Anggi gusar dalam duduknya, 5 menit lagi bel tanda pelajaran dimulai akan berbunyi. Namun matanya belum juga menemukan sosok Han.
'Apa mungkin Han akan membolos satu hari penuh?' Batinnya bertanya-tanya.
"Han belum berangkat?" Tanya Andre pada Anggi.
Anggi menggeleng lemas.
"Padahal, biasanya Han yang berangkat paling awal di kelas ini. Haduh, kan mau latihan buat milad juga." Kata Andre sambil sesekali melongokkan kepalanya ke jendela. Berharap sosok Han segera muncul.
KRIIIIINGG!!!!
Bel tanda pelajaran dimulai berbunyi. Anggi memegang keningnya, berpikir. Han bukan anak yang gemar membolos, kalaupun minggu lalu ia berniat untuk bolos. Han hanya akan bolos saat pelajaran kimia, tidak seperti ini.
Dua jam pelajaran berlalu, Han melewatkan pelajaran sejarah.
"Selamat pagi anak-anak, kalian sudah tahu alasannya kenapa saya yang mengajar hari ini bukan?" Pak Fadil sudah masuk di kelasnya.
"Hari ini siapa yang tidak berangkat?" Pak Fadil melanjutkan.
"Han, pak." Andre menyeru. Seisi kelas sontak menolehkan kepala ke arah pemuda berambut kriwil itu.
"Kenapa dia?" Tanya Pak Fadil.
"Hari ini tidak ada keterangan pak, padahal biasanya dia selalu izin kalau tidak berangkat." Andre kembali menjawab.
"Kau mungkin tahu, Anggi?" Pak Fadil mengalihkan pandangannya kepada Anggi, membuat Anggi kebingungan.
"Tidak." Jawab Anggi membuang muka.
"Ya sudah, kita lanjutkan pelajaran." Pak Fadil mengabaikan perihal Han.
"Anak itu." Gumamnya sangat lirih sembari menghembuskan nafas kasar.
☆☆☆
Han, mengerjap-erjapkan kedua kelopak matanya. Ia hanya melihat warna putih begitu matanya terbuka sempurna."Han." Terdengar suara seorang laki-laki memanggilnya.
"Ah, apa yang terjadi?" Han menolehkan kepalanya.
"Kau pingsan di pinggir jalan saat berangkat sekolah tadi, lalu aku membawamu ke sini." Jelas pemuda itu.
"Kau tak sekolah?" Han menyadari sesuatu.
"Apa yang kau katakan? Aku baru saja pulang." Pemuda itu terkekeh, kemudian mengacak pelan rambut Han.
"Astaga, aku selalu merepotkan orang lain." Han mendengus, menatap pemuda itu tak enak hati.
"Mulutmu itu jelek sekali, orang lain apanya eh? Aku sahabatmu bodoh. Sudah 3 tahun loh." Pemuda itu menuangkan air minum kemudian menyodorkannya pada Han.
"Kau belum menghubungi ibuku kan?" Han bertanya.
"Kau belum mengizinkanku." Perkataan pemuda itu membuat Han menarik kedua sudut bibirnya.
"Jangan membuatnya khawatir." Han berpesan, memastikan agar pemuda itu tidak memberitahu ibunya bahwa ia sekarang berada si rumah sakit.
"Tapi aku tak bisa kalau tak memberitahu Ariyan." Pemuda itu menambahkan, disusul suara pintu pasien terbuka, disana nampak Ariyan berusaha mengatur nafasnya.
"Apa yang terjadi? Kau sering begadang ya? Waktu makanmu bagaimana? Jangan bilang kau lupa waktu karena latihan gitar itu!" Ariyan meluncurkan pertanyaan bertubi-tubi.
"Jangan membuatnya tambah pusing dong." Pemuda itu memberi kode agar Ariyan duduk.
"Tidak kok." Han membantah.
"Lalu bagaimana bisa seperti ini?!" Ariyan menatap Han tajam.
"Sudahlah Ariyan, kau tenang dulu." Pemuda itu membela Han.
Han tertidur setelah minum obat, tubuhnya butuh banyak istirahat. Kini, Ariyan dan pemuda itu sedang duduk di taman rumah sakit. Ariyan sudah menghubungi ibu, mengatakan Han pergi bersamanya. Minta izin membuat Han pulang agak terlambat.
"Terimakasih ya, aku malah tak bisa menjaga adikku." Ariyan menerawang jauh.
"Bukan apa-apa, dia sahabatku." Kata Pemuda itu.
"Lagipula, bukankah memang sudah menjadi tugas manusia untuk menjaga orang-orang yang ia cintai?" Lanjut pemuda itu sambil memejamkan mata.
Ariyan mengalihkan pandangannya menatap pemuda itu.
"Adikku sungguh beruntung, dicintai orang sepertimu." Katanya seraya menepuk bahu pemuda itu yang kemudian menyunggingkan tersenyum.
☆☆☆
Han kembali ke sekolah, teman-temannya langsung melakukan wawancara."Kemarin kau kemana saja Han?" Anggi menghampiri Han di pintu kelas. Tak sabar menunggunya untuk sampai ke bangkunya.
"Kemarin aku pingsan di pinggir jalan, syukurlah ada yang membawaku ke rumah sakit. Aku baru siuman jam 3 sore." Jelas Han, teman-teman yang mengerubunginya menahan nafas sejenak.
"Lalu? Kau sudah baikan?" Tanya Fani.
"Sudah kok." Jawab Han.
"Jaga kesehatanmu Han, jangan sampai kau jatuh sakit ketika milad sekolah." Andre berpesan.
☆☆☆
Daria duduk di perpustakaan ketika jam istirahat. Absen untuk mengunjungi atap sekolah. Ia sudah hafal tempat favorit Han, untuk yang ketiga kalinya Daria duduk di tempat yang sama. Kemarin ia sama sekali tak melihat gadis itu. Ia mencoba mencari ke perpustakaan, kantin, parkiran, taman, lapangan, ruang musik, laboratorium, bahkan halaman belakang, namun nihil. Han sama sekali tak kelihatan batang hidungnya. Hari ini Daria diam-diam mengamatinya, takut kalau-kalau Han menghilang seperti kemarin."Oi Daria." Shin menepuk bahunya.
Daria hanya menaikkan sebelah alisnya, ia sama sekali tidak terkejut.
"Ah kau ini sama sekali nggak asyik, pantas saja masih jomblo sampai sekarang." Shin duduk disebelah Daria.
"David?" Tanya Daria menyadari bahwa David tak datang bersama Shin.
"Aku rasa dia baru punya gebetan, tadi aku melihatnya di taman sekolah bersama seorang siswi. Sayang sekali aku tak bisa melihat siapa gadis itu. Tapi kalau dilihat dari penampilannya sih, kayaknya dia anak kelas bahasa." Jelas Shin tanpa mendapat respon dari Daria.
"Eh, nanti pulang sekolah kau ikut ke aula. Kelas kita akan latihan dance untuk milad." Lanjut Shin.
"Aku kerja." Daria menolak, ia tak mau terlibat.
"Hei ayolah, itu kan hanya pekerjaan sampingan. Kau tak benar-benar membutuhkanya. Ikut ya?" Shin berbisik.
"Tidak." Daria bersikeras menolak. Shin menepuk jidatnya.
Han beranjak dari duduknya, lantas keluar dari perpustakaan. Melihat hal itu Daria melakukan hal yang sama, meninggalkan Shin yang kemudian mengejarnya.
Daria kembali ke kelas, lalu membuka buku pelajarannya. Namun tiba-tiba ada sesuatu yang terjatuh. Rupanya sepucuk surat terselip di bukunya. Ini surat ke tiga
Untuk Daria,
Aku tak tahu harus menuliskan apa.
Rasaku terlalu berjuta untuk dituangkan dalam sebuah aksara.
Kau mungkin mendecih membacanya.
Tapi sungguh,
Aku tak mengada-ada
Aku ingin mengatakan yang sebenarnya,
Tentang jati diriku dan rasaku padamu secara terbuka.
Tapi aku tahu, itu tak mungkin kulakukan.Salam
Daria menghela nafas panjang. Surat itu baru saja ditemukannya siang ini. Terselip di lembaran buku pelajarannya. Pagi tadi ia tak mendapati apapun di laci mejanya. Itu artinya surat itu diberikan ketika jam istirahat. Tapi bagaimana orang itu melakukannya? Siapa sebenarnya orang itu? Apa mungkin kalau si pengirim adalah teman sekelasnya? Berbagai pertanyaan muncul si benak Daria.
Bersambung......
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA
RomanceHati saling mengerti dengan melepas pergi Pada dasarnya aku hanya seorang pendiam, dan kau malah memperburuknya, membuatku tak mampu berkata-kata. Aku tak mudah membuka hati untuk seseorang, tapi diam-diam kau membobol pintunya. Diluar sana, banyak...