Seperti biasa Dinda akan pergi ke kantornya pukul delapan pagi. Namun pagi itu, ia berniat berangkat lebih awal. Apalagi Raras, karyawan setianya itu pun tidak bisa menolak sewaktu Dinda meneleponnya usai salat Subuh. "Kamu nemenin aku, ya. Kita berangkat ke kantor jam enam," pinta Dinda via telepon.
"Serius kamu, Din? Jam enam? Pak Zidan aja belum datang jam segitu, kunci kantor kan beliau yang bawa," balas Raras. Zidan merupakan satpam kantor yang selalu memegang kunci.
"Kamu ikut aku atau gaji kepotong?"
Terdengar Raras mendesah. Bila Dinda sudah berkata "A", maka dunia harus berkata demikian pula untuknya.
"Ngapain sih berangkat jam enam?"
"Pokoknya kamu siap-siap sekarang, ya. Langsung pakai baju kantor. Nanti aku yang jemput. Dah, assalamu'alaikum," Dinda pun mematikan teleponnya.
Saat di perjalanan, Raras terus saja mengomeli Dinda. Baginya ia harus tahu alasan mengapa Dinda mengajaknya berangkat secepat itu. Namun Dinda tidak kunjung memberitahu.
"Din," panggil Raras sekian kali. Ia sudah menyerah meminta Dinda untuk menjelaskan.
"Nanti aku jelasin kalau udah sampai," jawab Dinda sambil terus fokus menyetir. Jalanan masih sangat sepi.
Raras bicara lagi, "Din, aku cuma mau bilang."
"Apa?" Dinda pun menoleh. Sepertinya Raras sedang serius.
"Aku belum mandi."
"Ya ampun, Raras!"
Raras hanya tersenyum melihat respon Dinda.
"Terus gimana? Kan kita nggak balik lagi," ucap Dinda.
"Nanti aku balik lagi. Gak apa-apa pakai ojol aja."
"Ya udah, nanti aku bayarin."
"Aw, makasih!" Raras mencubit pipi Dinda segera.
Dinda mengusap-ngusap pipinya dan mengomel lagi. "Bisa nggak sih nggak usah cubit pipi bosmu?! Kacau deh krim pagiku kena polutan."
"Ha ha ha. Jahat, ah!"
Setibanya di tujuan, tentu saja pagar kantor masih terkunci. Dinda memarkirkan mobilnya di tepi jalan berseberangan dengan kantornya. Mereka berdua pun tetap duduk di dalam mobil.
"Karena kita udah sampai, jelasin dong, Din," pinta Raras tidak sabaran.
Dinda pun menjawab, "Aku mau cari tahu siapa yang selalu ngirimin bunga ke kantor. Pagi-pagi begini mungkin dia ada."
Raras menepuk dahinya. "Din, kamu tuh masih ngigau apa, ya?! Kamu aja nggak yakin dia ada atau nggak, malah bela-belain pergi ke kantor pagi buta."
"Udah, Neng, protesnya?"
"Belum selesai!" Raras menegakkan duduknya. Tangannya terus bergerak-gerak seiring omelannya yang meledak-ledak. "Kan bisa aja dia ngantarinnya siang-siang terus nitip bunganya sama Pak Zidan."
Dinda mendesah. "Raras. Gini, ya. Pak Zidan malah justru lapor ke aku. Setiap pagi beliau datang ke kantor, setelah bukain pagar pasti selalu nemuin buket bunga di pos satpam tanpa tahu siapa yang ngirim."
Mendengar itu Raras pun memilih tidak berdebat lagi. "Ya udah. Kamu tungguin aja tuh pria misterius. Aku mau lanjut tidur lagi, ya."
Setelah sekian menit Raras pun akhirnya tertidur. Tinggallah Dinda yang masih sabar menunggu. Jam di mobilnya menunjukkan angka 06:23. Dinda lalu menyalakan radio mobil agar telinganya tidak terganggu dengan dengkuran Raras.
Perlahan Dinda merasa kantuk. Sesekali matanya terpejam. Namun sebuah mobil Honda Civic berwarna putih tiba di depan kantornya. Mata Dinda seketika melotot.
Seorang pria keluar dari mobil itu. Dia mengenakan jaket putih bertudung menutupi kepala. Tepat seperti yang Dinda kira, terlihat buket mawar putih terpegang di tangan pria itu.
Dinda terus mengamati dari mobilnya. Dikarenakan jarak pandang yang cukup jauh, ia benar-benar tidak tahu siapa pria itu. Apalagi hanya belakang badannya saja yang tampak.
Bagaimana bisa dia masuk ke pos satpam sedangkan pagar masih terkunci? tanya Dinda dalam hatinya. Ia begitu penasaran. Ingin ia segera turun namun ia mau mengamati lebih dulu.
Tampak pria itu berdiri menatap pagar setinggi tiga meter di depannya. Sekilas ia mengecek situasi sekitarnya dengan menoleh ke kanan dan ke kiri dengan cepat. Kemudian dengan tangkas ia memanjat pagar itu hingga masuk ke halaman kantor. Sosoknya sudah tidak terlihat lagi oleh Dinda.
Dinda terbelalak, tentu saja. Pria itu kini terlihat seperti maling baginya. Dinda benar-benar tidak sabar. Ia memilih mematikan mobilnya setelah membuka sedikit jendela untuk Raras. Ia pun turun dari mobilnya dan menyeberang menuju kantornya. Tiba di sana, Dinda buru-buru bersembunyi di balik mobil milik pria itu.
Terdengar bunyi pagar yang dipanjat oleh pria itu. Dinda mencoba mengintip. Benar saja, kini pria itu telah kembali dari misinya. Dinda bisa dengan jelas melihatnya dari belakang dan masih belum tahu siapa sebenarnya orang itu. Dan Dinda bergerak cepat sebelum pria itu membalikkan badan menghadap dirinya, ia harus lebih dulu melabraknya. Langkah tegas Dinda tak terhentikan.
Tepat di saat pria itu membalikkan badan, pandangan keduanya pun bertemu dengan sama-sama terbelalak.
💍
KAMU SEDANG MEMBACA
One of Them [TAMAT]
EspiritualNamanya Dinda, jomblo berusia 27 tahun. Status jomblonya itu tentu membuat geregetan keluarganya. Akhirnya Papi, Mami, dan Daris menetapkan masing-masing satu nama pria yang cocok menjadi calon pilihan Dinda. Siapakah yang akan terpilih dari tiga na...