7: Erza

38 7 0
                                    

"Retha, sayang apa kabar kamu nak?"

"Baik mah, kalau mama dan papa gimana?"

"Alhamdullilah baik, kamu gimana sekolahnya, lancar? Ada peloncooan gak?"

"Lancar mah, aku udah dapat temen nih. Kalau peloncooan sih ga ada, tapi yang iseng mah ada,"

"Hm, mama kangen banget sama kamu,"

"Aku juga mah, makanya mama main kesini dong,"

"Iya nanti ya. Oh iya, kamu udah ada kerja sambilan? Kasian kan Bude, Pak de kalau kamu pakai uang mereka terus?"

"Hehe, belum sih, bahkan belum kepikiran. Masih mau fokus ke beasiswa ku dulu,"

"Kalau pacar? Udah ada lah ya. Kamu kan cepet sama yang begituan,"

"Apaan sih mama, jijik deh. Aku juga belum mau pacaran,"

"Padahal mama pengen tau pacar kamu siapa, ya sudah, mama lagi masak sayur labu nih, nanti kelembekkan, mama tutup dulu ya,"

"Okey,"

Dan telepon pun di tutup. Sebenarnya aku mau ngobrol sama mama lebih lama. Tapi ya, tidak bisa kan seharian aku ngobrol dengannya.

Mama menyuruhku untuk mengambil kerja sambilan. Kasihan Pak de, sudah tua namun harus menafkahiku, walau mama sudah sering mengirim uang tiap bulan, namun takutnya tidak cukup. Mungkin aku akan coba cari kerja sambilan nanti setelah ujian tengah semester berakhir.



"Tadi itu temen lo Vel?"

"Iya, temen geng, tapi kakel,"

"Emangnya geng apaan lagi sih? Kayaknya di sekolah ini banyak banget geng deh,"

"Gak banyak, geng di sekolah kita cuman satu,"

"Svarga?" aku dapat melihat Marvel mengangguk.

"Lo salah satu anggota geng Svarga? Ga pernah kepikiran loh gue,"

Keheningan memenuhi perjalanan pulang kami. Namun, Marvel memutuskan untuk mengisi keheningan yang ada diantara kami.

"Lo suka gak sih sama anak geng?"

"Tergantung,"

"Tergantung sama orangnya aja," lanjutku.

"Suka yang kayak Sakka, gak? Dia kan tipe-tipe ngajak gelud,"

"Kenapa nanya nya harus Sakka sih? Udah jelas gak akan suka,"

"Kalau kayak Ryan?"

"Nggak usah gila," 

Dia tertawa kemudian manggut-manggut. Pikirannya terfokus pada jalanan lagi.

Tiba-tiba aku teringat, Astaga! Kemarin aku cerita tentang Sakka pada Marvel, sedangkan Sakka itu temannya. Aku sangat menyesal sudah cerita hal itu kepadanya, dasar bodoh!

Motor hitam Marvel tiba di depan rumah berpagar gading. Aku segera turun dari motornya.

"Makasih Vel, maaf jadi ngerepotin,"

"Gak kok, kan gue yang ajak. Lumayan kita bisa ngobrol, biasanya kan lo sama anak cewek mulu,"

Aku mengangguk cepat dan tersenyum. Sebelum aku membuka pagar rumahku, aku berbalik badan lagi, melihat apakah Marvel sudah pergi.

Sial! Dia belum pergi. Lagi-lagi mata kami saling beradu.

Terlihat baju berwarna hitam dibalik kancing-kancing yang terlepas. Dan senyum yang diberikannya sungguh lah menawan.

Ineffable [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang