07. Problem

67 10 0
                                    

Kata-kata makian dan hinaan terdengar masuk ke telinga Jihan. Jihan menatap kedua orang tuanya dengan tatapan sedihnya. Ia sangat ingin menangis, mengingat ini bukan sekali dua kali mereka bertengkar hebat. Ini sudah kesekian kalinya mereka bertengkar kalau bertemu.

Jihan menyuruh adik-adiknya untuk pergi kerumah tetangga supaya mereka tidak mendengar pertengkaran orang tuanya.

Jihan masuk ke dalam rumahnya. Mamah dan Bapak Jihan melihat ke arahnya. Jihan tersenyum miris melihat keadaannya yang sekarang.

"Jangan ribut mulu, malu diliatin tetangga." Ucap Jihan mencoba menenangkan kedua orangtuanya.

"Anak kecil tau apa? Kamu gak tau gimana bapak kamu yang kaya anjing ini diluaran sana? Dia jalan sama jablay dibelakang saya." Sahut Mamah. Hati Jihan sedikit sesak mendengar perkataan mamahnya.

"Saya kerja banting tulang buat keluarga, saya gak pernah yang namanya main perempuan di belakang. Gak kaya kamu yang jelas-jelas main sama lelaki lain. Kamu pikir saya diam, saya gak tau tentang kamu dan lelaki yang bernama Erik itu?" Sahut Bapaknya tak terima di sudutkan seperti itu.

"Mau bilang apa sekarang kamu? Kamu menyudutkan saya seolah-olah saya yang keliatan salah dimata anak-anak. Padahal kamu nyembunyiin semua kesalahan kamu dengan menyudutkan saya." Ucap Bapaknya lagi.

"Halah bilang aja kamu jalan sama jablay diluaran sana! Makanya kamu gak pernah bener ngirim uang. Uangnya kamu pake jalan sama jablay kamu!" Ucap Mamah Jihan. Emosi terpancar diwajah bapaknya. Jihan yang melihat itu merasa takut akan ada hal berbahaya terjadi.

PLAK

Satu tamparan mendarat lulus tepat di pipi kanan Mamah Jihan. Jihan menangis melihat hal tersebut.

"Kamu kalo ngomong disaring dulu. Saya mencoba sabar menghadapi sifat kamu yang kurang ajar sama saya. Saya gak pernah dihargai sebagai suami sama kamu. Terus sekarang kamu maunya apa?" Ucap Bapak Jihan dingin. Mamah jihan memegang pipinya yang sakit ditampar oleh suaminya. Jihan semakin kencang menangisnya.

"Ceraikan gue sekarang!" Ucap mamah Jihan dengan penuh penekanan.

"KALIAN BUNUH AJA GUE, BUNUH! KALIAN SAMA AJA BUNUH GUE SECARA PERLAHAN. KALIAN GAK PERNAH MIKIRIN GIMANA MENTAL ANAK KALIAN." Teriak Jihan frustasi. Persetan dengan semua kesopanan. Sekarang Jihan hanya ingin mengeluarkan semua yang ada dipikirannya.

"KALIAN BERDUA RIBUT, RIBUT DAN RIBUT. TANPA KALIAN SADARI ANAK KALIAN TERSIKSA NGEDENGERNYA. KALIAN SELALU BILANG INI SEMUA DEMI KEBAIKAN KITA, TAPI APA? Kalian malah menghancurkan angan-angan kita." Lanjut Jihan.

"KALIAN BOLEH GAK PERHATIAN SAMA GUE. TAPI, KALIAN MASIH PUNYA DUA ANAK YANG HARUS KALIAN JAGA. DAFFA DAN DIAN BUTUH KASIH SAYANG KALIAN, BUKAN KATA-KATA SAMPAH YANG KELUAR DARI MULUT KALIAN."

"Han bukan gitu maksud Bapak." Ucap Bapak mencoba menenangkan Jihan.

"Kita salah apa sama kalian, sampe kalian kaya gini sama kita. Kalian tau, kita sedih denger kalian ribut mulu. Kalo ada masalah, selesaikan baik-baik. Jangan pake kekerasan kaya tadi. Untung yang lihat itu gue, bukan adik-adik gue." Lirih Jihan dengan menundukkan kepalanya.

"Kalo kalian tetep kaya gini, gue pergi dari sini." Ucap Jihan yang langsung membalikkan badannya lalu berlari ketempat adiknya dititipkan.

Jihan memeluk kedua adiknya sembari Menangis, membuat adik-adiknya kebingungan. Jihan memeluk dengan erat kedua adiknya.

"Teteh kenapa?" Tanya Daffa.

"Bapak mau ninggalin kita ya Teh?"  Tanya Dian. Jihan menggeleng dengan keras. Jihan masih menangis, ia tak tega melihat adik-adiknya.

"Kalian janji ya sama Teteh, kalo ada apa-apa bilang sama Teteh?" Ucap Jihan.

"Teteh kenapa sih? Datang nangis-nangis. Ada apa Teh?" Tanya Dian. Jihan menggelengkan kepalanya.

"Teteh mau kerumah temen Teteh, ada urusan. Kalian diem disini dulu ya? Nginep disini?" Titah Jihan.

"Kok nginep sih Teh! Emang rumah kita kenapa?" Komentar Daffa.

"Dirumah lagi ada genteng bocor. Kalian disini dulu aja." Ucap Jihan final.

"Bu, saya titip adik-adik saya ya. Sehari aja bu." Ucap Jihan kepada tetangganya.

"Oh Iya, gak apa-apa Han. Saya harap masalah kalian cepet selesai ya."

"Iya Bu. Terimakasih, maaf ya bu ngerepotin."

~~•~~

Jihan berbohong kepada adik-adiknya. Jihan tak punya tujuan ingin kemana. Ia bingung. Ia hanya ingin menenangkan pikirannya setelah melihat pertengkaran orang tuanya. Apalagi melihat Bapaknya menampar Mamahnya, itu saja membuat Jihan terkejut bukan main.

Jihan hanya berjalan tak tentu arah. Yang Jihan lakukan hanya berjalan dengan perasaan emosi, marah, sedih, kecewa semuanya bersatu. Kehampaan itu datang lagi, membuat Jihan merasa sedikit tertekan.

Jihan berjalan menuju jembatan penyebrangan. Ia tak sebodoh itu untuk melakukan bunuh diri, ia masih punya akal. Yang Jihan lakukan hanya ingin berteriak sekuat-kuatnya.

"AAAAAAAAAAAAAA!"

Jihan membalikkan badannya. Ia menjambak rambutnya frustasi. Tubuh Jihan merosot dan sekarang ia menangis lagi.

Keluarga yang dulu ia banggakan, kini hancur begitu saja. Keluarga bahagianya telah tiada, telah lenyap dimakan badai. Tak ada lagi canda tawa di dalamnya. Hanya ada keheningan dan kesunyian yang mencekik mereka.

Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tak bisa apa-apa sekarang. Jihan benar-benar sendirian, tak ada teman yang harus ia hubungi. Ia bahkan malu bercerita tentang masalahnya kepada teman-temannya. Takut disepelekan oleh teman-temannya.

"Sekarang apa yang harus gue lakuin. Semuanya udah berubah." Guman Jihan dengan menjambak rambutnya lagi.

"Loh Jihan?!" Jihan mendongakkan kepalanya lemas.

"Lo kenapa Han? Kok ada disini? Gila, ini jauh banget dari rumah lo. Lo kok disini sih?" rentetan pertanyaan keluar dari mulut orang itu. Jihan hanya diam.

"Han, lo kenapa?" Tanyanya, sekarang orang itu duduk disamping Jihan. Jihan malah menangis lagi.

"Kok nangis sih Han?" Orang itu panik.

"Mending lo ikut gue deh Han." Ajak orang itu. Tubuh Jihan lemas, setelah berjalan jauh dan pikirannya yang membuat dirinya semakin lemas.

Orang itu menggendong Jihan sampai kebawah. Ia mendudukkan Jihan di motornya. Lalu melajukan motornya sampai ke sebuah rumah, yang dipastikan itu rumahnya. Lagi-lagi orang itu membopong Jihan sampai kedalam rumahnya dan menidurkan Jihan di Sofa.

"Lo kenapa sih Han. Bikin gue khawatir aja." Ucap Orang itu lagi. Ia sedang pergi ke dapur membuatkan Teh hangat untuk Jihan.

Tak lama ia kembali dengan membawa nampan yang berisi Teh hangat dan beberapa camilan. Orang itu melihat Jihan duduk dan menangis.

"Apa gue gak pantes bahagia ya Lin? Baru kemarin gue baikkan sama temen-temen gue. Terus, sekarang nambah lagi masalah gue." Ucap Jihan dengan tatapan kosongnya. Seberapa frustasinya Jihan sampai-sampai kelihatan seperti orang Gila.

"Lo pantes bahagia Han."

"Tapi kenapa gue gak pernah ngerasain kebahagiaan lagi?"




©©©
Hahahaha
What do you think?

Ordinary Girl [BrokenHome]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang