"Bertahun-tahun tidak terasa, benar bukan?" kataku berbisik lembut sambil berjongkok meletakkan sebuket bunga di atas pusara. "Bagaimana kabarmu di sana, Rachel?"
Tangan kananku mengusap-usap batu nisan sembari termenung. Mengenang.
London di pagi hari ini terasa indah. Musim semi yang menyenangkan dengan banyak sekali bunga bermekaran di berbagai sudut kota. Angin yang membawa serta harum semerbaknya bunga sangat menenangkan hati. Hangat sinar mentari yang bersahabat juga menambah kedamaian bagi jiwa.
"Aku percaya kau selalu tenang dan bahagia di sana. Iya, kan?" gumamku terus berbincang di atas pusara Rachel. "Kau di sana pasti sedang bernyanyi dengan suara indahmu. Suara yang mempertemukan kita, serta senyuman indahmu yang menyatukan kita."
"Aku bersyukur dapat mengenalmu, meskipun aku tahu bagaimana tingkahmu. Aku bahagia. Karena kamu, kehidupanku berubah menjadi lebih baik. Sekali lagi... Terima kasih, terima kasih, Rachel."
Tiba-tiba, angin musim semi datang menerpa dan mengenai wajahku. Perasaan bahagia yang meluap-luap entah kenapa timbul dalam hatiku. "Aku tahu, doaku sampai padamu."
Simpul senyum menghiasi sepanjang sudut bibirku. Memerhatikan dalam-dalam tempat peristirahatan Rachel.
"Oh, benar juga. Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu dan kuberitahu padamu." Tanganku merogoh ke dalam tas selempang kecil. Lalu mengeluarkan sebuah buku dengan judul The Heaven Voice di sampulnya.
"Ini... Kali ini aku mau pamer ke kamu kalau buku yang aku janjikan supaya diselesaikan dulu,"–menaruh buku di atas tanah pusara–"Buku yang menceritakan perjumpaan seorang laki-laki dengan perempuan yang memiliki suara malaikat surgawi. Kau pasti berpikir kisah ini tidak asing? Aku tidak meragukannya."
"Beberapa tahun lalu buku ini selesai. Sesudah dipublikasi, secara ajaib berhasil menjadi salah satu buku terlaris. Terjual membludak di masyarakat. Saat itu, aku tidak mengira jika jerih payahku dapat berbuah seindah ini, dan aku juga bersyukur rupanya aku mampu menjadi orang yang berguna." Aku tertawa.
"Semua juga tak lepas dari dorongan semangat yang kau berikan, Rachel. Terima kasih juga untuk itu." Menghela napas ringan, lalu meneruskan, "Aku minta maaf karena terlalu sibuk, aku menyadari kalau keterluan sampai-sampai memerlukan lewat beberapa tahun untuk baru bisa kembali menemuimu."
"Tetapi... selama itu pula, aku berusaha meneruskan mimpimu menjadi penyanyi hebat lewat kata-kata yang aku tulis. Suaramu, akan selalu hidup dalam setiap kata yang tertuang dalam ceritaku."
Diam sejenak, membiarkan angin yang berembus berbisik memenuhi hati.
"Oh, mengenai surat darimu. Aku juga membawanya. Surat darimu senantiasa aku simpan dengan baik, dan menjaganya. Karena aku tahu, segala perasaanmu tercurah di dalam sana," suaraku berubah berat dan serak.
Sebutir bening kristal lolos. "Terima kasih... untuk... untuk segalanya, Rachel."
Kemudian, bibirku mengarah ke batu nisan dan mencium batu nisan Rachel. Sambil terisak, akhirnya mulutku bergerak membisikkan kalimat yang sudah lima tahun ini tidak kuucapkan secara langsung di hadapan Rachel.
"Aku mencintaimu."
***
[ Surat Rachel ]
Dear Kevin
Percayakah kamu dengan yang namanya keajaiban?
Aku percaya.
Percayakah kamu dengan yang namanya takdir?
Aku percaya.
Melalui surat yang sedang kau pegang ini, aku ingin menyampaikan isi hatiku yang belum tersampaikan padamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Heaven Voice [ COMPLETED ]
Teen Fiction"Dear Kevin Percayakah kamu dengan yang namanya keajaiban? Aku percaya. Melalui surat yang sedang kau pegang ini, aku ingin menyampaikan isi hatiku yang belum tersampaikan padamu."