"Oke, pemenang game kita pada kali ini adalah Kiran! Congratulations! Dan hadiahnya adalah ..." Wanda, asisten dari chef Janesh untuk kompetisi Hard Kitchen mengumumkan dengan senyum misterius.
"Kamu bakal ditraktir lunch sama chef Janesh siang ini di Serpong!"
Kiran membelalakkan mata. Astaga! Kenapa akhirnya kesempatan itu datang? Kiran mengerjap. Mengapa responnya bisa datar begitu ya? Bukankah dia seharusnya senang karena paling tidak dia bisa berkencan dengan orang yang dia impikan selama tiga tahun ini?
Wajah Kiran berpendar bahagia sekaligus kebingungan bahwa dia akhirnya mendapatkan hadiah yang menyenangkan. Tapi mengapa rasanya ini hanya mimpi yang akan cepat berakhir?
Teman-teman satu timnya memberikan selamat, Dika bahkan menggodanya terus-terusan. Setelah itu para peserta kembali ke dorm, sementara Kiran harus bersiap-siap untuk menemui Janesh di sebuah restoran. Kiran merasakan gelombang kepanikan merambati punggungnya.
Sesampainya di restoran, Kiran dipersilakan untuk duduk di sebuah kursi yang terlihat cozy. Setelah itu salah satu kru memberikan pengarahan singkat bahwa Kiran boleh bertanya atau mengobrol dengan santai bersama Janesh, semua percakapan mereka akan direkam termasuk kegiatan mereka. Terutama saat makanan dihidangkan, Kiran harus memberikan review yang positif, tidak boleh memberikan penilaian jelek terhadap apapun yang dihidangkan. Di tengah kegiatan makan siang nanti chef yang memasak pada hari itu akan menemui mereka dan menanyakan respon terhadap hasil masakannya, Kiran tidak boleh mengatakan apapun yang merusak citra tempat itu. Kru tadi bahkan terang-terangan mengancam Kiran untuk tidak boleh menjelekkan tempat itu, baik makanan atau suasananya. Kiran menghela napas, ini sih makan siang endorse-an. Mana ada yang romantis dengan hal ini.
"Terakhir, Kiran, kamu harus tampil senatural mungkin, seolah kamu makan siang dengan idola, seneng-seneng, banyak senyum dan ketawa. Tapi nggak boleh kelihatan maksa, oke? Good. Sekarang kamu tunggu di sini, chef Janesh bakal ke sini. Sikapmu harus natural dan happy." Kru tadi mengakhiri pengarahannya dan berlari menuju tempatnya di belakang kameramen nomer dua.
Baiklah. Natural, banyak senyum, puji terus makanan dan chef-nya. Tapi dengan pencahayaan lampu yang seterang ini, kru televisi yang mondar-mandir lalu lalang serta tiga buah kamera menyala, Kiran merasa skeptis bahwa dia akan berhasil bersenang-senang siang ini.
Kiran duduk dengan sedikit gugup dan canggung, karena dia harus mempertahankan sikapnya senatural mungkin, tapi dia tidak boleh mengatakan sesuatu yang jelek. Bagaimana nanti jika dia keceplosan, apakah itu akan diedit oleh pihak stasiun televisi? Bagaimana justru nanti dia terlalu canggung hingga menumpahkan minuman atau mengacak-acak makanan yang disajikan? Dan yang paling penting, bagaimana jika nanti dia akan makan dengan biasa jika Janesh berada di hadapannya? Mungkin ia bahkan tak bisa menelan apapun.
Tangan gadis itu berkeringat dingin, sampai Kiran berulang kali mengelap tangannya dengan isu yang di sediakan di atas meja. Kepalanya berulang kali menoleh gelisah ke segala arah, bertanya di manakah gerangan chef yang sudah tiga tahun ini menghiasi mimpinya? Seharusnya dia ada di sini sekarang. Mendadak perut Kiran merasa mulas dan ia ingin sekali ke toilet. Ia ingin bertanya apakah ia boleh pergi ke kamar mandi sebentar pada kru, tapi ia terlalu gugup untuk bergerak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Kitchen [Sudah Diterbitkan]
Ficción GeneralKiran ngefans dengan Chef Janesh sejak lama. Sampai suatu saat kompetisi memasak bertajuk Hard Kitchen dengan Janesh sebagai jurinya dibuka, gadis itu nekat untuk ikut agar bisa bertemu Chef yang terkenal galak di televisi itu, tanpa tahu apa yang a...