak sadar sih?
"Maaf."
"Lho? Kenapa minta maaf? Kamu nggak salah kok! Aku aja yang terlalu berharap!"
"Aku juga salah kok! Aku egois karena yang ada dipikiranku hanya Farish dan Farish. Sampai-sampai aku nggak sadar!" jawabku lemas. Andi tersenyum dan berdiri dari duduknya. Ia menarikku tiba-tiba.
"Kamu mau ngapain?"
Dengan pelan, Andi mulai melangkahkan kakinya dan menggeretku. "Jawaban kamu itu udah cukup kok untuk buktiin kalo kamu masih sayang sama Farish!"
"Maksudmu apa sih? Aku nggak ngerti!" Langkah Andi kembali terhenti. Ia menghela nafasnya. "Aku cuma ingin melihat orang yang kusayangi bahagia. Itu aja! Kalau mungkin bukan aku, berarti orang itu lah yang benar-benar bisa membuatmu bahagia."
Aku mengerutkan dahiku bingung "Maksudmu apa sih?"
Andi menatapku lekat, dan memegang erat pundakku. "Maaf ya? Aku baru bilang sekarang. Aku juga egois karena nggak bilang ini sejak awal. Sebenarnya.... Hari ini Farish akan bermain film di Singapura selama 3 bulan. Dan setelah itu kembali disusul dengan acara manggung lainnya."
Tiba-tiba saja tubuhku bergetar hebat. Aku tak mampu lagi berkata-kata saat ini. Jadi aku dan Farish benar-benar nggak bisa ketemu lagi?
"Sekarang kamu susul dia. Mungkin sekarang dia masih ada di rumah. Dia juga pasti nunggu kamu kok! Karena mungkin tinggal sekarang saja kalian bisa bertemu."
"Kamu tahu dari mana dia nunggu aku?"
"Kemarin malam kita ketemu dan apa yang dia katakan sama seperti jawabanmu tadi. Dia sama jujurnya sama kamu. Artinya dia masih sayang kamu. Kalau kamu ingin sesuatu terjadi sebelum dia pergi, lebih baik kamu temui dia sekarang!"
Aku masih nggak bisa percaya kalau....
"Cepetan!"
"Tapi kamu.... "
"Kamu sayang Farish kan?"
Aku mengangguk
"Kalo gitu cepat temui dia!"
Aku mengangguk lagi "Makasih dan maaf ya? Aku nggak bisa melakukan apa-apa untuk membalas ini semua! Kamu udah baik banget sama aku!"
Ia tersenyum. Dan setelah itu, tanpa sadar langkahku sudah berlari kencang untuk menemui orang yang paling kusayangi. Aku segera menyetop taksi yang lewat dan langsung masuk ke dalamnya. Aku segera turun dari taksi tersebut setelah setengah jam perjalanan. Setelah turun, aku pun langsung mengetuk rumah Farish. Aku tahu dia tinggal sendiri karena kedua orang tuanya sering pergi keluar kota.
Aku mengetuk pintu rumahnya berkali-kali hingga akhirnya pintu itu pun terbuka. Wanita berusia sekitar 45 tahun berdiri di ambang pintu.
"Lho? Mbak Nicta ya?" sapanya dengan wajah sedikit kaget. Wajar aja, sekarang aku bahkan udah nggak pernah kesini lagi.
"Iya bi! Ehm... Farishnya mana?"
"Oh! Den Farishnya tadi baru aja pergi! Tadi mbak Nicta ketuk pintu, Den Farishnya pergi. Tapi dia pergi lewat belakang, soalnya kejauhan kalo lewat depan."
"Pergi?"
Wanita itu kembali mengangguk. Dan tanpa kuhiraukan aku segera berlari memutar. Yang aku pikirkan adalah semoga saja aku nggak ketinggalan. Aku terus berlari hingga akhirnya kutemukan sosoknya.
"Farish!!!"
Terlambat. Dia sudah terlanjur masuk ke dalam taksi. Aku berusaha mengejarnya tetapi ternyata tak terkejar. Berapa kalipun kutunggu, taksi juga tak ada yang datang. Waktunya juga udah mepet. Kalau aku menyusulpun, nantinya pasti dia udah berangkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengharapkan Pelangi (Antologi)
Short StoryKumpulan cerita ini dibuat saat saya berusia 13 atau 14 tahun.