"DINDA?!"
"ALFIAN?!"
"Kok kamu ada di sini?" tanya Alfian panik. Tentu saja dirinya malu karena telah tertangkap basah.
"Jadi selama ini kamu..." ucap Dinda tidak menjawab pertanyaan Alfian.
Alfian mendesah. Ia tidak bisa kabur dari Dinda. Ketahuan sudah. "Right, aku yang kirimin kamu bunga. Every day," ucapnya serius.
Dinda diam. Rasanya ia ingin marah karena perbuatan Alfian sesungguhnya berlebihan dan sama sekali tidak membuatnya senang. Namun Dinda teringat janjinya dengan Papi bahwa ia harus bisa memilih satu dari ketiga pria yang sudah disarankan keluarganya. Dan marahnya bukanlah solusi atas hal barusan. Dinda menarik napas. Semula ekspresinya yang begitu kacau kini berubah menjadi ramah. Ia tersenyum pada Alfian. "Karena kamu udah ketahuan begini, don't give me any roses again, okay?"
Alfian menampakkan ekspresi keheranan. Ia tahu perempuan di depannya sejak awal bertemu dengannya saat di restoran kala itu judesnya minta ampun. Lalu sekarang begitu ramah?
"I-iya, Dinda."
"So, kamu setiap hari berhasil memanjat pagar kantorku, ya," ucap Dinda lagi dengan sarkastis.
Alfian tersenyum malu sambil mengusap tengkuknya. "He he he. Iya, itu mendesak. You know, emergency."
"Emergency?"
"Yap."
Kalau pagarku sampai rusak, lecet, kamu yang harus ganti! Bila Dinda harus menampakkan sifat aslinya, tentu saja ia akan berteriak demikian.
"Don't do that again," ungkap Dinda.
Alfian mengangguk. Di saat yang sama, Zidan datang. Pria berusia setengah abad dengan ciri khasnya memiliki kumis tebal itu lalu menyapa bosnya. "Assalamu'alaikum, Mbak Bos."
"Wa'alaikumussalam, Pak Zidan."
"Tumben Mbak bos datang awal ke kantor?"
"Iya, ada sedikit urusan, Pak."
Zidan memandang Alfian. Dalam pikirannya ia mengira bahwa Alfian bisa saja adalah klien jasa periklanan yang hendak menemui Dinda. Zidan lalu berganti memandang Dinda. "Saya permisi, Mbak Bos. Mau bukain pagar dulu sekalian bukain pintu kantor."
"Iya, Pak, silahkan."
"Mbak Bos pasti dapatin bunga mawar lagi pagi ini. Percaya saya," ucap Zidan seraya melangkah. Dinda hanya tersenyum mendengarnya.
Zidan lalu meninggalkan mereka berdua. Alfian dan Dinda masih berdiri berhadapan.
"I need to talk to you, Dinda."
"Just talk."
Bagaimana pun ia mencoba bersikap ramah pada Alfian demi Papinya. Tangannya kini menyilang di depan badannya.
Suara Zidan tiba-tiba memecah hening, "Mbak Bos! Mbak Bos! Nih, saya nemuin lagi bunganya. Bunga yang sama," Zidan menyerahkan buket bunga itu pada Dinda. Alfian tampak mengalihkan pandangannya berpura-pura tidak mau ikut campur.
"Oh, iya, terima kasih, Pak Zidan."
"Hm, Mbak Bos nggak penasaran ya siapa yang kirimin bunga?"
Dinda memandang Alfian. Alfian segera menunduk, ingin rasanya ia bersembunyi.
Dinda menjawab, "Nggak apa-apa, Pak. Suatu saat orangnya pasti menampakkan diri."
Zidan mengangguk. "Iya, Mbak Bos. Oh, iya. Ini tamunya Mbak Bos? Bicara di dalam saja. Mari saya antarkan ke lobi."
Alfian menjadi bingung. "Eh, aku..."
"Iya," jawab Dinda menatap Alfian, "tapi sebelumnya pindahin dulu mobilmu ke tempat parkir."
Mendengar perintah itu, Alfian pun tidak bisa membantah. Baginya ini juga menjadi kesempatan bertemu Dinda.
Saat Alfian sedang memarkirkan mobilnya, Dinda menyeberangi jalan menuju mobilnya. Ia pun membangunkan Raras. "Raras, bangun hei, bangun."
Raras menguap. Dilihatnya Dinda yang sedang menghempaskan buket ke jok belakang.
"Jadi gini, dengerin aku baik-baik. Karena kamu belum mandi, kamu balik aja dulu ke rumahmu pakai mobilku, ngerti? Setelah itu balik lagi ke kantor jam delapan seperti biasa. Tentu aja pakai mobilku. Paham?"
Raras mengangguk. Ia bertanya, "Kamu udah tahu siapa yang ngirimin bunga?"
Dinda menggeleng asal. Ia berniat akan bercerita setelah Raras tiba kembali di kantor. Setelah itu, Raras pun pergi. Dinda kembali menyeberang dan tiba di dalam kantornya. Di lobi ia menemui Alfian yang duduk di sana sendirian.
Melihat kedatangan Dinda, Alfian berdiri. "Kamu tadi ke mana?"
"Cuma ke depan sebentar," jawab Dinda.
Keduanya sama-sama duduk. Hal yang pertama kali Dinda tanyakan adalah, "Tumben kamu nggak pakai jas?"
"Oh, iya karena aku bangun lebih awal untuk pergi ke sini jadi aku nggak perlu terlalu rapi."
Dinda mengangguk. Suasana menjadi kaku. Bagaimana pun mereka baru bertemu satu kali saat di restoran. Tanpa basa-basi Dinda segera bertanya, "Tujuan kamu kirimin aku bunga untuk apa?"
Alfian terdiam saat ditanya demikian. Ia bingung hendak menjawab.
"Because..."
"What?"
"You're so special, Din."
Dinda diam. Hatinya membatin. Bahasa cowok playboy, nih. Baca ta'awuz dulu sebagai benteng pertahanan diri. A'uzubillahiminassyaithonirrajim.
Alfian kembali bicara, "Let me talk to you right now. Sejak pertama kita ketemu di restoran dan kita bicara saat kamu nungguin taksi, aku yakin kamu yang terbaik, Dinda. Honestly, dulu setiap kali aku mau mendekati perempuan, aku selalu dengan caraku, it called SKSD, you know that?"
Dinda diam menyimak. Alfian bicara lagi, "SKSD, sok kenal sok dekat. Yes? Itu caraku mendekati perempuan. Dan semua dari mereka selalu meresponku dengan baik. Obrolan menjadi nyambung meski baru pertama kali ketemu. Tapi berbeda denganmu. Kamu cuek, dingin, bahkan tidak mau menatapku saat bicara. That's why i'm sure you're so special."
Dinda masih mendengarkan.
"Ah," ucap Alfian lalu mengusap wajahnya, "kenapa aku malah bilangnya di sini, di lobi kantormu. Tidak ada romantisnya sama sekali," keluhnya.
Melihatnya, Dinda tersenyum tipis. "Kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa kamu kirimin aku bunga?" balas Dinda.
Alfian menjawab, "Aku mau buat kamu senang."
Dinda memalingkan wajahnya. Alfian punya banyak jurus menaklukkan wanita. Tapi itu tidak berlaku untuk Dinda.
"Can we be friend?" tanya Alfian sama seperti pertama kali.
Dinda mendesah. Ia teringat pesan Papinya. Ia pun telah berjanji dalam satu bulan ini akan memberi pilihan.
"Yes," jawab Dinda asal.
Senyum Alfian kian melebar. Ia berdiri hendak pamit. "Setidaknya kita udah jadi teman. Aku pulang sekarang, boleh?"
"Iya, boleh."
Alfian melangkah. Setelah keluar dari lobi, Alfian membalikkan badannya dan memandang Dinda yang masih duduk di kursinya tanpa mengantarnya pergi. "Aku ke rumahmu nanti malam. Tunggu, ya!" teriaknya lalu berlari menuju mobilnya.
Dinda hanya mendelik. Ia pasrah.
💍
KAMU SEDANG MEMBACA
One of Them [TAMAT]
EspiritualNamanya Dinda, jomblo berusia 27 tahun. Status jomblonya itu tentu membuat geregetan keluarganya. Akhirnya Papi, Mami, dan Daris menetapkan masing-masing satu nama pria yang cocok menjadi calon pilihan Dinda. Siapakah yang akan terpilih dari tiga na...