Part 1 - Juliet

1 1 0
                                    

Aku tahu aku harus lebih berhati-hati.
Salah kata sedikit dan tidak dapat menutup kemungkinan aku akan berada dalam bahaya.

Tapi, bagaimana? Audrey sama sekali tidak percaya pada apa yang kukatakan. Tapi, dia juga nampak terkejut ketika aku bilang bahwa korbannya adalah Lizz.

"Memang, siapa yang berani melakukan hal semacam itu pada Lizz?"

Aku menunduk. Audrey benar. Lizz bukan sembarang orang, dan aku tahu persis dia bukan orang yang bisa diajak macam-macam.

"Audrey..." ucapku lirih. Audrey nampak bingung. Aku tahu siapa orangnya, tetapi aku tidak bisa memberitahukannya pada Audrey. Tidak kali ini. Aku tidak tahu apakah Audrey akan menggila dan melakukan yang tidak-tidak.

Aku memasang wajah bingung. Setidaknya, untuk mengurangi kecurigaan Audrey padaku.
Satu hal yang pasti, Audrey tidak mudah dibodohi. Dia terlalu pintar dalam menganalisis keadaan. Dia hanya tidak sadar akan hal itu.

Kau mungkin berpikir bahwa aku pintar menyembunyikan sesuatu. Biar aku beritahu, Audrey nampaknya juga tahu sesuatu.

Aku akan mencoba memancingnya,
"Menurutmu siapa orang yang saat ini marah pada Lizz?"

Dan, aku berhasil.
Audrey terdiam, pertanda dia mengetahui sesuatu, dan, memilih untuk menyembunyikannya.

"Ah... aku akan panggil Reuben dan Nathan kesini," ucapku memecah keheningan. Suasana terlalu canggung. Mungkin aku salah bicara, dan sekarang aku menyesal telah berbuat seperti itu terhadap Audrey.

"HEY, JULY!"
Reuben menghampiriku dengan tangan melayang ke udara.
Dia tertawa lebar, terlalu ceria dalam pagi yang tegang ini.

"Kenapa kau tertawa?" Tanyaku agak merengut. Hey, Reuben, sahabatmu sedang dalam masalah dan kau tertawa tanpa khawatir?

Reuben langsung cemberut mendengarku. "Kau tahu aku memang seperti ini, kan?" Dia mendengus, lalu berpaling. Aku terkekeh.

"...Dimana Nathan?"

Nathan tidak biasanya pergi dari kursinya. Dia seperti lumut, diam dan menetap di kursinya dari awal sampai akhir kelas berakhir. Aku bingung sampai saat ini kenapa dia tidak kena varises.

Lalu, kemana dia?

"Kau bukan ibunya, July," Reuben mengambil handphonenya dan menuju tempat duduk Audrey, "Jangan terlalu mempedulikan apapun sampai sedetail itu".

Aku mengerutkan dahi. Ada apa dengan anak satu ini? Apa aku melukai perasaannya?

"H-hey! Baiklah, aku minta maaf!"

Reuben menoleh kaget. "Ya Tuhan, untuk apa kau minta maaf?"

"Aku tidak tahu, tapi nampaknya kau marah gara-gara perkataanku tadi?"

Reuben terdiam sebentar, lalu tertawa kecil.

"Kau tahu kan, kalau aku memang seperti ini?"

Lalu dia segera menghampiri Audrey dan duduk dihadapannya.

Audrey disitu masih termenung menatap jendela. Dia nampaknya mengamati setiap mobil yang terparkir. Aku tebak, dia sedang mengamati dengan jelas dimana mobil Lizz berada. Reuben mengoceh berkali-kali dan Audrey tidak juga menanggapinya.

Aku mendekati mereka berdua. Aku khawatir, benar-benar khawatir. Kenapa Audrey tiba-tiba seperti ini?

"Hey, apa yang kau lihat?"

Audrey terkejut, lalu menatapku dengan kaget. Tatapannya tidak lama dan kembali fokus mengamati keluar jendela. Reuben masih saja berceloteh, dan, hey aku pun bahkan tidak sempat mendengarkannya.

"Kau tahu? Bukan Lizz saja yang nampaknya jadi korban," ucap Audrey tiba-tiba.

Aku mengerutkan dahi. Reuben yang sedari tadi tidak bisa diam pun, kini memperhatikan Audrey lekat-lekat.

"Apa maksudnya?"

Telunjuk Audrey mengarah ke suatu mobil hitam. Mobil yang kami kenal. Jarinya bergetar, nampak tidak percaya dengan apa yang dia lihat.

Mobil itu nampak sengaja digores dengan benda tajam. Entah ini berhubungan dengan kasus Lizz atau tidak, tapi nampaknya sang pelaku adalah orang yang sama.

"Kalian... semua... akan ku... hancurkan...?"

Aku membaca tulisan itu dengan badan bergetar hebat. Aku tidak bohong, dan tidak pula melebih-lebihkan.

Siapapun yang dimaksud sang pelaku, semua orang pasti bisa menebaknya.

"Dia tidak hanya marah pada Lizz, kau tahu?" Audrey menurunkan telunjuknya, menatap khawatir pada kami berdua.

"Dia marah pada kita".

Aku panik, benar-benar panik. Aku menepuk pundak Reuben dengan kencang, menyuruhnya segera menghubungi Nathan. Reuben sepakat dan merogoh handphonenya dengan tergesa-gesa.

Dimanapun kau berada, Nathan, kau harus tahu kabar ini segera.

"-Halo?"
"Bro, kau dimana?" Tanya Reuben yang nampaknya ikut panik gara-gara hal ini.
"Ada apa?"

Reuben menatap keluar jendela sekali lagi dengan perasaan khawatir.

"Kau sudah lihat ...?"
Reuben menarik nafas dalam.

"Nathan, mobilmu ...".

Oh, tidak.
Nathan benar-benar tidak akan suka dengan hal ini.

The Evil Among UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang