"Om, saya ke sini mau ketemu Dinda, boleh?"
Dialah Alfian. Ia memenuhi ucapannya pada Dinda bahwa ia akan berkunjung di malam hari. Terlihat ia masih berdiri di depan pintu usai menyalami tangan Papi dan tentu saja meminta izin.
"Iya, boleh. Ayo masuk dulu. Kamu sendirian saja?"
"Iya, Om."
"Kamu duduk dulu, ya. Om panggilkan Dinda dulu."
Papi menuju ke kamar Dinda. Ternyata Dinda dan Daris sama-sama sedang menggunakan masker wajah.
"Kalian lagi ngapain?" tanya Papi.
"Ligi miskirin, Pi. Kili ngiming miskirnyi bisi ritik," sahut Daris perlahan. (Lagi maskeran, Pi. Kalau ngomong maskernya bisa retak)
Papi menggeleng-geleng. Ia menghampiri Dinda yang masih berbaring sambil memejamkan mata. Menyadari Papi duduk di sampingnya, Dinda pun membuka matanya. "Hi, Pipi. Pipi mi ikitin miskirin?" (Hai, Papi. Papi mau ikutan maskeran)
Papi menggeleng. Lagipula ia merasa wajahnya sudah glowing. "Kamu turun sekarang, ya. Ganti baju dan pakai hijab. Ada Alfian di bawah."
Dinda seketika terduduk. "Beneran, Papi?!" Alhasil teriakannya itu membuat maskernya retak.
"Papi nggak bohong. Ayo, buruan. Nanti Papi temanin."
Setelah Dinda siap, ia turun ke lantai bawah bersama Papi. Dinda melihat Alfian. Sama seperti sebelumnya, Alfian mengenakan jaket putih.
Ketiganya duduk di sofa. Di atas meja sudah tersedia kue kering dan air mineral.
"Silahkan dimakan kuenya," ucap Papi. Alfian mengangguk sopan.
Bukannya Alfian tidak mau, namun ia merasa kehadiran Papi di situ membuatnya sulit memulai obrolan bersama Dinda. Sedangkan Dinda hanya diam saja.
"Kok jadi diam gini?" tanya Papi.
"Nggak, Om. Cuma lagi malu aja," jawab Alfian kaku.
"Kamu ke sini mau bicara apa sama Dinda?" tanya Papi.
"Itu... anu..."
"Anu?"
Dinda menahan senyumnya. Entah kenapa ia merasa puas bila melihat Alfian terlihat kalah.
"Alfian mau kenalan sama Dinda, Om."
"Jadi?"
"Iya, kenalan, Om."
Papi menoleh ke Dinda. "Kamu mau kenalan sama Alfian, kan?"
Dinda hanya mengangguk. Tentu ia ingat janjinya pada Papi untuk segera memilih.
"Oke, good," kata Papi lagi.
Ketiganya hening. Alfian tampak mengusap lututnya.
"Papi ke toilet dulu," pamit Papi lalu beranjak pergi.
Dinda rasanya ingin sekali mengikuti Papi. Namun bagaimana caranya beralasan?
"This is the first time. Aku awalnya grogi mau ke sini, Din."
Dinda hanya tersenyum tipis.
"Kamu percaya kan kalau setelah menikah bisa muncul perasaan cinta? Do you believe that?"
Dinda mengangguk.
"Marry, me, Dinda."
Dinda berdiri. Tangannya mengepal di atas lutut. "Are you serious?!"
Pikirnya, cara melamar seperti itu seakan penjual yang menawarkan dagangan cilok kepada pembeli yang lewat. Ciloknya, Neng?
"Kenapa, Din?" tanya Papi datang menghampiri mereka lalu ikut duduk.
"Pi, maaf," ucap Dinda, "boleh nggak Dinda sama Alfian ngomong sebentar?"
Papi tersenyum mengiyakan. Ia beranjak lagi. "Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, panggil Papi."
"Siap, Pi."
Setelah Papi pergi, keduanya sama-sama duduk. Dinda bicara pada Alfian, "Kalau kamu serius, kenapa kamu nggak ngomong ke Papi?"
"Sama saja, kan. Semua jawaban ada di kamu," balasnya. "I know it's surprising you, but aku sudah berpikir berulang kali untuk ini. Menurutmu bagaimana?"
Dinda menghela napasnya. "Kamu terlalu buru-buru. Nikah nggak segampang itu."
"Aku mau kembali ke Inggris. Itu sebabnya aku mau menikah. Kalau nanti kita menikah, aku akan bawa kamu pindah ke sana."
Aku belum jawab lamaran dia, udah duluan diniatin buat pindah ke Inggris bareng dia, dasar, batin Dinda.
"I really need your answer."
"Iya, nanti aku jawab," Dinda mengambil air di depannya lalu meminumnya. Ini pertama kalinya ada laki-laki yang mengajaknya menikah, tetapi baginya sungguh seperti memaksa. Dinda menolehkan kepalanya, memanggil Papi dari jauh. "Papi, udah selesai!"
Papi dengan setengah berlari, kembali lagi duduk bersama mereka berdua.
Namun Alfian justru berpamitan. "Om, Alfian pamit pulang, ya."
"Oh, sudah mau pulang? Hati-hati, ya."
Setelah Alfian pulang, Papi tahu Dinda seakan sedang berpikir tentang sesuatu.
"Kamu mikirin apa? Dia ngomong apa sama kamu?"
"He ask me to marry him."
"Secepat itu?"
Dinda mengangguk. Pandangannya terus tertuju pada gelas yang ada di meja.
Papi kemudian bicara, "Din, tahu nggak kenapa tadi Papi cuek sama dia? Papi ngerasa harus tarik kembali saran Papi."
"Maksudnya, Pi?"
"Papi ngerasa dia nggak cocok buat kamu. Iya awalnya Papi mengira laki-laki tajir seperti dia bisa menjadi suami yang baik. Setelah Papi pikirkan lagi, Papi salah. Harusnya Papi bisa memilih seseorang yang bisa membimbing kamu dengan ketaatan dia, bukan cuma soal harta."
Dinda setuju dengan Papi. Bila sudah begitu, maka jawabannya pun selaras dengan jawaban Papi.
"I say no."
💍
KAMU SEDANG MEMBACA
One of Them [TAMAT]
SpiritualNamanya Dinda, jomblo berusia 27 tahun. Status jomblonya itu tentu membuat geregetan keluarganya. Akhirnya Papi, Mami, dan Daris menetapkan masing-masing satu nama pria yang cocok menjadi calon pilihan Dinda. Siapakah yang akan terpilih dari tiga na...