Aku terisak dalam gelap di sebuah taman sambil menggenggam bungkusan mug yang di berikan Nino. Kebahagianku berulang kali kandas. Dan sekarang aku harus kembali menangis karena satu orang yang sama. Yaitu kamu, Rieko. Sebenarnya ini bukan salahmu. Hidup kita akan menjadi biasa saat kau diam dan tetap menjadi seorang kakak. Tapi kau justru menghancurkan semuanya. Kau tak senang adikmu bahagia. Lalu apa yang kau inginkan? Sekarang tak ada yang dapat mengerti aku seperti dulu. Tak ada Nino yang dapat meyakinkanku bahwa semuanya tak apa-apa. Tapi entah sampai kapan air mataku akan terus menetes seperti ini.
Aku merasakan kehangatan di punggungku. Ah! Ninokah? Dia kah kembali datang? Aku membalikkan tubuhku, melihat siapakah seseorang yang menyelipkan perasaan hangat di dalam tubuhku. Tapi itu bukan Nino. Seharusnya aku tahu itu, tapi yang ada di depanku itu adalah kamu, Rieko! Kamu!! Kamu yang menghancurkan kebahagiaanku! Kamu yang menghancurkan hidupku.
"Ngapain kamu kesini?" ketusku dengan nada benci dan kesal
Air mukamu terlihat pucat. Wajahmu terlihat khawatir. Dan lagi, tatapanmu terlihat nanar. Apa yang kamu pikirkan? Senangkah kamu dengan ini semua? Kau menggenggam kedua tanganku kuat.
"Nia! Dengerin penjelasan aku dulu! Aku... aku sama sekali nggak pernah berniat buat nyakitin kamu!"
Aku tersenyum sinis mendengar ucapanmu "Begitukah? Tidak sengajakah kamu berbuat semua ini? Setelah aku ingin mendapatkan kebahagiaan yang baru, kau justru menghancurkannya! Itukah niatmu?? Kamu terlalu kejam untuk kukenal, Rieko! Kamu bukan orang yang dulu aku sayangi dan aku kagumi! Kamu bukan Rieko!!"
"Nia!!" Kau semakin erat menggenggam tanganku "Kamu juga nggak tahu perasaanku kan, Ni? Apa yang kamu tahu saat aku melihat kalian bersama? Apa kamu tahu apa yang aku rasakan saat melihat Nino sahabat kita merebut semua posisi yang seharusnya milikku?"
Aku menatapnya tajam. Aku tak mengerti jalan pikirannya.
"Apa yang salah? Bukannya memang seharusnya begitu? Kamu nggak punya hak melarangnya untuk melakukan hal-hal yang dulu kau lakukan!!"
"Ada, Nia! Aku masih sayang sama kamu! Sampai kapanpun perasaan sayangku sama kamu nggak akan pernah berubah menjadi perasaan sayang seorang kakak pada adiknya!! Sejak pertama kali aku melihatmu tersesat di Bali, aku langsung merasa ingin melindungimu! Bukan sebagai kakak, tetapi sebagai pendampingmu!!!"
Tidak. Aku tak boleh menangis. Aku tak boleh lemah dengan kata-katanya. Aku sudah tak sanggup menatapnya lagi. Aku... oh tidak! Air mataku benar-benar turun. Tapi harus kujelaskan semuanya padamu. "Rieko. Apapun yang kau inginkan! Itu semua tak akan bisa kau lakukan! Status kita berbeda! Apapun..."
"Kamu salah! Status bukan segalanya! Aku menyayangimu dan ingin melindungimu! Aku mohon mengertilah! Kita bisa jelaskan ini semua pada orang tua kita! Aku nggak ingin waktuku untuk menyayangimu hilang direbut kesedihan!! Aku... aku cemburu saat harus melihatmu berdua dengan Nino. Walau sudah kutepiskan berulang kali, tetap saja aku tidak bisa tahan melihatmu dengan lelaki lain. Nina! Tolong!!!"
Tidak. Matamu benar-benar jujur. Bahkan kamu pun hampir ikut menangis. Aku tak menyangka kalau kamu begini menyayangiku. Tapi apa daya? Aku sudah terlanjur terluka. Perasaanku terlalu kompleks untuk kujelaskan. Cerita hidupku terlalu rumit untuk di jabarkan. Aku menunduk, dan dengan suara lirih aku hanya berkata.
"Biarkan aku berfikir dulu."
***
Aku ingat semuanya. Saat pertama kali aku melihat wajah polosmu di atas karang ini. Saat mengingat pertemuan pertama kita. Kau tuntun aku saat aku tersesat. Kau tunggu aku di depan hotel setiap hari hanya untuk sekedar melihat matahari terbit. Pribadimu sangat tulus. Aku tak menemui sifatmu itu, bahkan dalam diri Nino sekalipun. Setelah dua hari aku merenung disini, di atas karang ini, di Bali ini, di depan pantai ini, aku sadar kalau ternyata aku memang tak pernah bisa merubah perasaanku. Nino hanya pelampiasan kesedihanku. Tapi yang benar-benar aku sayangi hanya seorang. Yaitu Rieko. Aku, Nia. Adalah gadis yang tak mudah jatuh cinta. Tapi sekalinya aku menyukai seseorang. Tentu hanya orang itu yang akan aku sukai hingga kapanpun. Dan pilihanku jatuh pada Rieko.
Aku tersenyum merasakan semilir angin sore ini. Ya. Aku sudah bertekad, kalau besok aku akan pulang, dan menjelaskan ini semua pada mama. Mereka pasti mengerti akan hal ini. Rieko benar. Status bukan segalanya. Yang paling penting adalah perasaan kita. Dan aku tahu, aku tak bisa membohongi diriku sendiri.
***
Perasaanku benar-benar sangat senang. Kalau boleh aku berteriak. Aku akan berteriak bahwa akulah lelaki yang paling bahagia di dunia ini. Aku sangat senang sekaligus terharu saat kemarin Nia menelponku. Ia berkata akan menjelaskan hubungan kami pada mama dan papa. Ia akan pulang hari ini, dan karena tak sabar, aku langsung menjemputnya di air port.
Aku kembali memandangi jam di tanganku. Sudah hampir satu jam berlalu. Seharusnya pesawat Nia sampai sekarang. Tapi kenapa belum datang ya? Aku kembali duduk di atas kursi panjang yang di sediakan di bandara ini. Kakiku terus bergerak. Aku tak dapat tenang menunggu Nia segera datang. Cepatlah datang, Nia! Aku benar-benar ingin segera memelukmu.
"Laporan utama siang ini. Kami akan melaporkan sebuah kejadian yang baru saja terjadi stengah jam yang lalu di kawasan sekitar Semarang...."
Nia... kamu lama sekali sih? Aku tengokkan kepalaku ke kanan dan ke kiri. Tapi kepalaku berhenti pada sebuah tayangan TV yang terpampang di depan mataku. Seorang reporter TV dengan baground penuh orang di belakangnya. Sepertinya di hutan.
"Sebuah pesawat tujuan Bali – Bandung, mengalami kecelakaan karena kesalahan pada bagian teknisi yang kurang siap. Kecelakaan ini menyebabkan 12 orang tewas, 30 orang luka berat, dan sisanya luka riangan. Demikian daftar penumpang yang dinyatakan tewas!!"
Sebuah daftar berwarna hitam terlihat di TV tersebut. Perasaanku kini sudah tak karuan. Takut, cemas, khawatir, bercampur jadi satu. Aku harap yang tidak aku inginkan tidak terjadi. Mataku berjalan menyusuri daftar nama korban di layar TV dan.... Ya Tuhan!!! Tubuhku terasa hancur seketika. Tak ada yang dapat aku lakukan saat ini. Tubuhku kaku tiba-tiba. Mataku tak dapat berkedip. Jantungku berdetak 30 kali lebih cepat dari biasanya. Air mataku menetes deras. Nama itu... Nama itu... aku tak percaya saat nama itu terpampang dalam daftar korban. Niaranda Nurvita
Itulah nama Nia. Dia meninggal saat kami ingin bahagia!! Lalu kenapa harus sekarang? Sekarang tak ada lagi yang dapat kulakukan. Hanya isak tangis tak tertahan yang kini mengarungi seluruh tubuhku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengharapkan Pelangi (Antologi)
Historia CortaKumpulan cerita ini dibuat saat saya berusia 13 atau 14 tahun.