"Jarak tidaklah berarti, ketika seseorang memiliki debaran yang sama."
*****
Pandanganku mengarah tepat ke atas pada buku Broken Wings karya Kahlil Gibran yang melekat di kedua telapak tanganku dengan tubuh telentang di kasur bilik kamarku. Mungkin orang akan beranggapan aku sedang berfokus penuh pada bacaan di tangan. Namun sebenarnya apa yang berada di kepalaku berbeda jauh dengan apa yang orang lihat.
Termenung memikirkan tiap kata yang perempuan itu lontarkan kepadaku tempo hari. Semalaman aku tak mampu terlelap karenanya. Setiap kali mata terpejam. Bayangan tentang apa yang diucapkan Rachel terngiang tanpa mau berhenti.
Kenapa harus sekarang? Di saat semua baru berjalan dengan indah, bisikku dalam hati.
Perasaan geram yang menggerogoti dada memaksaku melempar tubuhku pergi ke rak buku yang berada tidak jauh dari kasur. Mengembalikan buku yang tadi kubaca di urutan yang sudah ku atur sejak lama.
Ketika aku mulai memasukkan buku itu ke satu sudut hampa, tanpa sadar wajah Rachel terlihat nyata di balik imajinasi yang berkelebat singkat. Memikirkan ia pergi meninggalkanku sendiri. Membayangkan ia berjalan menjauh dan tidak akan... Demi Tuhan. Apa yang merasukiku?!
Tangan sebelah kiriku mulai mencengkeram rak bagian atas, sedangkan tangan kanan yang selesai mengatur rak kini mengarah ke dahiku yang berdenyut-denyut.
Apa yang harus kuperbuat sekarang?
Lima menit lewat, kepalaku sudah agak membaik. Kuberdirikan tubuh dengan kaki yang masih agak limbung. Melangkah keluar kamar dan berjalan menuruni tangga untuk ke lantai bawah. Melanjutkan langkahku ke teras rumah dan duduk di salah satu kursi kayu teras. Memandangi langit sore yang di lukis dengan warna hitam. Beserta rintikan air hujan yang jatuh membasahi kota di bulan November.
Duduk bersilang kaki sembari bertopang dagu dengan siku berpaku pada lengan kursi. Dia–Rachel–hari ini bahkan absen tidak masuk sekolah untuk mengurus beberapa hal yang berkaitan kepindahannya. Ia memang mengirim pesan padaku pagi-pagi bahwa ia harus mengatur visa perpindahan tetap ke Inggris yang tidak gampang.
Mengambil ponsel dari dalam saku celana kargo pendek yang kukenakan. Dengan niat menghubunginya. Tetapi usai kutemukan, aku tidak tahu harus melakukan apa. Dia sedang sibuk atau longgar? Aku tidak bisa menebak. Aku mendengus heran pada diriku sendiri yang bingung tanpa arah.
Lagi-lagi aku mendesah pasrah lalu melemaskan tanganku. Kemudian memusatkan pandangan ke langit.
***
[ POV : Third person. ]
Gadis itu berbaring di atas kasur kamar tidurnya dengan lengan menutupi kedua mata. Pola pernapasan yang kurang teratur. Bibir yang umumnya berwarna merah, kini berubah menjadi pucat pasi. Ia tampak sangat lemas. Sangat tidak bertenaga. Dan berani taruhan! Jika ia nekat berdiri, tubuh ringkihnya itu bakalan langsung terkapar tanpa menanti aba-aba.
Empat hari ini ia sudah absen sekolah, lantaran ia habiskan waktunya dengan mengurus visa perpindahan ke Inggris. Ia harus bolak-balik kesana-kemari mengurus banyaknya syarat yang harus terpenuhi. Pantas saja, jika ia kehilangan sebagian besar kekuatannya dua hari ini dan memaksa dirinya untuk tergeletak di kasur.
"Rachel?"
Panggilan lembut yang berasal dari ambang pintu kamar gadis itu mengharuskan fokusnya teralih. Memerhatikan seorang wanita yang bergeming. Mengamati dengan khawatir pada dirinya. Wanita itu lalu bergerak mendekat kepada Rachel yang terkapar tidak berdaya dan duduk di ujung kasur dengan masih menatap putri kesayangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Heaven Voice [ COMPLETED ]
Teen Fiction"Dear Kevin Percayakah kamu dengan yang namanya keajaiban? Aku percaya. Melalui surat yang sedang kau pegang ini, aku ingin menyampaikan isi hatiku yang belum tersampaikan padamu."