"Mobilmu..."
Aku terdiam sejenak. Aku tidak menyangka kenapa temanku bisa jadi begini, entah dia mendadak lupa atau tiba-tiba jadi gila.
"...Kau tahu bahwa kau sudah melihatnya tadi, kan?"
Aku menghela nafas. Teman-temanku tidak ada yang normal. Dan kali ini, aku kembali terjebak dengan temanku yang sama tidak normalnya: Lizz, disini, di ruang dosen. Setidaknya, aku bersyukur bersama dengan Lizz. Aku akan gila jika yang disampingku saat ini adalah Audrey si banyak bicara.
"Nathan, aku perlu konfirmasi darimu".
Suara Pak Dosen terdengar dingin. Beliau mungkin tidak suka aku tiba-tiba menelpon teman di saat seperti ini. Lizz menyenggol kakiku dan mengisyaratkanku untuk berbicara.
"...Baik, pak," aku menarik nafas dalam, mencoba mengingat kembali kejadiannya, "Saya tidak sempat melihat siapa pelakunya".
Pak Dosen masih diam, menunggu lanjutan ceritaku.
"Saya dan Reuben pergi mencari sarapan, dan tiba-tiba saja setelah melewati parkiran, Reuben berteriak sambil menunjuk mobil saya-"
"Reuben?"
Pak Dosen memotong penjelasanku. Alisnya turun, matanya memicing ke arahku.
"Kau tidak berpikir bahwa dia bisa saja jadi pelakunya?"
Tunggu, apa?
Aku semakin berpikir dunia ini telah gila. Kenapa aku harus mencurigai temanku sendiri, saat dia bahkan ada di sebelahku?Aku tidak ingin merespon pertanyaan konyol itu.
"Kau tahu dimana Reuben berada sebelum itu? Siapa yang terlebih dahulu datang? Dimana kau sebelum peristiwa itu terjadi?"
Pak Dosen terus menerus menekanku, mencoba memaksaku untuk berpikie bahwa Reuben adalah pelakunya.
"Pak, tapi dia tidak mungkin ikut merundung Liz-"
"Aku melihat Reuben, tadi pagi, di parkiran".
Aku menoleh pada Lizz. Untuk apa dia memberitahu hal itu? Apakah dia juga ingin turut menuduh Reuben?
"Hey, ayolah! Aku tidak bermaksud menuduh Reuben atau yang sejenisnya, bodoh".
"Lizz, jaga bicaramu!" Ucap Pak Dosen dengan lantang.
"Lalu apa maksudmu, tiba-tiba menyebut Reuben begitu saja?" Aku tidak paham, ada apa dengan Lizz?
"Kau bilang bahwa Reuben tidak mungkin jadi pelaku yang sama yang merundungku, kan?" Lizz melipat tangan didadanya, menatap tajam ke arahku, "Itu sebabnya aku bilang bahwa bukan Reuben orangnya. Dia ada di parkiran saat itu. Dia tidak mungkin menggangguku".
"Kau tidak berpikir bahwa pelakunya berbeda, hm?" Pak Dosen mengelus dagunya, mencoba menebak-nebak apapun yang bisa ditebak.
Cih. Dasar konyol.
"Pelakunya tidak mungkin berbeda. Dia menuliskan hal yang sama pada barang-barangku yang hilang, kau tahu?"
Aku terkejut. Benarkah?
"Kalian semua akan kuhancurkan".
Pesan itu sama. Sama persis sepeti yang digoreskannya pada mobilku.
"Itu berarti, tuan-tuan, siapapun pelakunya dia pasti mengincar kita. Aku, Dia, Reuben, Lizz, dan Juliet".
"Lalu menurutmu, siapa, nona muda?"
Pak Dosen tersenyum sinis pada Lizz. Mungkin, dia iri karena Lizz tahu lebih banyak daripada dirinya?"Seseorang di kelas. Yang baru datang ketika teman-teman sedang lengah mendengar kasus perundunganku, sehingga dia punya kesempatan untuk mengacaukan mobil Nathan tanpa ada seorang pun yang tahu".
Aku tersentak. Siapa yang dia maksud?
"Aku tidak tahu. Mungkin saja kau tahu orangnya?" Lizz menatapku, mencoba memberitahukan sesuatu. "Nampaknya Reuben tahu sesuatu yang tidak kamu tahu, Nat".
Aku menatap handphone. Rupanya, panggilan Reuben belum aku matikan sedari tadi. Aku bergegas memanggilnya kembali, berharap dia masih mendengarkan.
"...Jangan bertindak gegabah".
Reuben tahu sesuatu. Dan aku sangat berharap dia tidak melakukan sesuatu yang bodoh.
"...Perhatikan lagi siapa yang kau percaya".
Pandanganku tertuju pada Lizz. Dia tersenyum kecil.
Aku tidak mengerti, tapi dari pada itu, aku takut suatu hal yang buruk akan kembali terjadi pada teman-temanku yang lain. Aku yakin ini bukanlah perkara perundungan yang besar. Setidaknya, belum untuk kali ini.Aku mematikan telepon ketika Pak Dosen mempersilahkanku dan Lizz untuk keluar. Lizz dan aku keluar tanpa berterimakasih. Bagaimanapun, aku tidak sudi ingin berterimakasih padanya.
"Mau kemana kau?" Tanyaku pada saat Lizz mencoba berjalan ke arah yang berlawanan, "Kau tidak ingin kembali ke kelas?"
Lizz menatapku dalam diam untuk beberapa waktu.
"Kau tahu barang-barangku maaih ada di WC, kan?"
Ah, benar. Pelaku itu membuang seluruh barang2 Lizz di WC. Bukan mencurinya, untung saja. Aku yakin pelaku itu adalah orang kaya yang tidak terlalu membutuhkan barang-barang orang lain separah itu hingga memikirkan untuk mencurinya.
"...Kau ingin aku bantu membawakan barang-barangmu?"
Lizz tersenyum hangat. Dia mengangguk.
"Tapi aku tidak ingin menggajimu, bodoh. Biarkan Tuhan yang memberimu pahala, jangan berharap apa-apa padaku".
Aku tertawa, "Kalau kau terus-terusan seperti itu, malah Tuhan akan memberimu dosa".
"Wah wah, sejak kapan seorang Nathan menjadi religius seperti ini, hm?"
"Sejak kapan pula seorang Lizz menyinggung soal Tuhan?"
Kami tertawa. Mungkin, ada hal baik dibalik perundungan kami kali ini? Aku tidak pernah punya kesempatan banyak untuk berbincang dengan Lizz. Dan, ya... aku pikir ini menarik.
Tidak seberapa lama aku diizinkan untuk menikmati waktu ini, kemudian handphone ku berbunyi.
"NATHAN!"
Suara Reuben begitu melengking dari ujung sana."...Apa?"
"TEMUI KAMI DI KANTIN SEGERA. SEGERA! INI DARURAT".
Astaga, dasar pengganggu. Ada apa lagi kali ini?
Lizz menatapku dan mengomel karena aku berhenti begitu saja.
"Maaf, Lizz." Aku mau tidak mau, harus menemui Reuben terlebih dahulu. Kau ingat bahwa aku khawatir kalau saja Reuben akan melakukan hal yang bodoh, kan?
"Kau ingin kemana? Dasar!"
...Maaf, Lizz.
"Reuben bilang dia harus menemuiku, segera".
... Aku sadar bahwa Reuben mungkin saja tahu sesuatu.