"Yang aku tahu serta aku percayai, kalau kamu itu hebat. Maka maju dan menanglah!"
*****
[ POV : Third person. ]
"Rachel. Ini ada selembaran dari kantor pos ditujukan untukmu, sayang," ucap tenang seorang wanita dari suatu sudut ruangan.
Langkah kaki berderap terdengar menuruni sebuah tangga lantai dua rumah mewah dengan interior bernuansa kontemporer itu. "Iya Ma, taruh di meja ruang tamu saja. Rachel ke situ," jawab gadis yang saat ini berkaos putih bergambar Teddy Bear.
"Mama taruh ya, sayang." Lembaran tersebut lalu diletakkan di atas meja ruang tamu.
Rachel sudah berada di bilik depan rumah. Ruangan dengan chanderlier mini bergelantungan di atas. Empat sofa berjejer berbentuk segiempat. Di tengah terdapat meja kaca panjang. Berhias baskom yang juga dari kaca, berisi beraneka buah.
Mata gadis itu terfokus pada sebuah lembaran kertas putih kekuningan. Beserta pita merah dan cap yang menempel diselembaran. Ia memungut selembaran itu. Menyipitkan mata dan membaca secara teliti isi selembaran.
Dia tersenyum, sesaat sesudah selesai membaca keseluruhan kalimat demi kalimat yang tertera di dalam kertas.
***
Hm? Bunyi apa itu?
Pagi hari itu, di mana aku masih terlelap pulas di atas nyamannya kasur tempatku biasa membaringkan diri, dengan mengejutkan aku terpaksa dibangunkan begitu saja. Suara nyaring yang mengusik pagi yang tenteram. Tanganku mencoba menggapai meja yang berada di sebelah kasur, berupaya meraih barang yang aku cari.
(Ring!!! Ring!!!)
Demi Tuhan, ini hari Minggu! Tidak tahan lagi dengan rengekan yang berasal dari ponsel, aku pun menggeliat kesana-kemari sambil mengerang terlebih dulu. Baru sesudahnya aku duduk di tepian ranjang. Dengan mata yang setengah terpejam, aku meraih ponsel yang berteriak galak.
"Hahlo...," sapaku malas kepada orang di seberang sana.
"Kamu masih tidur? Kutelepon tiga kali malah baru kamu angkat," terdengar suara seorang perempuan. Meskipun kepalaku masih berkabut, aku tahu persis pemilik suara yang menerorku sekarang.
"Mau apa? Ini hari Minggu, ayolah beri aku sedikit ruang," balasku menggerutu. Sangat bisa ditebak kalau aku tidak dalam suasana hati yang memungkinkan untuk mendengar rentetan ocehannya. Masih terlalu pagi untuk perempuan memporak.
"Please, dengarkan aku sebentar," pinta suara itu penuh harap. Ia seakan punya berita panas–tidak terlalu penting–untuk disampaikannya secepat mungkin.
"Apa? Kalau memang tidak penting lupakan saja, Rachel." Siapa lagi jika bukan Rachel yang dengan nekat mengganggu kehidupan orang? Semua juga tahu kalau cuma dia yang sanggup membunuhku secara perlahan. Melakukan panggilan berulang-ulang pada pukul 06.07 pagi hari. Di tambah lagi, ini hari Minggu! Astaga, aku perlu ketenangan sehari paling tidak. Apa yang ada dalam otaknya? Selalu saja seenaknya sendiri.
"Baiklah. Pertama-tama, dengarkan ucapanku ini," ia memulai topik pembicaraannya.
"Cepat," sahutku tidak sabar dengan energi mataku yang belum pulih.
"Sabar dong, ini juga baru mulai. Aku berada di depan rumahmu, cepat keluar," ungkap Rachel.
Aku membelalak lebar-lebar. "Demi Tuhan! Kamu mau melamar jadi DPU khusus area rumahku, begitu?!" tukasku pada Rachel karena kelakuannya pagi-pagi begini sudah mampir di area kediaman orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Heaven Voice [ COMPLETED ]
Fiksi Remaja"Dear Kevin Percayakah kamu dengan yang namanya keajaiban? Aku percaya. Melalui surat yang sedang kau pegang ini, aku ingin menyampaikan isi hatiku yang belum tersampaikan padamu."