Malam ini ibu terheran-heran melihat meja makan sudah penuh dengan banyak makanan.
"Han, uang darimana ini?" Pertanyaan ini membuat Han yang sedang mengeluarkan puding dari kulkas terkejut.
"Ini untuk merayakan hari yang spesial ini. Aku menabung kok bu, kadang aku juga sering membantu di toko Bi Tari." Ucap Han sambil tersenyum.
"Terimakasih Han, tapi kan uang itu bisa digunakan untuk hal yang lebih penting. Lagipula makanan ini terlalu banyak,kita cuma berdua." Ibu mengelus rambut Han.
"Aku punya sebuah kejutan untuk ibu." Han mengedipkan sebelah matanya, membuat ibu menggelengkan kepala.
Ariyan sudah berdiri diluar pagar dengan perasaan tak karuan, jantungnya berdegup kencang. Ia segera membuka ponselnya ketika layar ponselnya tersebut menyala tanda ada notifikasi masuk. Rupanya sebuah pesan dari Han yang menyatakan semua sudah siap. Awalnya agak ragu, namun perlahan Ariyan melangkahkan kakinya menuju rumah mungil itu.
Han menutup kedua mata ibu menggunakan selembar kain. Tentu saja ibu hanya menurut, sambil menebak-nebak hadiah yang akan diberikan putrinya itu. Han menuntun ibu ke depan, lantas memutar gagang pintu. Begitu pintu terbuka terlihat jelas sosok Ariyan berdiri tegap disana membawa seikat bunga dan sekotak roti.
Han melepas kain yang menutupi mata ibu, perlahan ibu mengerjap-ngerjapkan mata. Dan memandang ke depan seolah tak percaya.
"Selamat ulang tahun ibu," suara Ariyan terdengar bergetar, ia menyerahkan seikat bunga dan sekotak roti itu pada ibu.
Ibu tak menerimanya namun buru-buru mendekap Ariyan, putranya yang sudah setahun tak pernah ia lihat.
"Ariyan, benarkah ini engkau?" Tanya ibu seolah bermimpi.
Han meneteskan air matanya. Setelah sekian lama, akhirnya ia mampu membujuk Ariyan agar mau bertemu ibu.
"Awalnya aku takut, aku gugup untuk bertemu ibu, aku sungguh merindukan ibu." Ariyan kini menangis.
Ibu melepaskan pelukannya, lantas menarik Ariyan agar masuk ke dalam. Mereka berkumpul di ruang makan. Han sudah menyiapkan makanan kesukaan Ariyan. Ibu menatap kedua anak kembarnya itu bergantian dengan penuh kasih sayang. Baginya, merekalah hartanya yang paling berharga.
"Ibu tahu? Ariyan sekarang jadi anak pintar." Han mengawali pembicaraan.
"Hei, dari dulu aku memang pintar" Ariyan mendahului berkomentar.
"Kalian itu, dari dulu kalau makan bersama pasti mulutnya sambil taekwondo" gurau ibu tertawa kecil.
"Dia yang memulai!" Ucap dua bersaudara itu bersamaan. Membuat semua orang yang berada di ruangan itu tertawa.
"Ariyan sudah izin ayahmu?" Tanya ibu.
Ariyan tertegun sejenak.
"Aku tak perlu izin ketika pergi kemanapun, ibu tenang saja." Jelas Ariyan sambil tersenyum menatap wajah ibunya.
"Ariyan tak boleh begitu, ibu dulu selalu mengajarkan agar kalian selalu pamit kalau ingin pergi kemanapun. Apa Ariyan lupa?" Kata ibu lembut.
"Bukan begitu ibu, memang disana seperti itu. Bahkan anak perempuannya juga perlu izin untuk pergi kemanapun. Lagipula, dia tak akan mencariku." Kata Ariyan sambil melahap sepotong roti.
"Malam ini tinggal lah disini. Kamarmu itu sudah berdebu, bau lagi" celetuk Han.
"Aku memang akan tinggal, tapi aku tidur di kamarmu. Kau tinggal di kamarku." Ledek Ariyan.
"Mana bisa begitu. Ka_" Han belum selesai bicara, ibu buru-buru menyuapkan puding ke mulut Han.
"Benar begitu ibu. Sumpal saja mulutnya. Dia terla_" ibu juga melakukan hal yang sama pada Ariyan.
Sekarang kedua anaknya itu mengerucutkan bibirnya sambil masih mengunyah puding dalam mulutnya.
"Kalian itu cerewet sekali ya." Ibu setengah tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Malam itu mereka banyak bercerita, kemudian istirahat ketika waktu tidur tiba. Bahkan ketika Han dan Ariyan sudah dewasa, ibu tetap mendisiplinkan waktu tidur anak-anaknya.
☆☆☆
Pagi ini Daria bangun lebih awal meskipun hari libur. Ia berniat pergi ke rumah Han untuk mengembalikan buku catatan yang ia pinjam kemarin. Setelah memastikan dirinya rapi, ia kemudian mengayuh sepedanya menuju rumah Han.Di ujung jalan, ia menghentikan laju sepedanya ketika matanya menangkap sosok Ariyan keluar dari rumah Han, di depan pagar terlihat Han bersama ibunya berdiri disana melepas kepergian Ariyan.
Cukup lama Daria berhenti disitu, beruntung Ariyan tak menyadari keberadaannya. Begitu Han dan Ibunya masuk ke rumah, barulah Daria melanjutkan mengayuh sepedanya ke rumah Han. Ternyata Han masih berada di teras, tangan kanannya memegang sebuah gayung, gadis itu sedang menyiram tanaman di pot.
"Permisi,"
BYURRRR....
Tanpa sengaja Han mengguyur tubuh Daria karena tak menyadari kehadiran pemuda itu.
"Permisi," Daria tetap tenang meski tubuh bagian atasnya telah basah kuyub.
"Iya?" Han melongok, agak terkejut melihat Daria berdiri disitu. Tapi tunggu.... ia baru menyadari sesuatu.
"Ah tidak! Jangan katakan aku mengguyurmu!" Han agak heboh.
"Kalau begitu aku harus berbohong." Ucap Daria tetap tenang.
Han menggigit jarinya
"Han, jangan lama-lama diluar. Setelah itu bereskan kamar Ariyan." Suara ibu terdengar dari dalam.
Daria agak tercengang, Han mengembalikan kesadarannya.
"Kau masuk dulu. Biar aku ambilkan handuk untuk mengeringkan kepalamu."
"Tak perlu, aku hanya ingin mengembalikan ini. Maaf agak basah." Daria menyodorkan buku Han.
"Maaf," Han menunduk merasa bersalah.
"Santai saja." Daria terkekeh geli.
Han menatap Daria, baru kali ini sosok dingin itu tertawa. Tak berlama-lama, Daria pamit pulang.
Sepanjang perjalanan, perkataan ibu Han masih terdengar ditelinganya. Daria semakin bertanya-tanya, sudah sejauh apakah hubungan Han dengan Ariyan. Kalau hanya sebatas teman, tak mungkin Ariyan sampai menginap di rumah Han. Ia tak boleh menyerah, apapun yang terjadi Han tetaplah miliknya.
Bersambung......
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA
RomanceHati saling mengerti dengan melepas pergi Pada dasarnya aku hanya seorang pendiam, dan kau malah memperburuknya, membuatku tak mampu berkata-kata. Aku tak mudah membuka hati untuk seseorang, tapi diam-diam kau membobol pintunya. Diluar sana, banyak...