Sepucuk Surat

40 22 0
                                    

Di kamar, Daria teringat akan lipatan kertas tadi. Buru-buru ia ambil surat itu dari saku celananya kemudian membacanya.

Teruntuk Daria,

Untuk yang kesekian kali,
aku menuliskan surat yang aku yakin kau tak pernah sudi membacanya.
Tentu saja, suratku tertimbun oleh puluhan surat beramplop merah jambu dan berbau harum.
Aku bahkan lupa ini surat yang keberapa.
Yang pada akhirnya akan membusuk di tempat sampah.
Aku tahu, kau tahu apa yang ingin ku katakan padamu.
Hanya saja aku tak mampu.

Salam,
seseorang yang memperhatikanmu diam-diam.


Untuk pertama kalinya, ia membuka surat dari seseorang. Surat yang begitu sederhana. Tulisannya pun kurang rapi untuk ukuran perempuan. Mungkin ini yang terakhir kali ia terima. Mungkin saja gadis itu belum dengar isu atas dirinya.

☆☆☆


Han pulang agak terlambat dikarenakan seorang temannya tadi meminta untuk diajari pelajaran fisika. Rintik air turun dari langit, perlahan namun pasti berubah menjadi hujan yang turun dengan deras. Ia terlupa untuk membawa payung dan memutuskan untuk berteduh dibawah pohon. Masih dapat ia rasakan rintik hujan itu menimpa tubuhnya. Diluar hujan masih deras, namun tiba-tiba ia tak lagi merasa kehujanan. Begitu mendongak ke atas ia mendapati sebuah payung biru melindungi dirinya dari hujan.

"Dasar bodoh!" Celetuk sebuah suara.

"Ariyan!" pekik Han tersenyum lebar mendapati sosok berjersey itu memayunginya.

"Bagaimana bisa lupa hah?!" Ariyan berkata sewot.

"Hei, aku kan manusia, lupa itu hal biasa." Han membela diri.

"Ayo kuantar pulang." Ariyan merangkul Han.

Ditengah perjalanan.

"Bagaimana kabar ibu?" Ariyan membuka pembicaraan.

"Sehat." jawab Han singkat

"Syukurlah." Ariyan menatap Han lekat, ia merindukan masa dimana ia bisa menghabiskan banyak waktu dengan gadis itu.

Tak terasa, tinggal melewati 3 rumah lagi dan Han akan sampai. Itu artinya mereka harus berpisah.

"Nih bawa payungnya," Ariyan mengalihkan payung itu ke tangan Han.

"Kau pakai saja, jalan ke rumahmu masih jauh." Han melirihkan suaranya ketika sampai pada kata 'rumahmu' sembari menatap Ariyan nanar.

"Sudahlah, aku tak apa. Aku pemain bola, fisikku kuat. Kau yang harus lindungi otakmu itu." Ariyan setengah bercanda, perasaannya agak bergemuruh.

Han berbalik berjalan perlahan, Ariyan mengawasinya sampai gadis itu benar-benar masuk pagar.

"Nak Ariyan!" sebuah suara memanggil. Ariyan menoleh mendapati seorang kakek berdiri di teras rumahnya sembari melambaikan tangannya. Mengisyaratkan agar Ariyan mendekat.

"Mampirlah dahulu." lanjut kakek itu. Ariyan segera menghampiri lantas mencium tangan kakek itu.

"Apa kabar kek?" Tanyanya.

"Sangat sehat Ariyan, bagaimana kabarmu dan Ayahmu?" Tanya kakek itu kembali.

"Sehat kek." Jawabnya.

"Beberapa hari yang lalu, selama 3 hari berturut-turut ada seorang pemuda membuntuti Han pulang. Hanya sampai depan situ lalu kembali. Aku pikir itu kau, ternyata bukan." Kakek membuka pembicaraan setelah mempersilahkan Ariyan duduk.

"Pemuda?" Ariyan bertanya memastikan.

"Iya, sepertinya seusia denganmu. Kalau dilihat dari seragamnya dia satu sekolah dengan Han."

"Apa menurut kakek, pemuda itu berbahaya buat Han?"

"Menurut sudut pandangku dia tak membahayakan, masa SMA wajar kan kalau seorang pemuda membuntuti gadis yang ia suka"

Ariyan paham arah pembicaraan kakek. Setidaknya dirinya tak begitu khawatir atas keselamatan Han. Hanya saja sosok pemuda itu membuatnya bertanya-tanya.

☆☆☆


Daria keluar dari rumah yang disewakan kakaknya sambil menuntun sepeda. Begitu sampai ditepi jalan, ia bertemu sosok Ariyan yang juga mengendarai sepeda.

"Hei, kita bertemu lagi" Sapa Ariyan ramah seperti biasa.

Daria hanya menarik salah satu sudut bibirnya. Ariyan sudah tahu bahwa Daria memang orang yang pendiam, cuek, dan dingin.

"Kita bareng saja, sekolah kita satu arah." Lanjutnya.

Daria berdehem mengiyakan. Yang Daria ketahui, Ariyan adalah siswa STM dilihat dari seragam sekolahnya.

Sampai disekolah, David sudah duduk di bangkunya. Dari 3 serangkai itu, David adalah yang biasa berangkat lebih awal. Ia ke sekolah diantar orang tuanya yang sekaligus berangkat bekerja di rumah sakit. Kedua orang tua David adalah dokter.

Daria hanya menyapa dengan mengangkat kedua alisnya, David membalas dengan senyum lebar. Daria langsung duduk di bangkunya. Lantas memasukkan tasnya ke dalam laci, namun gerakan tangannya terhenti ketika matanya kembali menangkap sepucuk surat yang serupa dengan surat yang ia terima kemarin.

"David, ketika kau berangkat sudah ada siapa saja?" Daria berbalik, memutar posisi duduknya.

"Sudah ada papan tulis dkk" katanya.

"Begitu kau masuk apa kau sudah meninggalkan kelas hari ini?"

"Belum, hei kau ini kenapa? Aku merasa seperti seorang terdakwa" David seolah heran dengan tingkah laku sahabatnya itu.

Daria lalu mengeluarkan sepucuk surat yang tadi tergeletak manis di lacinya.

"Apa itu? Surat cinta? Hei itu pasti dari cinta sejatimu" kata David agak heboh.

"Kau lihat siapa yang menaruhnya?" Daria bertopang dagu.

"Belum ada yang masuk kelas ini selain kita, Raka, Yoga, dan Rahma. Dan aku sama sekali tak melihat salah satu dari mereka menaruh sesuatu di lacimu." Jelas David.

Daria menatap David tak yakin.

"Aku tak bohong atas segala perkataanku." Kata David sembari mengacungkan dua jarinya.

"Tapi ada yang berangkat lebih pagi dariku." David memasang tampang mengingat sesuatu.

Daria mengangkat sebelah alisnya bertanya.

"Han." Ucap David yang langsung membuat Daria kaku.





Bersambung.....

TACENDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang