Hanya Berharap (Part.2)

601 8 0
                                    

Enam belas tahun hidup, aku tak pernah sekalipun menyangka akan berakhir seperti ini. Mama dan papa bercerai. Dan mama jarang pulang untuk menghabiskan waktunya di klub-klub malam. Selama ini pun aku selalu berusaha mandiri. Aku sudah cukup beruntung karena rumahku masih ada sehingga aku masih punya tempat untuk tinggal. Tapi kepergian mama kali ini benar-benar membuatku sedih. Saat mama dan papa bercerai, hanya Farish yang tahu perasaanku. Hanya ia yang tahu dimana pelarianku saat itu? Hanya dia yang bisa menemukanku. Menemukanku di tempat yang tak pernah kukunjungi bersama kedua orang tuaku. Aku adalah anak tunggal, jadi mama dan papa bisa dengan mudah melupakanku. Sejak kecil, mama dan papa selalu melakukan kegiatan mereka masing-masing. Sekalipun mereka tak pernah membawaku ke tempat yang disukai anak-anak manapun. Aku hanya berdiri di ambang pertengkaran kedua orangtuaku. Sekarangpun semua kembali lagi seperti dulu. Mungkin dari awal aku memang tak di anggap sebagai anak mereka. Mungkin aku memang bukan anak yang mereka harapkan. Bahkan aku direbutkan bukan untuk dimiliki, tapi untuk disingkirkan. Aku tahu kalau aku tak pernah bisa dibanggakan. Tapi keadaanku kini, bahkan Farish pun mustahil untuk kembali kesini.

"Ternyata kamu beneran disini?"

Farish kah? Mungkinkah dia ada disini seperti dulu? Aku mendongakkan kepalaku yang sejak tadi berada di kedua lipatan tanganku ke arah suara tersebut.

"Untung ya?" Dia tersenyum. Tapi dia bukan Farish. Seharusnya aku tahu itu mustahil.

"Andi?"

Cowok di depanku itu mengulurkan tangannya dan memapahku untuk berdiri. Bahkan ia membantuku membawa koper dan terus menggenggam tanganku.

"Kok kamu bisa tau aku disini?"

Ia kembali menengokku dan tersenyum. "Yang jadi pikiranku saat kamu tak ada di rumah adalah sebuah taman bermain. Kamu lupa kamu pernah cerita tentang tempat yang paling kamu impikan? Saat itu kamu bilang kalau tempat yang bisa membuatmu tenang adalah taman bermain. Dan dulu kamu bilang, kalau hanya Farish yang dapat menemukanmu kan? Tapi sekarang aku juga bisa nemuin kamu lho!"

Benar juga. Aku pernah bercerita padanya tentang tempat ini. "Andi!"

"Hmm!"

"Makasih ya...." ucapku datar.

Ia berhenti melangkahkan kakinya dan berbalik "Tadi waktu aku ke rumahmu, ada yang bilang kalau apartemenmu udah kosong. Dan dia bilang, kalau rumah itu hanya meninggalkan seorang gadis. Dan yang aku ingat adalah kamu. Jadi... Sampai kamu bisa nemuin apartemen baru, kamu bisa kok tinggal di rumahku dulu? Di sana juga ada adik perempuanku, jadi kalian bisa ngobrol bareng!"

Aku mencoba menolaknya berulang kali, tapi dia terus memaksaku. Dia tahu sekarang aku sudah tak bisa tinggal dimana-mana. Dan tawarannya itu pun akhirnya aku terima. Untuk beberapa saat, aku menangis di dalam pelukannya. Aku hanya ingin meluapkan semua kekesalanku saat itu. Aku terus menangis, hingga waktu pun berjalan dengan sangat cepat. Aku tinggal di rumah Andi yang terbilang cukup besar. Mama dan papanya pun semuanya ramah padaku, terutama adik perempuannya yang masih SMP tapi sangat manis. Bahkan Mama Andi atau tante Fira sudah memperlakukanku seakan anak kandungnya sendiri. Terkadang aku berfikir kalau saja keluargaku seperti ini, kebahagianku pasti lengkap. Mama kandungku sendiri saja tak pernah berlaku seperti tante Fira. Belum adiknya Neva yang selalu ceria dan membuatku tertawa setiap waktu. Aku senang dan sangat nyaman tinggal disana. Hingga hari dimana aku harus memilih itu tiba.

