"Masih ragu? Sudahlah! Ayo semangat, kamu juara sesungguhnya!"
*****
Jam menunjukkan waktu 09.45, acara telat 15 menit dari jadwal. Rachel bertingkah tidak tenang di tempat duduknya. Sesekali, ia mengetuk-ngetuk kaki dengan bergumam pelan. Berusaha menghafal dengan benar agar tidak ada yang meleset ketika ia bawakan di panggung.
Dari tempatku berada, aku mencari-cari sosok perempuan angkuh yang kami jumpai di awal tadi. Kesampingkan itu, aku merasa ada sedikit yang janggal ketika hanya menemukan peserta nomor urut 2 hingga 15 yang ada di tempat duduk. Ke mana perginya peserta nomor urut pertama?
Pusat perhatianku teralihkan dengan kedatangan tiga orang berpakain rapi yang mengarah ke meja paling spesial yang di mana pena dan buku catatan kecil sudah tersedia. Mereka Sang Hakim dalam lomba ini, atau lebih tepatnya juri yang akan menilai setiap aksi peserta di atas panggung.
Dua dari mereka pria, dan satu seorang wanita dengan baju atasan putih dan jas hitam dengan raut muka tajam. Pria yang kurus, adalah pria yang kami jumpai saat kami melakukan pendaftaran ulang. Mungkin yang benar, dia yang telah melerai percecokkan kami. Pria yang satu bertubuh gempal, raut wajahnya terlihat garang, dan bukan tipe orang murah senyum. Ketiga juri duduk dengan penuh wibawa di tempat mereka.
"Sepertinya mereka juri yang bandel untuk ditaklukkan." Aku menengok ke Rachel, ia yang mengajak aku bicara dari arah sana, berjarak tiga kursi dari tempatku, terhalang oleh Papa dan Mama Rachel. Kedua orangtua Rachel menunggu reaksiku menanggapi putri kecilnya.
"Kau benar," jawabku singkat padat. Lampu terang di aula besar ini mulai meredup, digantikan oleh beberapa stage lightning yang menyala-nyala di area panggung.
Mata kami semua akhirnya tertuju pada satu sosok yang berpakaian sama rapinya dengan para juri. Dia adalah pria yang membawa mic dan secarik cue card di tangannya. Bisa ditebak jika dia adalah MC yang akan memandu acara ini. Sang MC tersenyum kepada kami semua yang menghadiri kompetisi, lalu memulai acara dengan beberapa salam sambutan dan ucapan terima kasih. Lewat basa-basi singkat, kami menjadi tahu bahwa namanya adalah Vico.
Kemudian, Vico selaku pembawa acara memperkenalkan tiga orang yang menjadi juri perlombaan. Diawali dari pria bertubuh gempal yang berada di tempat duduk paling kiri. Pria bernama bapak Antonius Agung Laksana, seorang kritikus musik.
Dilanjutkan di bagian tengah, wanita dengan dengan panjang rambut sebahu. Wanita bernama Ratna Magdalena, seorang wanita yang namanya sangat dikenal dalam kancah dapur rekaman.
Terakhir di posisi paling kanan, pria yang tadi aku dan Rachel jumpai di lokasi pendaftaran. Aku terkejut ketika pembawa acara memperkenalkan nama pria itu. Dia adalah penyanyi legendaris Johnny Alexander, yang sekarang mulai menggeluti dunia produksi musik. Aku masih tidak menyangka kalau itu adalah dia. Johnny Alexander, musisi jazz yang terkenal dengan lagunya yang berjudul Stay With Me.
Pembawa acara itu terdiam sebentar, seperti sedang mendengar arahan dari suatu tempat melalui headphone kecil di telinganya. Beberapa saat kemudian, pembawa acara itu kembali berkata-kata.
"Sudah tiba saatnya untuk acara di mulai. Karena sepertinya kontestan pertama kita sudah tidak sabar untuk menunjukkan kehebatannya." Pria itu menarik napas, "Tanpa panjang-lebar lagi. Inilah dia, kontestan nomor urut pertama, perempuan berbakat yang berasal dari kota Surakarta, perempuan yang sama yang tahun lalu berhasil menjuarai ajang menyanyi ini."
"Silakan untuk maju ke atas panggung,"–sebelah tangan pembawa acara itu mengarah ke suatu tujuan, belakang panggung–"Saudari, Karen Mikhaela! Mari kita beri tepuk tangan yang paling meriah kepada saudari Mikhaela!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Heaven Voice [ COMPLETED ]
Ficção Adolescente"Dear Kevin Percayakah kamu dengan yang namanya keajaiban? Aku percaya. Melalui surat yang sedang kau pegang ini, aku ingin menyampaikan isi hatiku yang belum tersampaikan padamu."