"Han, kok lo nangis?" Widia menoleh, karena posisinya membelakangi orang tersebut.
"Ngagetin aja Lang." Ucap Widia yang sedikit terkejut dengan omongannya tadi.
"Aduh kok istri gue nangis? Lo apain Wid?" Ucap Gilang dengan gaya alay, membuat Widia ingin menampar Gilang saat itu juga.
"Alay lo bajing!" Ucap Lino yang langsung menjitak kepala Gilang. Gilang datang bersama Lino, mereka berdua jadi dekat karena adu bacot kemarin.
Gilang dan Lino duduk di tempat Widia dan Jihan. Padahal, belum jam istirahat tapi mereka malah ke kantin. Biasa, anak rajin harus seperti ini.
"Udah Han, jangan dipikirin." Ucap Gilang tiba-tiba membuat Jihan kaget lagi.
"Lo tau?" Tanya Widia.
"Taulah, ajudan gue ngasih tau." Ucap Gilang sembari menunjuk Lino. Lino sudah siap menampar Gilang.
"Bangsat lo!" Kesal Lino.
"Kalian kayanya makin deket aja nih?" Tanya Jihan kepada Gilang dan Lino.
"Maaf, gue bukan homo Han. Mending gue sama lo dah." Sahut Lino sambil meminum es Jihan.
"Idih." Komentar Gilang tak terima.
"Btw, kalian ganggu gue sama Widia lagi ngobrol loh." Sindir Jihan. Widia nyengir, mereka berdua juga ikutan nyengir.
"Gabut di kelas, yaudah kita kesini." Balas Gilang.
"Lagian ya Han, gue juga udah tau kali masalah hidup lo. Santuy aja lanjutin ceritanya, gue mau denger lagi." Ucap Lino membuat Jihan menendang kaki Lino. Lino mengaduh kesakitan.
"Emang cerita hidup gue itu dongeng!" Balas Jihan dengan nada kesalnya.
"Waduh, si eneng kesel." Ucap Gilang. Widia sama Lino hanya tertawa.
"Lo sejak kapan deket?" Tanya Widia kepada Lino setelah selesai tertawa.
"Semenjak kalian ngejauhin si Jihan." Widia hanya ber oh ria.
Jihan tertawa lagi ketika Lino, Gilang dan Widia bercanda bersama. Sampai tak terasa, bel pulang sekolah berbunyi. Kebahagaian sementara Jihan harus berakhir.
Gilang dan Lino maksa ingin mengantarkan Jihan pulang. Jihan sudah menolak mereka, tapi mereka keras kepala. Alhasil, mereka berdua mengantarkan Jihan. Jihan dibonceng oleh Gilang.
Sesampainya di rumah tetangga mereka, Jihan turun untuk menjemput adik-adiknya.
"Teteh!" Seru Dian bersemangat melihat Jihan menjemput mereka.
"Ayo pulang!" Ajak Jihan dengan semangat juga. Tapi, di hati Jihan. Ia merasa cemas.
"Ayo Teh!" Sahut Daffa dan Dian. Mereka pun berjalan sampai kerumahnya.
Saat Dirumah, Jihan masuk bersama empat orang lainnya. Daffa, Dian, Lino dan Gilang. Rumahnya tampak sepi dan tak berpenghuni. Jihan pergi ke kamar mamahnya, dan tak menemukan mamahnya disana.
Jihan menghela nafasnya, pertanda kalau ia sudah pasrah dengan keadaan keluarganya. Jihan kembali ke ruang tamu, ia bergegas mengambil minum untuk mereka.
Ia membuka ponselnya dan mendapati pesan dari Mamahnya, isi pesannya membuat Jihan semakin sedih. Karena isi dari pesan tersebut menyatakan kalau mamah dan Bapaknya resmi bercerai.
Sekarang, Jihan harus bilang apa sama adik-adiknya?
Jihan membawa nampan yang berisi empat gelas air putih lalu menaruhnya di atas meja.
"Makasih calon istri." Ucap Lino, ia mendapatkan tatapan tajam dari Gilang.
"Ada adiknya bego!"
"Ya emang ngapa sih? Gue kan cuma ngasih tau kalo Jihan itu calon istri gue!" Kesal Lino tak terima dikatain bego.
"Dia juga calon istri gue!" Kesal Gilang.
"Calon is--"
"Assalamu'alaikum." Jihan melihat ke depan, dan ternyata ada bapaknya. Jujur saja, Jihan merasa canggung.
"Waalaikumsalam." Balasnya.
"Bapak kesini cuma mau bawa adik-adik kamu tinggal sama bapak." Ucap Bapak Jihan. Lagi lagi Jihan harus mendengar kenyataan yang menyedihkan.
"Hak asuh adik-adik kamu ada di tangan bapak. Mamah kamu pergi entah kemana, kamu tinggal disini aja. Bapak yang biayain hidup kamu sampe lulus sekolah." Jelas Bapaknya. Jihan menahan tangisnya yang akan pecah. Jihan mengadahkan kepalanya ke atas, supaya air matanya tak keluar.
"Masuk dulu Pak." Ucapnya dengan suara yang bergetar. Mereka berdua pun masuk. Bapak Jihan memeluk adik-adiknya lalu membantu adik-adiknya menyiapkan pakaian mereka ke kamar.
Lino dan Gilang yang melihat itu bingung harus bagaimana. Yang mereka Lihat, Jihan sekarang sedang duduk menatap gelas mereka dengan tatapan yang sulit diartikan.
Selang beberapa menit kemudian, Bapak Jihan dan adik-adiknya keluar dengan tas mereka yang lumayan besar.
Jihan memeluk adik-adiknya sebagai tanda perpisahan.
"Kalian jaga diri ya disana. Teteh gak bisa jagain kalian lagi." Ucap Jihan yang masih memeluk mereka. Air mata Jihan belum keluar.
"Teteh kok gak ikut?" Tanya Daffa.
"Kalo Teteh ikut, yang jaga rumah ini siapa? Mamahkan kerja." Bohong. Jihan sedang berbohong.
"Oh gitu ya Teh."
"Kalian jangan lupa kabarin Teteh Ya?" Ucap Jihan membuat Gilang dan Lino tak tega melihatnya. Bapak Jihan sudah tak bisa melihatnya. Ia malah langsung pergi membawa kedua adiknya tanpa pamit.
Jihan kembali duduk dengan pandangan kosongnya. Jihan menutup wajahnya dengan kedua matanya. Ia menangis.
Jihan tak tahu ia harus bagaimana lagi. Keluarganya bahkan tak ada yang mengharapkannya. Ia bahkan tak dipedulikan oleh keluarganya.
Lino dan Gilang menatap Jihan Iba. Mereka juga bingung harus berbuat apa, kejadiannya begitu cepat dan mereka tidak bisa menghentikannya. Gilang memberikan Jihan minum, tapi Jihan sedang nangis. Lino mencoba membuat Jihan berhenti menangis, tapi Jihan tetap menangis.
"Han, lo ada kita. Kita gak akan ninggalin lo." Ucap Lino mencoba menenangkan Jihan.
"Iya Han, kita bakalan ada disamping lo." Tambah Gilang. Jihan masih menangis.
"Han, jangan nangis dong."
"Iya, kita gak bisa liat lo nangis."
Jihan menghapus air matanya. Ia memberikan senyumannya.
"Maaf ya, kalian jadi tau masalah hidup gue yang sebenernya." Lirih Jihan, membuat hati mereka sedikit sakit.
Gilang melihat keadaan Jihan seperti ini, membuatnya ingin memeluknya. Begitu juga dengan Lino, dan akhirnya mereka berdua merangkul Jihan, mencoba untuk menenangkan Jihan.
Jihan menoleh ke arah kanan dan kirinya. Ada Gilang dan Lino yang merangkulnya.
"Selagi ada kita, lo gak akan sendirian Han. Gue janji bakalan nemenin lo sampe kapan pun!" Seru Gilang. Lino mengangguk, memberikan tanda setuju.
"Betul! Lo jangan ngerasa kesepian oke? Kalo ada apa-apa panggil kita. Kita pasti dateng kok." Ucap Lino menambahkan dan mendapatkan anggukan dari Gilang. Jihan terharu mendengar perkataan mereka.
"Makasih kalian udah jadi sahabat yang baik buat gue. Gue bersyukur bisa kenal sama kalian. Kalo gak ada kalian, gue gak tau lagi harus gimana." Ucap Jihan dengan senyum mirisnya.
Gilang dan Lino menghapus air mata Jihan yang mengalir di pipinya.
"Gue sayang sama lo." Ucap Lino dan Gilang secara berbarengan dan di akhiri dengan senyuman manis mereka.
©©©
Nangis gue bikinnya :"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ordinary Girl [BrokenHome]
Short Story"Gue cuma gadis biasa. apa pantes ada di dunia?" -Anesya Jihan Pratiwi.