Ini adalah satu minggu yang menyibukkan seluruh murid SMA Rudolf Pierre. Kelas-kelas sudah disulap menjadi stan, kafe, bahkan ada juga rumah hantu. Lapangan sekolah sudah dipersiapkan untuk dance floor. Masing-masing kelas sedang berlatih untuk pertunjukkan.
Kelas XI MIPA 1 yang notabene kelas Daria, Shin, dan David akan mempersembahkan sebuah dance modern. Daria menatap jengah teman-teman sekelasnya yang hari itu berlatih di aula, termasuk Shin dan David. Mungkin bagi orang lain, khususnya kalangan cewek, gerakan yang mengikuti dentuman musik seperti itu adalah sebuah tontonan yang memukau, tapi hal itu tak berlaku buat Daria.
"Hoi Daria, daripada duduk ngalamun disitu. Mending bantuin kita menata meja deh." Seorang gadis berkuncir ekor kuda memanggil Daria.
Daria dengan malas beranjak. Lantas membantu teman-teman sekelasnya yang tidak ikut nge-dance mempersiapkan stan mereka. Rencananya kelasnya akan membuat kedai cheese milk. Entah siapa yang pertama kali punya usulan, Daria tak begitu memperhatikan. Lagipula ia tak begitu memikirkanya. Baginya, semua itu sama sekali tak bermanfaat buatnya.
Beralih di kelas XI MIPA 2, Han dan kawan-kawannya sibuk berlatih untuk pertunjukkan yang melibatkan semua anggota kelas. Kini mereka sedang berada di gedung olahraga sekolah. Penataan stan sudah mereka siapkan kemarin sore.
"Udah 30 menit kita latihan, sekarang kita istirahat dulu aja." Andre seakan-akan jadi manajer di kelas ini. Mereka pun beristirahat, beruntung kelas mereka ini punya kekompakkan dan solidaritas tinggi.
"Kayaknya kelas kita bakal tampil memukau deh." Fahri menyeletuk.
"Iya lah kan ada aku, si ratu drama." Ujar Tania membanggakan diri di ikuti sorakkan dari teman-temannya.
"Halah, ratu drama apaan. Siapa yang kemarin ngambek gara-gara nggak mau ku peluk. Itu namanya nggak profesional." Fahri meledek.
Beberapa hari yang lalu sempat terjadi cekcok dikelas mereka. Karena dalam drama ini terdaftar adegan pelukan. Tania buru-buru menolak untuk berpelukan dengan Fahri. Akhirnya alur cerita di ganti.
"Lagipula ini kan bukan cuma drama Tan, ada dance, dan band juga." Hendi menambahkan.
"Iya-iya deh, aku kan cuma bercanda." Tania memutar bola mata bosan.
"Kasihan tuh si Han, masak jadi mahluk yang di kutuk. Besok wujudnya paling jelek lagi." Anggi ganti meledek Han. Seisi kelas tertawa. Sedangkan Han tersenyum masam.
"Dasar kalian pada, kalau bukan karena adanya manusia mungil ini, kalian bakal kesulitan cari tokoh utama." Han membela diri.
"Udah-udah deh, mending sekarang kita latihan lagi." Kata Andre, benar-benar cocok jadi seorang manajer. Semua kembali ke posisi.
1 jam berlalu...
"Sekarang kita tinggal bahas buat stan kita nih. Trus belanjanya sehari sebelum pelaksanaan gimana?" Han membuka pembicaraan. Ia dan teman-teman sekelasnya sudah berada di kelas.
"Maskot kita cincau, dah fix ya." Amel si sekretaris kelas membuka catatan hasil musyawarah kelas kemarin.
"Nah itu sih masalah cewek-cewek." Kata Andre yang kemudian mendapat cubitan dari Anggi.
"Enak aja, cowok-cowok juga bantuin lah." Han mengedarkan pandangannya, menatap satu persatu siswa di kelasnya.
"Jadi gini, kita bikin cincau yang kuahnya bukan cuma santan dengan gula merah. Tapi bisa coklat, susu, keju, caramel dan lain-lain. Kita juga bakal buat es krim cincau." Jelas Han. Pembahasan berlanjut hingga beberapa menit kemudian. Seisi kelas aktif memberi saran.
☆☆☆
Ariyan duduk di bangku taman seorang diri. Memandang kendaraan berlalu lalang di jalanan kota yang ramai. Begitu banyak pikiran yang ada di otaknya."Kak Ariyan?" Terdengar suara seorang gadis memanggil namanya. Tanpa menoleh, ia sudah tahu siapa pemilik suara itu.
"Maaf kalau aku mengganggu. Tapi bisakah kau tak membenciku?" Gadis itu duduk di sebelahnya. Ariyan mengacuhkan gadis itu, tak peduli.
"Aku mohon, sikapmu yang seperti ini membuatku merasa tak enak hati." Gadis itu kembali bersuara.
"Kau pergilah!" Ariyan berkata dingin tanpa menoleh sedikitpun. Membuat air mata gadis itu menggenang.
"Tolong kak, aku hanya ingin kau bersikap layaknya seorang kakak. Setidaknya tidak selalu mendiamkanku setiap hari." Gadis itu terisak.
"Kau ingin aku bersikap layaknya seorang kakak? Memang kau siapa?" Ariyan menatap gadis itu tajam.
"Kau dan ibumu sudah membuat keluargaku sengsara. Adikku sakit-sakitan, ibuku kini sendirian membanting tulang. Sedangkan kalian? Tanpa rasa bersalah merebut ayah kami. Kalian bisa dapatkan semua yang kalian mau. Keluarga egois." Setiap kata yang di ucapkan Ariyan penuh penekanan.
"Coba otakmu itu digunakan untuk berpikir! Bagaimana perasaan adik dan ibuku ketika melihatmu sok dekat denganku! Apalagi ketika melihat kau dan ibumu jalan bersama ayah kami!" Ariyan sama sekali tak meninggikan nada suaranya. Tapi tetap saja, semua kata-katanya itu membuat gadis disampingnya semakin terisak.
"Aku juga butuh sosok seorang ayah." Lirih gadis itu. Ariyan mendelik tajam, emosinya tersulut.
"Bodoh! Apa kau pikir adikku tak membutuhkan sosok ayah hah?! Bahkan tanpa ayah keadaanmu sudah jauh lebih baik daripada kami!" Ariyan beranjak dari duduknya namun gadis itu memegang pergelangan tangan Ariyan, menahan kepergiannya. Ariyan menghembuskan nafas kasar sembari melepaskan tangan gadis itu dengan sekali sentakan.
"Asal kau tahu, gadis manja seperti dirimu itu sungguh menjijikkan." Ariyan mengucapkan kalimat terakhir sebelum kembali melangkahkan kakinya meninggalkan gadis itu yang sesenggukan.
Sepanjang perjalanan, Ariyan sesekali mendecih, pikirannya tak karuan. Hari ini ia tak akan pulang ke rumah keluarga itu. Tujuannya adalah bengkel meskipun masa PKLnya telah berakhir. Lebih baik ia meneruskan modifikasi motornya.
Di bengkel ia bertemu Daria tengah membongkar mesin. Ariyan mengembangkan senyumnya, seolah kejadian tadi tak pernah terjadi.
"Oi Daria, aku pikir kau sibuk mempersiapkan milad sekolahmu." Ariyan menyapa Daria.
"Kau tahu?" Tanya Daria.
"Hei apa-apaan kau ini, kau pikir aku tak punya teman dari sekolahmu? Lagipula kan selebarannya banyak bercecer di jalanan." Kata Ariyan kemudian menghampiri pemilik bengkel untuk berjabat tangan.
Daria tak menjawab, tangannya yang berlumur oli sibuk dengan pekerjaannya. Keterampilannya meningkat, Ariyan telah banyak membantu.
Waktu hampir menunjukkan pukul 5 sore. Semua pegawai bersiap-siap untuk pulang, Ariyan pulang bersama Daria.
"Mau kemana?" Tanya Daria ketika mendapati Ariyan tak berbelok di pertigaan.
"Pulang lah." Ariyan menatap Daria heran.
"Bukannya rumah Pak Fadil belok di pertigaan tadi?" Daria mulai banyak bicara.
"Ah. Ya, tapi... ya begitulah." Ariyan menunjukkan cengiran lebarnya.
Daria menduga Ariyan akan ke rumah Han. Ia tak bertanya lagi, Ariyan mengalihkan topik pembicaraan. Ternyata jalan utama untuk sementara di tutup karena ada pohon yang tumbang. Mereka kemudian melewati jalan pintas.
Tiba-tiba ditengah perjalanan, kedua pemuda itu melihat sosok Han tengah di hadang oleh 7 pria bertampang bandit.
"Han!" Keduanya terpekik bersamaan. Sama-sama menjatuhkan sepedanya menghampiri Han.
"Heh, kalian itu siapa? Mengganggu saja." Salah satu bandit itu menatap Daria dan Ariyan dengan tatapan meremehkan.
"Kalian juga siapa menghalangi jalan saja!" Perkataan tajam yang dilontarkan Ariyan membuat hidung bandit itu kembang kempis menahan marah.
"Hajar!!!" Komando salah satu bandit. Dalam sekejap gang itu menjadi arena perkelahian.
Bersambung.......
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA
RomanceHati saling mengerti dengan melepas pergi Pada dasarnya aku hanya seorang pendiam, dan kau malah memperburuknya, membuatku tak mampu berkata-kata. Aku tak mudah membuka hati untuk seseorang, tapi diam-diam kau membobol pintunya. Diluar sana, banyak...