10. Tentang Seorang Wanita dan Sebuah Rumah

8 2 0
                                    


Sejauh kaki melangkah menembus beberapa jalanan terjal yang kejam dalam kehidupan, membuatku sedikit lelah dan ingin untuk sekedar duduk rehat dan menyeka keringat di dahiku, sembari bersabar menanti takdir-takdir baik yang akan mengejutkanku nantinya, akan kupersiapkan. Terkadang aku berpikir semesta itu terlalu jahat terhadap orang-orang lemah yang penuh dengan keraguan, seperti diriku.

Berbagai cerita serta takdir hampir pernah ku cicipi. Bagaimana rasa bahagia membuatku banyak tersenyum dan tertawa. Bagaimana rasa kecewa pernah membuat hatiku benar-benar ingin berhenti berharap pada siapapun termasuk Sang Penciptaku. Bagaimana rasa menyesal pernah membuatku setingkat lebih dewasa dalam mempertimbangkan suatu hal. Semua itu pernah aku rasakan. Ya, aku tahu, pasti semua orang juga pernah merasakan hal yang sama namun dalam balutan cerita yang berbeda.

Ketika bahagia aku butuh telinga yang siap mendengarkan semua ocehanku tanpa henti. Ada yang bilang, ketika seseorang sedang bahagia, maka ia takkan bisa menahan diri untuk bercerita banyak hal, bahkan pada hal-hal yang tidak penting sekalipun. Ketika sedang kecewa aku hanya membutuhkan bahu untukku meletakkan semua rasa lelahku untuk bertahan dan terlihat baik-baik saja didepan banyak orang. Ketika aku sedang menyesal aku hanya butuh seseorang yang bisa memberikan banyak kalimat penguat agar aku mampu berdiri kembali diatas kakiku sendiri. Itu semua ku sebut rumah.

Rumah yang kumaksud bukanlah sebuah gedung yang berisi banyak perabot serta furnitur-furnitur mewah didalamnya. Ya, itu rumah jika diartikan dalam bahasa. Namun sedikit berbeda dengan penafsiran kata menurutku. Bagiku, rumah adalah tempat dimana aku bisa mengadukan betapa kejamnya dunia terhadapku, bagaimana kehidupan mempermainkan perasaanku yang sempat tertata rapi lalu berantakan dibuatnya, dan banyak kisah serta rasa yang banyak singgah didalam kehidupanku. Aku menemukan 'rumah' sembari berjalan disetiap terjalnya kehidupan. Ya, aku tahu, aku takkan menemukan 'rumah' jika aku hanya berdiam diri sembari menanti takdir yang akan Allah tuliskan untukku. Aku berjalan perlahan sembari mencari 'rumah' yang nyaman untukku tinggali.

Dinginnya udara luar membuatku harus segera menemukan 'rumah' yang kumaksud. Aku sadar aku tak mampu membuat 'rumah' yang kumaksud, namun aku mampu menemukan tempat yang nyaman untukku beristirahat dari kejamnya dunia. Dunia memang tak selamanya kejam, sesekali ia menunjukkan sikap lembutnya. Ya, hanya sesekali, sisanya aku harus berjuang untuk melawan kejamnya dunia. Aku tak tahu mengapa dunia begitu kejam, sangat berbanding terbalik dengan apa yang ku khayalkan dahulu. Saat usiaku masih sekita lima tahun, aku membayangkan betapa nikmatnya menjadi seorang dewasa. Aku bisa menentukan pilihanku sendiri, aku bisa berkelana menjelajah dunia semauku, aku tak harus menuruti semua perkataan mama yang mengharuskanku tidur siang. Namun kini, semua bayangan indah itu seolah lenyap tergerus oleh nyata. Ingin rasanya aku kembali ke diriku saat berusia lima tahun dulu, lalu menghapuskan ekspektasi indah yang sempat ku khayalkan dan ku banggakan. Hingga akhirnya kini aku masih saja terlena dengan khayalan indah masa kecilku, sehingga aku lupa untuk mempersiapkan semuanya.

Ketika aku telah menemukan 'rumah' yang kumaksud, aku tetap saja memikirkan bagaimana cara untuk 'pulang' ke rumah tersebut. Terkadang aku telah menemukan rumah, namun masih bingung dengan jalan pulang. Setiap rumah memiliki jalan pulang yang berbeda, tak ada yang sama. Aku harus bisa membedakan kearah mana aku harus berjalan ketika aku sedang bahagia, kearah mana aku harus berjalan ketika aku sedang sedih, kearah mana aku harus berjalan ketika aku sedang menyesal. Semua rumah punya porsi yang berbeda dalam kehidupanku. Bukan maksudku untuk membedakan, namun semua harus diletakkan dalam porsi yang berbeda, agar tak tersesat nantinya.

Aku pernah menemukan 'rumah' yang salah dalam kisah perjalananku, dan bukannya menjadi tempatku beristirahat, namun menjadi tempatku untuk menghancurkan diriku sendiri. aku salah menempatkan rasaku pada rumah yang salah, hingga akhirnya aku malah terus-terusan menyalahkan diriku atas apa yang telah Allah gariskan untukku.

Rumah kini bukan lagi ujung dari jalan pulangku, namun lebih dari itu. Tempatku meletakkan semua rasa, semua cerita, semua tangis, semua tawa, dan semua yang ada didalam hatiku. 

"TENTANG"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang