18. TENTANG SEORANG WANITA DAN SEBUAH PENANTIAN

1 0 0
                                    


Aku tahu, banyak orang yang sedang menumpuk dusta. Mereka berkata bahwa sedang baik-baik saja. Mereka menyembunyikan semua tangis di sela-sela senyuman tipis mereka didepan banyak orang. Mereka mencoba tampil tegar diantara pertikaian hati yang semakin membesar. Semua yang mereka alami, semua yang mereka rasakan adalah sesuatu yang aku rasakan juga.

Aku kerap tampil seolah tak ada pertikaian hati dengan diriku sendiri. Terdengar aneh dan bodoh memang, bisa-bisanya diriku bertengkar dengan hatiku sendiri. Bahkan aku sering tak memerdulikan kabar hatiku saat ini. Sudah terlalu sering aku menyayatkan luka panjang untuknya. Sudah terlalu banyak rasa sakit yang ku berikan untuknya. Semua itu hanya karena menantikan seseorang yang tak tahu apakah hatinya untukku atau tidak.

Aku terlalu gemar memberikan banyak luka untuk sebuah penantian ini. Aku menantikan seseorang yang benar-benar tak ku ketahui isi hatinya. Aku yang membuat luka itu, lalu aku memilih untuk memendamnya sendirian tanpa kepastian, lalu aku berpikir bahwa semesta tak memihak ku untuk masalah perasaan. Aku tahu aku bodoh, tapi aku melakukannya bahkan hingga berkali-kali. Rasa sakit yang cukup membuatku candu, sehingga aku terlalu terbuai untuk menikmatinya. Seolah aku sedang menikmati luka yang sedang meruntuhkan ku secara perlahan.

Aku pernah menantikan seseorang cukup lama. Aku tak tahu persisnya seberapa lama aku menunggunya, yang ku tahu adalah, sudah banyak rasa sabar yang ku kuras untuk menantikan hatinya menyambut hatiku. Tapi sekali lagi, khayalan liar ku saja yang terlalu jauh berangan tentang kehadiran hatinya untukku. Aku membiarkan bayangannya berlalu lalang didalam pikiran ku. Aku juga membiarkan kabarnya datang untuk melukai hatiku. Aku lemah masalah perasaan. Bahkan, aku tak sanggup untuk sekedar mengutarakan apa yang ku pendam selama ini. Aku hanya membiarkan diriku hanyut didalam sebuah penantian tanpa kepastian.

Aku tak tahu mengapa wanita selalu saja melekat dengan kata menanti. Apakah takdir seorang wanita adalah menghabiskan waktu untuk menanti sebuah kata pasti? Apakah wanita diciptakan untuk berkawan dengan sesuatu yang terkadang belum memiliki kejelasan? Apakah separuh waktu wanita akan habis untuk sesuatu yang masih abu-abu?

Aku sempat menganggap wanita yang memilih untuk menunggu adalah seorang wanita pengecut, seorang pecundang. Bahkan terhadap perasaannya sendiri saja ia tak berani untuk berbicara. Namun kini, seperti senjata makan tuan. Sampai akhirnya aku mengalaminya sendiri.

Kala itu aku benar-benar merasa kacau, hanya karena menanti sebuah kabar darinya saja. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan disela-sela penantian yang ku lakukan. Hanya terdiam menanti sebuah kepastian. Aku lelah untuk menunggu, aku lelah untuk menciptakan khayal didalam angan, aku lelah untuk beradu dengan waktu.

Aku sering menjelaskan kepada hatiku, bahwa yang ku lakukan saat ini adalah hal yang sia-sia. Namun tetap saja hatiku seolah ingin bertahan dengan rasa luka yang dirasakan selama menanti. Aku sering berkata, bahwa ia takkan memberikan balasan apapun jika aku hanya duduk diam sambil mengamatinya dari kejauhan. Dia takkan pernah tahu. Namun sekali lagi, hatiku terlalu menikmati rasa luka yang berawal dari sebuah kata menanti.

Aku pernah benar-benar mengharapkapkan dirinya. Namun tak ada sedikitpun keberanian untukku menyatakan. Hingga akhirnya aku lebih memilih untuk menanti. Aku banyak berharap bahwa suatu hari nanti ia akan membalas apa yang ku rasa hari ini. Meskipun terdengar mustahil, bagaimana bisa dia tahu kalau aku menyukainya? Jika hanya duduk sambil menatapnya saja. Akulah wanita bodoh itu. Akulah wanita pecundang itu. Aku tak berani, walau hanya sekedar menatapnya untuk waktu yang sedikit lebih lama. Aku terlalu membungkam dalam diam, sambil berharap ia akan datang.

Sering kali aku memaki diriku. Sering kali aku mencaci diriku. Untuk hal seremeh ini pun aku tak sanggup untuk berbicara padanya. Bukankah telah diajarkan untuk selalu bersikap jujur, termasuk jujur pada perasaan sendiri. Namun kali ini aku melakukan sebuah dosa, bahwa aku telah menumpuk dusta untuk pura-pura tak mencintainya.

Aku sering bertanya pada diriku sendiri, apakah susah untuk berkata bahwa aku menginginkannya? Apakah susah untuk sekedar berkata bahwa aku mencintainya? Ya, semua hanya gabungan kata yang membentuk sebuah kalimat, namun butuh keberanian untuk mengungkapkan.

Dia tak salah, aku lah yang salah dari alur cerita ku ini. aku tak memberi kesempatan untuk hati ku berbicara tentang apa yang dirasa. Akulah yang menciptakan alur ini, aku lah yang merancang semua khayalan ini. Dia hanyalah sebuah objek dari ketidakpastian yang selalu ku semogakan. Banyak sekali kata semoga yang terlontar disetiap doaku. Banyak sekali kata andaikan disela-sela penantian yang ku lakukan. Entah kapan ini akan berakhir. Aku menjadi seorang pengecut, yang selalu bersembunyi dibalik dusta. Aku lelah untuk mengatur arah pandang ku yang selalu terkunci untuk menatapnya dari jauh.

Apakah sisa hari ku akan habis untuk menunggu balasan rasa darinya? Apakah otak ku akan selalu dipenuhi oleh bayangannya? Apakah hatiku akan dipenuhi dengan ekspektasi liar ku tentangnya? Apakah dia akan tetap menjadi khayalan tanpa menjadi sebuah kenyataan? Banyak sekali pertanyaan yang mampir dan memenuhi otak ku. Aku sendiri tak mampu menjawab semua pertanyaan itu. Aku lebih memilih membiarkan waktu yang akan menjawabnya. Tak yakin juga, apakah waktu akan menjawab semua pertanyaan ku ataukah membiarkannya seperti angin lalu. 

"TENTANG"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang