Tahun ke-3 di SMA sudah hampir berakhir, dan ia kalut. Masalahnya masih sama, Han. Gadis itu telah benar-benar mempermainkan hatinya. Sikapnya berubah. Semenjak naik kelas XII, Han selalu menghindari dirinya. Setiap kali Daria menawarkan diri untuk mengantar pulang, Han selalu menolak dengan berbagai alasan, entah itu sudah dijemput Ariyan, pulang bersama Anggi, belajar kelompok dengan teman sekelas, dan sebagainya.
Daria menghembuskan nafas kasar, ditangannya ada buku tulis kelas XI, beberapa tulisan dan coretan Han ada disana. Belakangan ini ia sering mengamati jejak pena gadis itu. Sungguh, ia rindu melalui waktu bersama gadis pujaannya. Han hanya meninggalkan luka untuknya. Tapi ini salahnya juga. Harusnya dari awal ia memahami kalau Han hanya menganggapnya sebatas teman, Han tak pernah memiliki perasaan untuknya, Daria tahu, Han tak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa gadis itu menyukainya. Tapi ia terlalu berharap, menganggap segala yang diperjuangkan bisa didapat.
"Hei, Daria." Celetuk Shin membuat Daria menoleh pelan. Tak ada sahutan.
"Kau kenapa?" Shin kembali bertanya dan hanya dibalas gelengan lemah dari sahabatnya itu.
"Ini masalah Han?" Tanya Shin tepat sasaran. Daria bergeming.
"Kali ini aku serius, Daria." Lanjutnya, Daria menoleh. Shin sudah duduk disebelahnya.
"Melupakan" Daria kemudian bicara. Suaranya agak tercekat. Shin menatap mata sahabatnya dalam, satu kata yang diucapkan Daria menjelaskan semuanya.
"Kalau kau ingin melupakannya, kau tak akan bisa, Daria. Bahkan bagaimana caramu mencintainya tak akan bisa kau lupakan_"
"_Kau hanya perlu lepaskan dia dari hatimu. Itu saja." Shin hanya memberi penjelasan singkat.
Daria menghela nafas. Justru itu masalahnya, ia butuh cara untuk merelakan gadis itu. Tanpa bicara pada Shin, Daria meninggalkan sahabatnya. Ia ingin pulang.
"Kau boleh berfikir kalau Han memang tak membalas perasaanmu, tapi bagaimana jika dia sengaja menyembunyikannya?" Lanjut Shin menerawang, tapi Daria sudah melangkah jauh. Tak mendengar.
Hari sudah sore, sekolah nampak sepi. Daria melangkah menuju kelasnya untuk mengambil tas. Begitu memasuki kelas, ia mendapati seorang siswi di bangkunya tersentak ketika mengetahui keberadaanya.
"Apa yang kau lakukan?" Daria berkata dengan dingin. Gadis itu terlihat gugup.
"Ma...maaf... A.. aku..." gadis itu menunduk meremas jari jemarinya tanpa melanjutkan kata-katanya.
Daria melangkah menuju ke bangkunya tanpa menghiraukan gadis itu. Kemudian mengambil tasnya di laci. Begitu tasnya tertarik keluar, sepucuk surat terjatuh dari lacinya. Sejenak Daria tertegun.
"Jadi kau orangnya?" Tanya Daria, nadanya masih terdengar dingin.
"Ma...maaf." gadis itu berbalik, hendak keluar dari kelas Daria.
"Siapa kau?" Tanya Daria menghentikan langkah gadis itu.
"A... Ayu kelas bahasa." Ayu menjawab kemudian buru-buru keluar. Meninggalkan Daria di kelas yang masih terdiam.
Sepeninggal gadis itu, Daria pulang ke rumahnya. Ia sudah meninggalkan rumah sewaan. Sampai dirumah, Rio sudah duduk di kursi ruang tamu.
"Bagaimana tawaranku?" Tanya Rio.
Daria menghembuskan nafas perlahan, kemudian hening sejenak.
"Aku...... menerimanya." Ucap Daria langsung menuju kamar. Rio tersenyum lebar.
☆☆☆
Han duduk di sebuah bangku taman rumah sakit. Memandang langit sore yang kian menjingga. Seorang pemuda menghampiri, lantas duduk disampingnya. Ia menatap Han sejenak.
"Kenapa kau menatapku begitu?" Tanya Han tanpa menoleh. Pemuda itu kemudian tersenyum dan mengalihkan pandangannya ke objek yang dilihat gadis disebelahnya.
"Aku hanya khawatir." Ucap pemuda itu.
"Aku baik-baik saja." Han kini menoleh, mendapati wajah pemuda yang sudah hampir 4 tahun menjadi sahabatnya.
"Tapi hatimu kurasa tidak." Mendengarnya, Han meneguk ludah. Tersenyum miris.
"Maaf, Han. Aku tak bisa membantu. Aku tak mampu mengubah takdir." Han melihat perubahan di sorot mata pemuda itu, sendu.
"Kau menjadi sahabatku, itu sudah cukup buatku."
"Andai Tuhan memberikan keajaiban."
"Kau, ayah, dan ibumu sudah berusaha banyak. Mereka telah memberikan yang terbaik untukku. Hari ini dan seterusnya, aku hanya ingin menjadi orang baik. Sudah saatnya mempersiapkan diri." Han tersenyum.
Pemuda itu merubah posisi duduknya menghadap Han. Telapak tangannya menyentuh pucuk kepala gadis di depannya sambil memejamkan mata.
"Kau tahu, Han? Kata-katamu hampir membuatku menangis." Ujarnya kemudian membuka mata. Han dapat melihat sepasang mata itu berkaca-kaca.
Han tak dapat berkata-kata. Ia selalu menyusahkan orang-orang disekitarnya. Penyebab kesedihan mereka. Pemuda itu mengacak rambutnya pelan sebagai luapan emosi yang berkecamuk.
Ariyan datang menghampiri mereka. Ia baru saja pulang sekolah.
"Han, bagaimana keadaanmu?" Tanya Ariyan.
"Baik kok." Han tersenyum lebar, tapi Ariyan tak menyukai senyum itu.
Ariyan masih menatap Han. Cukup lama sampai yang ditatap salah tingkah.
"Hentikan, Ariyan. Kau membuatku salah tingkah." Perkataan Han membuat Ariyan membuang muka.
"Dia hanya rindu, Han." Pemuda yang merupakan sahabat dua bersaudara itu terkekeh. Ariyan mengangguk mengiyakan.
"Kau masuk saja sana, istirahat!" Perintah Ariyan, Han melotot.
"Oh kalian mau berduaan? Tanpa aku? Jangan menghianati Anggi, Ariyan." Ucap Han membuat Ariyan ganti melotot, sedangkan pemuda didepannya terkekeh.
"Apa kau cemburu, Han?" Si pemuda memiringkan kepalanya. Menatap Han dalam. Han mendengus, lantas beranjak meninggalkan bangku taman itu.
Ketika Han sudah berjalan agak jauh dari mereka. Ariyan langsung mendudukkan dirinya di samping pemuda itu.
"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Ariyan.
"Kau tahu jawabanku, Ariyan." Pemuda itu tersenyum kecut.
"Aku tak siap apabila harus kehilangan dia." Ariyan menerawang.
"Adikmu itu memang pandai sekali mengacaukan hati seseorang." Pemuda itu tertawa, terdengar hambar.
Ariyan menoleh. Ia dan pemuda disebelahnya merasakan hal yang sama.
"Aku selalu berharap diagnosa ibumu salah. Aku tak ingin hal itu terjadi, tapi dengan kondisinya yang begitu. Aku_" Ariyan tak mampu meneruskan kalimatnya, suaranya hilang begitu saja.
Cukup lama, tak ada yang membuka pembicaraan.
"Aku ingin dia dapatkan kebahagiaan di hari terakhirnya." Ariyan kembali bicara, suaranya tercekat.
"Bukan hanya kau yang menginginkanya." Pemuda itu menimpali.
"Andai saja, tapi dia menolak. Adikmu bersikeras ingin menyembunyikan segalanya dari Daria." Lanjut si pemuda.
"Kenapa kau tak coba. Menggantikan Daria,_"
"_David?"
Bersambung.......
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA
RomanceHati saling mengerti dengan melepas pergi Pada dasarnya aku hanya seorang pendiam, dan kau malah memperburuknya, membuatku tak mampu berkata-kata. Aku tak mudah membuka hati untuk seseorang, tapi diam-diam kau membobol pintunya. Diluar sana, banyak...