Aku yakin bahwa akan ada suatu keajaiban yang lebih baik, juga hari yang akan selalu kuwarnai dengan senyuman. Aku hanya berusaha untuk tak pernah lagi menangis.
"Taraaaa! Makanan sudah siap!" Dengan gaya layaknya seorang koki, aku membawa piring di atas tanganku sambil berputar menuju meja makan. Tentu saja posisi piring itu cukup tinggi untuk kupamerkan. Empat ayam bakar yang cukup besar dengan hiasan beberapa lalapan disekitarnya akhirnya berhasil kubuat setelah beberapa kali gagal.
Dengan rapi kuletakkan piring tersebut tepat di tengah dan mempersiapkan minuman lain. Meskipun kuanggap makanan ini sudah berhasil kusiapkan, tapi ketiga orang yang duduk di atas kursi sekitar meja makan masih saja memandang masakanku ini dengan tatapan ragu. "Kalian iniiii.... Kok tampangnya nggak enak gitu sih?" Akhirnya kutanyakan juga masalah ekspresi mereka tentang makananku.
Satu-satunya cewek di antara kedua cowok lainnya yang sedang duduk mulai berkomentar "Myta.... Gue nggak yakin nih makanan lo bisa dimakan meskipun tampangnya keliatan lezat gitu." Wajahnya masih terlihat sangat ragu seperti dugaanku. Namanya adalah Andine dan kita sahabatan sejak kelas 1 SMU. Aku sangat kenal dengan mulutnya yang selalu berkata pedas, ekspresinya yang selalu meragukan, dan sifatnya yang hobi menjatuhkan. Wajar juga sih! Selain dia selalu punya keahlian diatasku, nilai diatasku, dia jugalah yang mengajariku hingga aku benar-benar dapat hidup mandiri hingga sampai berada di apartemen ini. Aku sangat mengaguminya meskipun sifatnya begitu.
"Hahaha.... Tapi keliatannya enak kok! Ngomong-ngomong... katanya kamu baru sekali ini berhasil masak ayam bakar nggak gosong ya?" Salah seorang cowok di samping Andine juga mulai membuka mulut. Namanya Donny, dan dia adalah pacar Andine sejak mereka masih SMP. Hhh.... Aku salut dengan hubungan mereka yang bahkan sudah sekitar 6 tahunan, tapi masih aja langgeng. Nggak seperti seseorang yang bisa begitu saja berpisah setelah tiga belas tahun bersama.
"Hm... nggak juga! Meskipun baru sekali, tapi keliatannya ayam bakarnya enak kok! Biasanya Myta kalau dapat menyelesaikan sesuatu, meskipun luarnya terlihat bagus, dalamnya juga pasti bagus!"
Aku tersenyum sumringah mendengar pujian yang disampaikan cowok di samping Donny padaku. Cowok bertubuh tinggi yang selisih satu tahun di atasku ini bernama Angga. Boleh di bilang dia itu cinta pertamaku ketika aku masih duduk di bangku SD. Yah! Dia adalah seseorang yang bisa dibilang tingkahnya itu jayus dan nggak begitu jantan. Lagipula waktu SD, dia pernah berada satu kelompok denganku dalam sebuah lomba, sehingga aku bisa lebih akrab dengannya. Mungkin dia populer karena memiliki paras wajah yang imut tapi sangat tampan, dan dia juga disukai banyak cewek termasuk aku. Dia kaya dan dia juga selalu memegang peringkat tertinggi di sekolah. Orang tuanya bekerja sebagai seorang presiden direktur sebuah perusahaan kosmetik dan pemilik butik. Jadi nggak salah banyak cewek yang ingin dekat dengannya. Di bilang aku salah satu cewek yang menyukainya pun aku nggak pernah memandangnya dari materi. Jujur aja, dulu aku menyukainya karena dia selalu membuatku tertawa dengan kejayusannya. Kami selalu duduk depan-belakangan, dan kami sangat sering bercanda. Hanya saja saat lulus SD, aku nggak bisa lagi bertemu dengannya, dan SMP kami tak sama. Saat itu aku pernah berfikir menyerah, tapi di tengah perasaanku yang mengatakan hampir menyerah, masih saja terbesit harapan dalam hatiku untuk dapat bertemu lagi dengannya suatu saat nanti. Entah kenapa keajaiban itu datang, kami bertemu lagi saat liburan kelulusan di SMP. Hanya sesuatu yang dapat disayangkan, kami bertemu lagi disaat aku sedang diserang perasaan untuk tak pernah lagi percaya dengan yang namanya laki-laki.
"Heh! Ngapain lo ngelamun aja?" Tiba-tiba Andine membuyarkan lamunanku dengan menggoyangkan tubuhku yang masih memegang lap.
"Duduk dong! Jangan bengong sambil ngelamun gitu!" Angga menggerakkan kursi disampingnya untuk memberiku kode agar aku duduk disana.
"Udah, udah! Kamu nggak perlu sedih cuma karena makananmu nggak di akui Andine. Paling kalo enak dia bakal nyabut ucapannya kok!"
"Ih! Siapa juga gitu yang mau narik ucapan! Aku nggak akan narik ucapan aku sendiri! Nggak akan!" sahut Andine yang langsung mengibaskan tangannya di depan muka Donny yang masih tertawa. Setelah cukup lama berdiri, akhirnya aku pun duduk di samping Angga yang dalam sebuah jalur kini dia benar-benar menjadi pacarku. Tiga tahun berlalu, ternyata aku memang tak mendapatkan seorang cowok yang mirip dengannya. Pernah sih sekali. Di rumah ada seorang anak baru yang sedikit menarik perhatianku. Dia pindah ke perumahanku saat aku hampir mendekati kelulusan. Dari segi pendidikan, dia berada setahun di bawahku. Tapi kalau dari umur, dia berada setahun di atasku. Berbeda dengan Angga, dia orangnya lebih urakan. Apa yang membuatku tertarik adalah karena ada beberapa persamaan dalam diri kami. Yah! Kami sama-sama emosian tapi di luar itu kami juga sering bercanda. Lagipula, kami bisa lebih sering bertemu. Hanya saja... kelas 1 SMP semester dua, keluargaku pindah rumah, sehingga sejak saat itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya lagi. Begitu pula dengan Angga yang saat itu berada di sekolah lain.
"Makananmu enak kok!"
Aku memalingkan mukaku ke arah Angga yang sedang melahap ayam bakarnya. Dan kalau tak salah dengar, aku mendengar kata 'enak' dari mulutnya nih!
"Apa?" tanyaku memastikan
"Nggak enak!"
Tapi yang ini bukan dia yang ngomong, melainkan cewek disampingku ini. "Andineee...."
"Masih enak punya aku!"
Langsung saja kupukul dia dengan lap yang masih ku bawa "Ya iyalah!"
"Ngomong-ngomong...." Donny mulai mengalihkan pembicaraan "Kenapa sih kamu baru mau belajar bikin ayam bakar belakangan ini? Kenapa nggak dari dulu aja? Kamu bilang ini makanan kesukaanmu, tapi.... kok kamu nggak pernah mau makan dan nggak mau bikin sampe dua bulan yang lalu? Padahal kalo dipikir, makanan kamu ini lumayan juga lho!"
Mulutku tercekat. Aku menatapnya dengan wajah sedikit kaget, tapi aku tetap tersenyum "Soalnya buatan Andine enak! Jadi aku tertarik buat bikinnya!" elakku dengan senyum tipis. Sayangnya jawabanku ini tak cukup memuaskan pertanyaan Donny yang memang orangnya cerewet banget.
"Masa' sih cuma itu? Padahal kamu kalo ditanyain makanan kesukaanmu apa, kamu pasti jawab ayam bakar. Mana mungkin karena Andine, dia kan baru ngasih buatannya 2 setengah bulan yang lalu! Kita kan sahabat, jadi boleh dong kita tahu apa rahasia apa yang bikin kamu nggak mau makan dan bikin ayam bakar, padahal kamu suka banget!" telaknya langsung yang dalam sekejap membuatku tak bisa bergeming.
Aku terdiam. Pertanyaan yang diajukan Donny mulai mendorongku untuk kembali membuka pintu menuju kenangan pahit itu. Sesuatu yang tak pernah kuharapkan terjadi saat itu. Aku tenggelam dalam kemurunganku dan aku menundukkan kepalaku, hingga dengan hangat Angga menggenggam tanganku lembut."Kamu nggak perlu maksain cerita 'itu' lagi kalo kamu emang nggak mau cerita!" Aku tahu ucapannya itu ditujukan untuk menghibur kemurunganku yang tiba-tiba. Tapi aku menepis tangannya pelan dan tersenyum. "Nggak kok! Mungkin memang sudah waktunya aku bercerita."
Pastilah dia tahu apa yang telah terjadi padaku. Karena mau tak mau, dialah orang pertama yang tahu masalahku dan dialah orang pertama yang dapat meringankan bebanku. Aku menarik nafasku dalam, dan melempar senyum kepada tiga orang di hadapanku. "Karena ayam bakar ini.... Makanan favorit keluargaku. Masakan mama yang paling disukai keluargaku." Aku mengehela nafasku lagi "Tapi itu berada saat keluargaku masih baik-baik aja.""Maksud lo?" Andine mulai mengerutkan dahinya penuh curiga. Pasti otak pintarnya berjalan mendengar prolog ceritaku "Oh! Jadi lo bohong waktu lo bilang, lo tinggal di Jakarta dan ngekos kemudian beli apartemen sendiri karena lo ingin hidup mandiri? Karena orang tua lo kerja di luar negeri?"
Aku mengangguk kecil "Sori. Aku nggak bermaksud buat ngebohongin kamu Dan Donny! Cuma... selama ini aku cuma berjuang untuk menjadikan itu hanya sebagai kenangan aja! Dan... sampai aku mampu tinggal sendiri, aku akan tinggal sendiri dan belajar hidup mandiri. Walaupun aku tahu aku ini anak broken home dan salah satu korban perceraian kedua orang tuaku. Tapi...." Mataku menerawang jauh ke dalam ayam bakar di depanku. Makanan yang akan selalu menjadi satu-satunya yang paling kusukai. Dan hari ini, aku berhasil mengembalikan kesukaanku pada ayam bakar ini seperti dulu lagi. Kejadian itu terjadi lima tahun yang lalu, sejak aku pindah rumah. Tepatnya beberapa bulan kemudian, kedua orang tuaku mulai sering bertengkar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengharapkan Pelangi (Antologi)
ContoKumpulan cerita ini dibuat saat saya berusia 13 atau 14 tahun.