Beberapa hari kemudian, aku baru tahu kalau Farish sudah pulang kembali ke Jakarta saat kami bertemu di sekolah. Saat itu, Farish sedang tidak sibuk, jadi meskipun sedikit kami masih bisa bertemu. Dia mengaku kalau dia menelpon HP-ku berulang kali, tapi tak ada jawaban. Aku lupa kalau hari itu saking marahnya kepada mama, aku melemparkan HP-ku satu-satunya ke dalam sungai. Aku benar-benar marah saat itu dan Farish tak mengetahu apa-apa karena dia sibuk. Tapi bukannya membantu dia justru marah-marah padaku.

"Kenapa kamu nggak ada di rumah hari itu? Dan kenapa kamu nggak jawab telponku?" Hari itu kelas kosong, dan dia menemuiku saat itu.

"Kamu nggak tahu apa yang terjadi kan?"

"Karena kamu nggak mau cerita sama aku!" Ia menghela nafas "Aku bahkan nggak nyangka kalau selama ini kamu lebih mengandalkan cowok sialan itu daripada aku!"

Hari itu aku tak bisa sedikitpun mendengar kata-kata lembutnya seperti biasa. Rasanya ingin menangis karena baru kali ini ia marah padaku. Tapi aku tetap tak mau di cecar terus seperti itu.

"Siapa yang sialan memang? Selama ini justru dia yang paling baik padaku! Dia orang yang membantuku saat aku benar-benar butuh bantuan. Mana mungkin aku minta tolong kamu sedangkan kamu sendiri sedang ada di Bandung. Mana mungkin aku bisa mengandalkanmu sedangkan kamu sendiri jarang kembali. Dan... mana mungkin aku bisa ada disampingmu sedangkan Mbak Reni melarangku karena demi reputasimu! Aku bingung sama hubungan kita! Rasanya hambar!" Aku terus berteriak membalas setiap ucapan yang dilontarkannya padaku.

"Jadi selama ini kamu selalu berfikir aku nggak bisa membantu? Bukannya sejak dulu cuma aku yang jadi penopangmu?"

"Ya. Tapi itu dulu. Sekarang semuanya berbeda! Harusnya kita sadar kalau kita itu nggak mungkin bersama! Tempat kita kini berbeda. Farish yang dulu udah nggak aku temukan lagi. Kamu bukan Farish! Farish adalah orang yang selalu tersenyum dan lembut. Dia nggak pernah sekalipun marah sama aku! Kamu itu seorang aktor! Bukan Farish yang dulu kukagumi sebagai anak bnad. Bukan!" Dengan isakan tertahan, aku meneteskan air mataku. Aku hanya memberinya jelasan dengan apa yang dia katakan. Apa yang dia salahkan padaku. Siapa disini yang sebenarnya bersalah. Dia harus tahu itu. Pertengkaran itu pun tak berlangsung lama, karena tiba-tiba Andi datang dan melerai kami berdua. Tanpa sepatah kata, Andi menggandengku pergi meninggalkan kelas tanpa penyelesaian. Hanya tersisah segores luka di dalam hatiku. Mungkin kisahku dengan Farish memang tak dapat dilanjutkan. Sekarang kami nggak sepantas dan seserasi dulu lagi. Dunia kita berbeda. Orang yang kukenal selama lima tahun lagi kini sudah menjadi sesuatu yang asing dimataku.




Mengharapkan Pelangi (Antologi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang