Untuk Hari Lebih Baik (Part.2 - END)

228 6 0
                                    

Pintu yang mulai terbuka....
Lima tahun yang lalu...

Keluargaku adalah sebuah keluarga yang tergolong sangat sederhana. Aku punya dua orang kakak kelas 1 SMU dan seorang adik yang masih sangat kecil. Setelah pindah, tiba-tiba aku merasa kehidupanku menjadi berubah. Sekarang aku bahkan tak memiliki teman di tempat baruku. Kami tinggal di desa dan itu bukan suatu hal yang biasa karena kami biasa tinggal perumahan. Dan mungkin karena ketidakadaan silaturahmi atau kekeluargaan dengan tetangga lain. Semuanya menjadi sempit dalam rumahku. Dan aku mulai merasa pengap dengan keadaan rumahku yang keharmonisannya mulai hancur. Aku tidak pernah tahu dan tak pernah ingin tahu apa masalah yang tengah dialami orang tuaku. Karena aku tak pernah berfikir untuk masuk ke dalam masalah mereka. Tapi mama mulai menggunakan orang ketiga akibat tak adanya teman di rumah. Beliau jadi jarang masak. Ayam bakar yang di buat pun tak selezat biasanya. Dan tak lama kemudian, keluarga kami hanya membeli makanan saja. Lidahku yang dulu terbiasa merasakan makanan yang di buat mama, hilang begitu saja.

Faktor ekonomi pun menjadi salah satu faktor pertengkaran mereka. Setiap aku mendengar suara teriakan mama dan cacian papa, aku selalu menangis. Aku selalu meneteskan air mata dengan sangat deras. Tapi aku selalu melakukannya di dalam kamar. Tak seorang pun boleh melihat air mataku. Bahkan aku tak pernah berfikir untuk menghibur adikku yang belum tahu apa-apa. Ia memegang boneka sambil menangis di sudut ruangan. Ia pasti sangat sedih. Umurnya baru 3 tahun tapi harus melihat pertengkaran tanpa ujung itu. Mungkin saja kakak juga merasa hal yang sama denganku. Sedih, dan itu sesuatu yang sangat menyebalkan. Aku tak pernah berfikir hal seperti ini akan terjadi pada keluargaku. Karena itu aku tak pernah bisa benar-benar berfikir positif.

Aku masih ingat cerita mama yang mengatakan bahwa umurnya mempunyai selisih cukup jauh dengan papa. Yah! Sekitar sepuluh tahunan lah dan itu pun karena mama dijodohkan oleh orang tuanya. Hari itu mama pernah bercerita padaku kalau ia bosan dengan papa. Karena itu ia menggunakan orang ketiga sebagai tempat curhatnya. Mungkin itu juga menjadi alasan ketidakcocokan mereka. Dan aku masih ingat pertengkaran selanjutnya. Mama dituduh mengambil beberapa uang papa yang mulai sering habis tiba-tiba. Meskipun tak begitu detail, tapi aku tahu beberapa masalah yang mereka alami. Kami tinggal di Yogyakarta, tapi sebenarnya mama tinggal di Padang, sehingga terkadang mama merasa tak betah tinggal di tempat itu. Aku juga merasa sangat tak betah tinggal di tempat itu. Aku selalu berfikir untuk kabur dari rumah. Tapi aku tak pernah tahu dimana tempat yang akan kutuju selanjutnya. Walaupun berfikir untuk bercerita pada teman-teman di sekolah, rasanya itu tak akan bisa mengurangi kesedihanku. Mereka tak sebaik teman-teman yang kumiliki dulu, karena itu aku selalu merasa kesepian. Petengkaran itu bahkan selalu terjadi selama hampir dua tahun. Meski tak selalu bertengkar, tapi akhirnya aku tahu apa yang mungkin terjadi setelah ini. Mungkin saja kedua orang tuaku akan bercerai. Aku sudah mendengar banyak sumber tentang kehidupan rumah tangga orang tuaku yang bahkan aku sendiri tak tahu.

Beberapa teman mama mengatakan kalau sejak awal mama memang tak pernah benar-benar menyayangi papa karena pernikahan mereka pun hanya hasil perjodohan. Dan aku juga mendengar bahwa mama sering di tampar oleh papa. Bahkan pernah sekali aku menemukan mama mencoba bunuh diri karena ketidakpercayaan papa pada kejujurannya. Sebagai anak, aku tak pernah tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Terkadang pikiran kemungkinan perpisahan mereka pun terlintas di pikiranku.

Suatu hari, tepat saat aku kelas 3 SMP, secara tak di sengaja aku mendengar mereka sedang bicara. Kali ini bukan dengan bertengkar, melainkan dengan cara baik-baik. Dan yang kudengar tanpa sengaja itu adalah bahwa mama menggugat cerai papa. Saat mendengar itu, sebenarnya aku sangat ingin menangis. Hatiku terasa sangat sakit mendengar itu, tapi aku terus berjuang agar tak setetes air pun jatuh dari pelupuk mataku. Sudah cukup banyak aku menangis karena pertengkaran mereka. Tapi kali ini, aku tak ingin lagi menangis. Mungkin aku merasa amat sangat sedih karena keluargaku benar-benar hancur. Tapi jika perpisahan adalah yang terbaik untuk keduanya sehingga tak lagi kudengar suara yang amat kubenci itu, apa boleh buat, terpaksa aku harus mengijinkannya. Meskipun dalam hatiku masih ada secercah harapan agar semua kembali seperti sedia kala lagi. Saat itu pun, aku tak menemukan seseorang yang dapat meringankan bebanku, karena itu aku hanya dapat tuliskan dalam diary kecil yang kumiliki dan doaku yang selalu kulantunkan pada-Nya.

Mengharapkan Pelangi (Antologi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang