Lembaran 1 : The Girl and a Smile

125 26 0
                                    

"Let us always meet each other with smile, for the smile is the beginning of love."

- Mother Theresa

*****

Aku berdiri di tengah-tengah kegelapan yang tiada berujung. Tidak terhitung berapa lama aku hanya terdiam tanpa ada tujuan. Gelap kelam yang berada di sisi kanan serta kiriku memang nyata tiada sepercik cahaya yang tampak. Seakan seluruh tubuhmu termakan seutuhnya oleh kegelapan. Namun aku sadar seratus persen jika saraf sekujur tubuhku masih berfungsi sebagaimana mestinya, karena aku masih mampu menggerakkan tanganku. Tetapi seperti ada hukum mutlak yang menyuruhku tak bisa beranjak dari tempat aku berdiri.

Sampai saat pendengaranku menangkap suara berkata lirih di antara kegelapan, "Nak, mendekat ke mari, sayang." Dari kejauhan, tampak seseorang wanita sedang mengulurkan tangan kanan padaku. Seluruh badannya diselubungi oleh cahaya terang.

Seolah-olah tahu betul kalau aku tidak ada keinginan menghampiri, justru sosok itu yang memilih mendekat kepadaku. Hingga kedua mataku sudah tak sanggup menerima biasan cahaya yang bersinar itu. Semakin lama, cahaya itu semakin terang. terang, dan terang...

***

Melewati beningnya kaca. Seberkas sinar mentari terlintas di atas kepalaku yang lesu di pagi hari ini. Terasa hangat, tetapi juga nyaman. Kubangunkan tubuh lalu kuarahkan ke jendela dan mulai membukanya dengan kedua tangan. Hawa sejuk yang masuk melalui jendela membuatku tersadar sepenuhnya. Merasa energi telah terisi penuh. Kuberanikan beranjak dari nyamannya tempat tidur ke kamar mandi guna mempersiapkan diri memulai hari. Empat puluh menit berlalu dan aku telah siap sepenuhnya di depan rumah, lengkap dengan seragam SMA baru di tubuh sekaligus roti coklat yang berada di mulut. Kepalaku mendongak sepintas untuk melihat langit.

Menurut prakiraan cuaca yang kudengar bahwa langit akan cerah biru berawan sepanjang hari. Well, hari ini tidak jauh berbeda seperti hari biasa. Aku menghembuskan napas dengan roti tetap menyangkut di lubang mulut. Setelah merasa semua telah beres, aku pun berangkat ke sekolah.

Akan tetapi, baru sampai di pintu pagar rumah terdengar suara dari belakangku berkata, "Hati-hati." Ya, suara yang setiap saat kudengar. Yang tidak lain dan tidak bukan berasal dari Ignatius Jatmiko, Ayahku.

"Mm...," balasku dingin tanpa menengok ke sumber suara tersebut. Usai obrolan supersingkat itu, kuteruskan langkah kaki ke tempat tujuan.

Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku berubah menjadi seperti ini. Maksudku, perubahan sifat dan kebiasaanku sehari-hari. Sejak Bundaku meninggal? Mungkin.

Mengenai itu, beliau tiada sewaktu aku berumur 10 tahun karena penyakit kanker paru-paru yang menyerangnya. Diasuh dan dibesarkan oleh Ayah yang sibuk dan sering pindah-pergi keluar kota untuk urusan bisnis. Terus terang, kejadian sekaligus pengalaman hidup semacam itu membuatku menjadi seorang yang terbilang cuek dan angkuh. Sekaligus pribadi yang lebih suka menutup diri.

Juga, sepeninggal Bunda, aku mulai tumbuh menjadi orang yang pesimis, terkadang mudah menyerah, dan terbiasa menyalahkan keadaan sekaligus takdir yang kuterima.

Oh ya, sejak bisnis Ayah berkembang sepeninggal Bunda. Setelah itu juga mengharuskan kami untuk pergi ke kota yang satu ke kota yang lain. Secara tidak langsung aku terkena imbasnya, selalu pindah sekolah. Mungkin juga efek tak ingin hidup sendiri, aku lebih memilih ikut Ayah dengan kesibukannya itu. Selama masa SMA ini saja atau lebih spesifik tiga semester awal, semasa itu pula aku telah menjalani tiga kali perpindahan tempat belajar. Dan saat inilah yang ketiga, di kota Jogjakarta. Lingkungan asing lagi, yang kini hadir kembali dalam hidupku.

The Heaven Voice [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang