9: Si sipit

36 7 0
                                    

Jarum jam hampir mendekati angka 12, kepalaku sudah semakin pusing. Aku belum tidur karena harus menunggu Bude dan Pak de pulang. Kak Trisha tampak lelah, sehingga sudah tidur di kamarku.

Aku masih menonton film di ruang tengah. Ya, bersama si sipit. Kami tidak saling bicara karena keterbatasan bahasa. Dia hanya beberapa kali bertanya akan lokasi rumahku.

Selanjutnya, dia tampak asyik dengan ponselnya. Syukurlah, daripada aku harus bicara dengannya tapi tidak nyambung-nyambung. Ini lebih baik.

Awalnya Hodaka sudah aku tawari untuk tidur di kamar tamu, agar aku bisa tidur, tapi dia tetap tidak mau dengan alasan tidak enak. Memang dasar orang Jepang, sopan santun sangat di tutun disana.

Rasa pusing ku rasanya bertambah parah. Aku memutuskan untuk mengambil obat. Aku pergi ke dapur untuk  mengambil air.

"Akh," rontaku sambil memegang dahiku.

Gelas di tanganku diletakkan secara banting olehku, untung saja tidak pecah. Sakit sekali, padahal hanya kena hujan sedikit. Kepalaku memang lebay sekali.

Seseorang menghampiri dapur.

"Miesha, ka--kamu tidak apa-apa?" dia tampak panik.

Aku mengangguk dan masih setia memegangi dahi. 

"Kamu sakit?"

"Sedikit,"

Kemudian dia membantuku untuk ke kamar sambil memegangi bahuku.

"Kamu tidur saja ya, nanti aku bilang ke Kak Trisha untuk temani aku,"

"Aku belum minum obat, sekarang semakin pusing," Aku rasa kali ini dia tidak mengerti apa yang aku maksud, dan aku menyadarinya.

"I need my medicine. Now,"

"It's okey, you go upstairs and i'll bring your medicine right away,"

Setelah sampai di kamarku, Hodaka membangunkan Kak Trisha. Kak Trisha tampak kaget sebentar dan lalu membantuku naik ke atas kasur.

Hodaka menjelaskan semuanya dalam bahasa Jepang kepada Kak Trisha. Kak Trisha mengangguk, dan kini pandangannya sudah mengarah kepadaku. Dia menyuruh Hodaka mengambil obat berbungkus hijau di dapur.

"Ya ampun Dara, kenapa ga bilang kalau kamu lagi sakit? Tau gitu kan aku gak tidur," wajahnya menunjukkan rasa cemas dan bersalah.

Aku terkekeh dengan seringai.

"Gak apa-apa lah kak. Kasian kakak capek perjalanan,"

Kak Trisha mengelus dahiku. Ia tersenyum dan melihat ke arah pintu dimana Hodaka sudah berdiri.

"Kore wa tadashī kusuridesu ka?" ia mengangkat obat berbungkus hijau.

"Sōdesune," sahut kak Trisha.

Hodaka masuk ke kamarku, membukakan obat untukku dan memberikannya padaku. Dia juga sudah membawakanku air minumnya.

"Arigatō," Aku sok bisa bahasa Jepang. Agak konyol. Tapi kenapa tidak? Hodaka saja bisa bahasaku.

Aku meneguk obat dengan cepat, karena ingin rasanya cepat tidur. Tiba-tiba seseorang telah membuat kami terkejut.

"Loh Trisha? Udah sampe?" Itu Bude dan Pak de. Mereka baru datang.

"Loh, Bude sama Pak de kok bisa masuk? Bukannya Dara kunci ya?"

"Apanya? Wong gak di kunci sama sekali. Masa Bude sama Pakde--apa deh tu namanya, tesport ya?" omel Bude

Ineffable [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang